Kamis, 26 Januari 2017

DINAMIKA PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

DINAMIKA PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
NAMA : A. NURHAENI
NIM / NO.URUT : 01133034
PRODI : EKONOMI SYARIAH 2

Abstrak

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah.[1]
Tulisan ini mencoba mereview bagaimana perjalanan dan perkembangan bank syariah di Indonesia serta dibandingkan dengan beberapa Negara muslim lainnya.
Secara umum, kebijakan pengembangan perbankan syariah di Indonesia belum mencapai target yang ideal yang direncanakan. Berdasarkan Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2014, Indonesia menduduki urutan ketujuh turun tiga peringkat yang sempat menempati urutan keempat pada tahun 2011. Sebagai negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia. Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, dapat dikatakan perkembangan perbankan syariah di Indonesia berjalan di tempat, bahkan belum menunjukkan perkembangan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.
Kata Kunci: Global Islamic Financial Report; dual banking system; bank syariah; keuangan syariah


Pendahuluan
Pada dasarnya, entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan keluarnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi di bidang perbankan, dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan kredit dengan bunga 0% (zero interest). Perkembagan dimaksud diikuti oleh serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro yang tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, sehingga industri perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.[2]
Baru pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi bank syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih belum secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah bank bagi hasil.[3] Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupan pengertian bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah.[4]
Diamandemennya UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian melahirkan UU No. 10 tahun 1998 secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan ini intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).[5] Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada nasabahnya.
Kemudian, pada tahun 1999 disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU ini menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Keberadaan kedua UU tersebut telah mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syariah sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.[6] Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking sistem di Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat.
Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir).[7] Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor riil.
Kondisi Perbankan Syariah Nasional Terkini
Dalam cetak biru pengembangan perbankan syariah, saat ini perbankan syariah nasional berada pada fase keempat (2013-2015) yaitu pencapaian pangsa yang signifikan dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dengan sektor keuangan syariah lainnya.[8] Namun, dalam perkembangannya perbankan syariah di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan target yang diinginkan.
Dalam statistik perbankan Indonesia per Desember 2014 terdapat tidak kurang 12 Bank Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu bank konvensional dengan total keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain itu, Total aset bank umum syariah mencapai 272.343 (dalam miliar rupiah). Jumlah ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total aset perbankan nasional secara umum yang mencapai 5.615.150 (dalam miliar rupiah).[9] Artinya pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil hanya 4,85%, padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal ini tentunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah agar sesegera mungkin mencari strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih massif.
Peluang dan Tantangan Pengembangan Perbankan Syariah
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan „impian yang mustahil‟ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.[10]
Selain itu, keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar.
Potensi lainnya dari sisi regulasi terutama setelah lahirnya UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan pengesahan ini, industri perbankan syariah di Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat lebih besar. Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga akan lebih nyata bagi para investor dan para pelaku usaha perbankan syariah.[11] Tentunya ini adalah peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia.
Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah: [12]
1. Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);
2. Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank non-Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);
3. Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1)
4. Dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat (1).
5. UU Perbankan Syariah juga memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bias dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional ( Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.
6. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional.
7. Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal 4 ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
Tantangan lain bagi industri perbankan syariah yang mungkin dihadapi pasca regulasi baru ini adalah tantangan orientasi dan keberpihakan lembaga, etika (syariah) atau bisnis, akan selalu muncul di depan. Penyatuan persepsi, oleh karenanya, masih menjadi gangguan dan tantangan perkembangannya. Tantangan kemajuan zaman terkait dengan kejahatan teknologi, dan kejahatan yang menggunakan bank sebagai alat dan sarana persembunyian dan keamanan, serta tantangan berupa maraknya jenis-jenis dan instrumen transaksi sebagai akibat dari mengglobalnya prinsip perbankan syariah.
Tantangan lain bersifat teknis operasional yang meliputi; belum adanya standar mutu bagi lembaga pendidikan pelatihan, pengajar dan lulusan, diversifikasi dan luasnya range kualifikasi sumber daya manusia dengan bank syariah, perlu ada investor di bidang pendidikan perbankan atau keuangan syariah, dan sosialisasi terhadap masyarakat akan pilihan alternatif program pendidikan atau karir di bidang perbankan syariah. Selain itu, cakupan pasar perbankan syariah saat ini masih terbatas., Sampai akhir tahun 2012, pelayanan perbankan syariah hanya tersedia 13% jumlah kantor dari seluruh kantor bank umum yang ada di Indonesia.[13] Keterbatasan cakupan operasional pada gilirannya akan menjadi kendala yang cukup signifikan bagi para pengguna jasa perbankan syariah dan mengurangi nilai kenyamanan penggunaan jasa perbankan.
Tantangan yang telah teridentifikasi di atas berguna untuk meningkatkan pelayanan bank syariah yakni dengan menciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, terutama bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional. Selanjutnya, dengan penyederhanaan proses administrasi bagi masuknya para pemain baru dapat dilakukan dengan tidak mengurangi prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional perbankan. Tersedianya informasi pasar/permintaan jasa perbankan syariah dan tersedianya sumber daya insani yang kompeten dan profesional dalam jumlah yang mencukupi oleh industri perbankan syariah.
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas pengaruhnya dari perkembangan perbankan syariah di berbagai negara. Pada awalnya, model bank syariah ini diterapkan di Pakistan pada akhir tahun 1950-an yang tidak membebankan bunga kepada peminjamnya. Di India, Jamaat e Islami Hindi memulai sistem pinjaman bebas bunga pada tahun 1868. Di Mesir, pada awalnya didirikan Bank Syariah secara sederhana pada tahun 1963 di kota Mit Ghamr, yang kemudian dikembangkan pada tahun 1971 dengan nama Nasser Social Bank. Di Malaysia pada tahun 1983 didirikan Bank Islam Malaysia Berhad yang dioperasikan berdasarkan syariah Islam. Dan di Iran perbankan syariah mulai diterapkan pada tahun 1979, kerika dinasionalisasikan-nya bank-bank konvensional. Negara-negara lain yang sudah mengembangkan sistem perbankan syariah adalah Siprus, Kuwait, Bahrain, Uni emirat Arab, dan Turki.[14]
Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia yang telah melakukan pengembangan bank syariah sejak 1983 atau bahkan Bahrain yang telah melakukannya sejak 1979, pengembangan bank syariah di Indonesia yang dimulai tahun 1992 relatif terlambat. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh: [15]
1. belum sependapatnya ulama Indonesia mengenai keberadaan bunga bank;
2. kurang kondusifnya kondisi sosial politik di Indonesia yang mengakibatkan belum adanya political will pemerintah pada masa itu;
3. tanggung jawab moral yang harus dipikul karena mencantumkan label “syariah”;
4. adanya kendala dasar hukum sehingga belum memungkinkan pengembangan bank syariah karena bank syariah belum dikenal dalam UU No. 14 tahun 1967 tentang Perbankan maupun UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Perkembangan perbankan syariah sebenarnya mulai terasa sejak tahun 1992 yaitu diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang bank bagi hasil. Namun demikian, undang-undang tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah, karena belum secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya.[16] Kemudian, pada tahun 1998 diperkuat oleh Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam UU ini terdapat beberapa hal yang memberikan peluang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indoensia. Dalam UU tersebut, perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan:
1. Memenuhi jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan diterapkannnya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional,maka mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini konsep yang diterapkan adalah hubungan invenstor yang harmonis. Hal tersebut berbeda dengan konsep yang diterapkan di bank konvensional, yaitu hubungan antaa debitur dan kreditur.
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki keunggulan komparatif berupa peniadaan beban bunga yang berkesinambungan, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif, pembiayaan yang ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.
Perbankan syariah di Indonesia melangkah perlahan, namun melaju dengan pasti. Namun perjalanannya masih belum diharapkan. Sekian lama berjuang „sendirian‟, perbankan syariah baru mendapat perhatian pemerintah saat UU Perbankan Syariah mulai digodok di DPR. Pada 2008 UU Perbankan Syariah pun lahir setelah melalui diskusi panjang antar anggota dewan, praktisi, pemerintah dan pemangku kepentingan.Namun, kendati parlemen dan pemerintah telah mengesahkan UU Perbankan Syariah, industri ini dinilai masih belum berlari seperti yang diharapkan.[17] Padahal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia.
Hal ini sangat dimungkinkan melihat pengembangan keuangan syariah di Indonesia dewasa ini yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan.




Daftar Pustaka

Alamsyah, Halim “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015” www.bi.go.id
Anshori, Abdul Ghofur, “Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2, Desember 2008.
Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, 2007.
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia , Vol: 13 No. 1, Desember 2014
Hasan, Zulkifli “Shariah Governance In The Islamic Financial Institutions In Malaysia”, Faculty of Shariah and Law Islamic Science University of Malaysia, http://zulkiflihasan.wordpress.com/ diakses pada 10 Desember 2012.
Imaniyati, Neni Sri “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar Madani – Vol. XI No. 1 Maret 2009 Halaman 21 – 38 ISSN : 1410 – 9832.
Majalah Sharing: Inspirator Ekonomi & Bisnis Syariah, Sudah saatnya Pemerintah Mendukung Penuh Perbankan Syariah, , Edisi 55 Tahun V Juli 2011.
Nurohman, Dede, “Undang-Undang Perbankan Syariah: Makna, Implikasi dan Tantangan”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2, Desember 2008.
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan
Siregar Mulya, “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan Arah Kebijakan”, Iqtisad: JurnalEkonomi Islam, Vol. 3, No. 1, Maret 2002.
Waluyo, Bambang, “Prinsip Ekonomi dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol.6, No.2, Juli 2007.
Wibowo, Muh. Ghafur, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini, Yogyakarta: Biruni Press, 2007


[1] Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, 2007. 
[2] Abdul Ghofur Anshori, “Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2, Desember 2008. 
[3]Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), 2. 
[4]Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 107. 
[5] Bambang Waluyo, “Prinsip Ekonomi dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, (Vol.6, No.2, Juli 2007). 
[6] Mulya Siregar, “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan Arah Kebijakan”, Iqtisad: Jurnal Ekonomi Islam, (Vol. 3, No. 1, Maret 2002), 46-66.  
[7] Mulya Siregar, “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah, 46-66. 
[8] Tahap I (2002-2004) Peletakan landasan pengembangan. Fokus aktivitas dalam tahap ini adalah menyusun ketentuan kelembagaan bank syariah dan menyiapkan infrastruktur dasar yang diperlukan untuk pertumbuhan bank syariah. Tahap II (2005-2009) Penguatan struktur industri, Fokus aktifitas peningkatan daya saing, efisiensi operasi, pengayaan produk, serta kompetensi dan profesionalisme SDM perbankan syariah Tahap III (2010-2012) Pencapaian standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional. Fokus aktivitas meningkatkan kualitas layanan dan operasional perbankan syariah. Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, 2007 
[9] Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia , (Vol: 13 No. 1, Desember 2014 ).
[10]Halim Alamsyah “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015” www.bi.go.id 
[11] Dede Nurohman, “Undang-Undang Perbankan Syariah: Makna, Implikasi dan Tantangan”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2, Desember 2008. 
[12] Neni Sri Imaniyati “Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar Madani – Vol. XI No. 1 Maret 2009 Halaman 21 – 38 ISSN : 1410 – 9832  
[13] Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, September 2012. 
[14] Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini, 2. 
[15] Mulya Siregar, “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah, 46-66. 
[16] Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini, 2. 
[17]Majalah Sharing: Inspirator Ekonomi & Bisnis Syariah, Sudah saatnya Pemerintah Mendukung Penuh Perbankan Syariah, , (Edisi 55 Tahun V Juli) 2011.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar