DINAMIKA PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
NAMA : A. NURHAENI
NIM / NO.URUT : 01133034
PRODI : EKONOMI SYARIAH 2
Abstrak
Perkembangan perbankan syariah
di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang
membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa
perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah.[1]
Tulisan ini mencoba mereview
bagaimana perjalanan dan perkembangan bank syariah di Indonesia serta
dibandingkan dengan beberapa Negara muslim lainnya.
Secara umum, kebijakan
pengembangan perbankan syariah di Indonesia belum mencapai target yang ideal
yang direncanakan. Berdasarkan Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun
2014, Indonesia menduduki urutan ketujuh turun tiga peringkat yang sempat
menempati urutan keempat pada tahun 2011. Sebagai negara yang memiliki potensi
dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran,
Malaysia dan Saudi Arabia. Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan
indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah,
maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, dapat
dikatakan perkembangan perbankan syariah di Indonesia berjalan di tempat,
bahkan belum menunjukkan perkembangan yang signifikan dari tahun-tahun
sebelumnya.
Kata Kunci:
Global Islamic Financial Report; dual banking system; bank syariah;
keuangan syariah
Pendahuluan
Pada
dasarnya, entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983
dengan keluarnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi
di bidang perbankan, dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan
bank memberikan kredit dengan bunga 0% (zero interest). Perkembagan
dimaksud diikuti oleh serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri
Keuangan Radius Prawiro yang tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto 88).
Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan bagi
pendirian bank-bank baru, sehingga industri perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat.[2]
Baru
pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum
satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Namun, eksistensi bank syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak
tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun,
harus diakui bahwa UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat
terhadap pengembangan bank syariah karena masih belum secara tegas mencantumkan
kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah
bank bagi hasil.[3]
Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai
dengan cakupan pengertian bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi
hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank
syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang
secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah.[4]
Diamandemennya
UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian melahirkan UU No. 10 tahun 1998 secara
eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan di
Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system).
Kebijakan ini intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional
untuk memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan
terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).[5]
Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan banyak bank konvensional yang
ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada nasabahnya.
Kemudian,
pada tahun 1999 disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU
ini menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Keberadaan kedua UU tersebut telah
mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas
penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syariah sehingga memberikan
landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan
yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia.[6]
Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking
sistem di Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konvensional dan
syariah) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi
masyarakat.
Upaya
pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan
konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian
dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan
perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997
membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di
tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan
tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga
(riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif
(maysir).[7] Dengan
kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga
diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang.
Ketahanan ekonomi nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian
yang tangguh, yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan
dengan pertumbuhan sektor riil.
Kondisi Perbankan Syariah
Nasional Terkini
Dalam cetak biru
pengembangan perbankan syariah, saat ini perbankan syariah nasional berada pada
fase keempat (2013-2015) yaitu pencapaian pangsa yang signifikan dalam kondisi
mulai terbentuknya integrasi dengan sektor keuangan syariah lainnya.[8] Namun,
dalam perkembangannya perbankan syariah di Indonesia menunjukkan hasil yang
tidak sesuai dengan target yang diinginkan.
Dalam statistik
perbankan Indonesia per Desember 2014 terdapat tidak kurang 12 Bank Umum
Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu bank konvensional dengan total
keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain itu, Total aset bank umum
syariah mencapai 272.343 (dalam miliar rupiah). Jumlah ini masih relatif kecil
jika dibandingkan dengan total aset perbankan nasional secara umum yang
mencapai 5.615.150 (dalam miliar rupiah).[9] Artinya
pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil hanya 4,85%, padahal target
pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal
ini tentunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah agar sesegera mungkin
mencari strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih massif.
Peluang dan Tantangan
Pengembangan Perbankan Syariah
Sebagai negara
dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan
kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan „impian
yang mustahil‟ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan
syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar
menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang
cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran
6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan
sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang
akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan
domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya
alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi
industri keuangan syariah.[10]
Selain itu,
keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory
regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia
kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi
yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh
perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar.
Potensi lainnya dari
sisi regulasi terutama setelah lahirnya UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Dengan pengesahan ini, industri perbankan syariah di Indonesia
diharapkan dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat lebih besar.
Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga akan lebih nyata bagi para investor
dan para pelaku usaha perbankan syariah.[11]
Tentunya ini adalah peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank syariah di
Indonesia.
Hal-hal yang membuka
peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah: [12]
1. Bank Umum Syariah dan Bank
Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara
Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7);
2. Penggabungan (merger) atau
peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank non-Syariah wajib menjadi
Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2);
3. Bank Umum Konvensional yang
memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off)
apabila UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank
induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1)
4. Dimungkinkannya warga negara
asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan
hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9
ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun
tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek Pasal 14 ayat (1).
5. UU Perbankan Syariah juga
memberikan peluang akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam
dibandingkan bank konvensional. Terdapat usaha-usaha yang bias dilakukan oleh
sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional (
Pasal 19 s.d 21). Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa
lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking, karena jasa-jasa bank
syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank,
finance company, dan merchant bank.
6. Kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan
Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional.
7. Selain usaha komersial, bank
syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana
sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi penelola zakat (Pasal 4
ayat 2); dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada
lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4
ayat 3).
Tantangan lain bagi
industri perbankan syariah yang mungkin dihadapi pasca regulasi baru ini adalah
tantangan orientasi dan keberpihakan lembaga, etika (syariah) atau bisnis, akan
selalu muncul di depan. Penyatuan persepsi, oleh karenanya, masih menjadi
gangguan dan tantangan perkembangannya. Tantangan kemajuan zaman terkait dengan
kejahatan teknologi, dan kejahatan yang menggunakan bank sebagai alat dan
sarana persembunyian dan keamanan, serta tantangan berupa maraknya jenis-jenis
dan instrumen transaksi sebagai akibat dari mengglobalnya prinsip perbankan
syariah.
Tantangan lain
bersifat teknis operasional yang meliputi; belum adanya standar mutu bagi
lembaga pendidikan pelatihan, pengajar dan lulusan, diversifikasi dan luasnya
range kualifikasi sumber daya manusia dengan bank syariah, perlu ada investor
di bidang pendidikan perbankan atau keuangan syariah, dan sosialisasi terhadap
masyarakat akan pilihan alternatif program pendidikan atau karir di bidang
perbankan syariah. Selain itu, cakupan pasar perbankan syariah saat ini masih
terbatas., Sampai akhir tahun 2012, pelayanan perbankan syariah hanya tersedia
13% jumlah kantor dari seluruh kantor bank umum yang ada di Indonesia.[13]
Keterbatasan cakupan operasional pada gilirannya akan menjadi kendala yang
cukup signifikan bagi para pengguna jasa perbankan syariah dan mengurangi nilai
kenyamanan penggunaan jasa perbankan.
Tantangan yang telah
teridentifikasi di atas berguna untuk meningkatkan pelayanan bank syariah yakni
dengan menciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru,
terutama bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang
luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan
lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional.
Selanjutnya, dengan penyederhanaan proses administrasi bagi masuknya para
pemain baru dapat dilakukan dengan tidak mengurangi prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan operasional perbankan. Tersedianya informasi pasar/permintaan jasa
perbankan syariah dan tersedianya sumber daya insani yang kompeten dan
profesional dalam jumlah yang mencukupi oleh industri perbankan syariah.
Perkembangan Perbankan Syariah
di Indonesia
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia tidak terlepas pengaruhnya dari perkembangan
perbankan syariah di berbagai negara. Pada awalnya, model bank syariah ini
diterapkan di Pakistan pada akhir tahun 1950-an yang tidak membebankan bunga
kepada peminjamnya. Di India, Jamaat e Islami Hindi memulai sistem pinjaman
bebas bunga pada tahun 1868. Di Mesir, pada awalnya didirikan Bank Syariah
secara sederhana pada tahun 1963 di kota Mit Ghamr, yang kemudian dikembangkan
pada tahun 1971 dengan nama Nasser Social Bank. Di Malaysia pada tahun 1983
didirikan Bank Islam Malaysia Berhad yang dioperasikan berdasarkan syariah
Islam. Dan di Iran perbankan syariah mulai diterapkan pada tahun 1979, kerika
dinasionalisasikan-nya bank-bank konvensional. Negara-negara lain yang sudah
mengembangkan sistem perbankan syariah adalah Siprus, Kuwait, Bahrain, Uni
emirat Arab, dan Turki.[14]
Dibandingkan dengan
negara-negara lain seperti Malaysia yang telah melakukan pengembangan bank
syariah sejak 1983 atau bahkan Bahrain yang telah melakukannya sejak 1979,
pengembangan bank syariah di Indonesia yang dimulai tahun 1992 relatif
terlambat. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh: [15]
1. belum sependapatnya ulama
Indonesia mengenai keberadaan bunga bank;
2. kurang kondusifnya kondisi
sosial politik di Indonesia yang mengakibatkan belum adanya political will pemerintah
pada masa itu;
3. tanggung jawab moral yang
harus dipikul karena mencantumkan label “syariah”;
4. adanya kendala dasar hukum
sehingga belum memungkinkan pengembangan bank syariah karena bank syariah belum
dikenal dalam UU No. 14 tahun 1967 tentang Perbankan maupun UU No. 13 tahun
1968 tentang Bank Sentral.
Perkembangan
perbankan syariah sebenarnya mulai terasa sejak tahun 1992 yaitu
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang bank bagi hasil. Namun
demikian, undang-undang tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup
kuat terhadap pengembangan bank syariah, karena belum secara tegas mencantumkan
kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya.[16]
Kemudian, pada tahun 1998 diperkuat oleh Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang
perbankan. Dalam UU ini terdapat beberapa hal yang memberikan peluang lebih
besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indoensia. Dalam UU tersebut,
perbankan syariah dikembangkan dengan tujuan:
1. Memenuhi jasa perbankan bagi
masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan diterapkannnya sistem
perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional,maka
mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari
segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional yang
menerapkan sistem bunga
2. Membuka peluang pembiayaan
bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini konsep
yang diterapkan adalah hubungan invenstor yang harmonis. Hal tersebut berbeda
dengan konsep yang diterapkan di bank konvensional, yaitu hubungan antaa
debitur dan kreditur.
3. Memenuhi kebutuhan akan produk
dan jasa perbankan yang memiliki keunggulan komparatif berupa peniadaan beban
bunga yang berkesinambungan, membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif,
pembiayaan yang ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur
moral.
Perbankan syariah di
Indonesia melangkah perlahan, namun melaju dengan pasti. Namun perjalanannya
masih belum diharapkan. Sekian lama berjuang „sendirian‟, perbankan syariah
baru mendapat perhatian pemerintah saat UU Perbankan Syariah mulai digodok di
DPR. Pada 2008 UU Perbankan Syariah pun lahir setelah melalui diskusi panjang
antar anggota dewan, praktisi, pemerintah dan pemangku kepentingan.Namun,
kendati parlemen dan pemerintah telah mengesahkan UU Perbankan Syariah,
industri ini dinilai masih belum berlari seperti yang diharapkan.[17] Padahal
sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia
menjadi kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia.
Hal ini sangat
dimungkinkan melihat pengembangan keuangan syariah di Indonesia dewasa ini yang
lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga
menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di
Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih
bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat
dominan.
Daftar Pustaka
Alamsyah,
Halim “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam
Menyongsong MEA 2015” www.bi.go.id
Anshori,
Abdul Ghofur, “Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dan
Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba,
Vol. II, No. 2, Desember 2008.
Bank Indonesia, Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, 2007.
Bank Indonesia, Statistik
Perbankan Indonesia , Vol: 13 No. 1, Desember 2014
Hasan, Zulkifli “Shariah Governance In The Islamic
Financial Institutions In Malaysia”, Faculty of Shariah and Law Islamic
Science University of Malaysia, http://zulkiflihasan.wordpress.com/ diakses
pada 10 Desember 2012.
Imaniyati, Neni Sri “Perkembangan Regulasi Perbankan
Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar
Madani – Vol. XI No. 1 Maret 2009 Halaman 21 – 38 ISSN : 1410 – 9832.
Majalah
Sharing: Inspirator Ekonomi & Bisnis Syariah, Sudah saatnya Pemerintah
Mendukung Penuh Perbankan Syariah, , Edisi 55 Tahun V Juli 2011.
Nurohman,
Dede, “Undang-Undang Perbankan Syariah: Makna, Implikasi dan Tantangan”. Jurnal
Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2, Desember 2008.
Rivai, Veithzal dan Arviyan
Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan
Siregar
Mulya, “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung Sistem Ekonomi
yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan Arah Kebijakan”, Iqtisad:
JurnalEkonomi Islam, Vol. 3, No. 1, Maret 2002.
Waluyo,
Bambang, “Prinsip Ekonomi dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi dan
Bisnis, Vol.6, No.2, Juli 2007.
Wibowo,
Muh. Ghafur, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis
Perkembangan Perbankan Syariah Terkini, Yogyakarta: Biruni Press, 2007
[1] Bank
Indonesia, Cetak Biru Pengembangan
Perbankan Syariah di Indonesia, 2007.
[2] Abdul Ghofur
Anshori, “Sejarah Perkembangan Hukum
Perbankan Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan
Nasional”, Jurnal Ekonomi Islam La
Riba, Vol. II, No. 2, Desember 2008.
[3]Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian
Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), 2.
[4]Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking:
Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 107.
[5] Bambang Waluyo, “Prinsip Ekonomi dalam Perbankan Syariah”,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, (Vol.6, No.2, Juli 2007).
[6] Mulya Siregar, “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah
Untuk Mendukung Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan
Arah Kebijakan”, Iqtisad: Jurnal Ekonomi Islam, (Vol. 3, No. 1, Maret
2002), 46-66.
[7] Mulya Siregar,
“Agenda Pengembangan Perbankan Syariah, 46-66.
[8] Tahap I (2002-2004) Peletakan
landasan pengembangan. Fokus aktivitas dalam tahap ini adalah menyusun
ketentuan kelembagaan bank syariah dan menyiapkan infrastruktur dasar yang
diperlukan untuk pertumbuhan bank syariah. Tahap II (2005-2009) Penguatan struktur industri, Fokus aktifitas
peningkatan daya saing, efisiensi operasi, pengayaan produk, serta kompetensi
dan profesionalisme SDM perbankan syariah Tahap III (2010-2012) Pencapaian standar keuangan dan kualitas
pelayanan internasional. Fokus aktivitas meningkatkan kualitas layanan dan
operasional perbankan syariah. Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan
Perbankan Syariah di Indonesia, 2007
[10]Halim Alamsyah “Perkembangan
dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015”
www.bi.go.id
[11] Dede Nurohman, “Undang-Undang Perbankan Syariah: Makna,
Implikasi dan Tantangan”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. II, No. 2,
Desember 2008.
[12] Neni Sri Imaniyati “Perkembangan Regulasi Perbankan
Syariah di Indonesia : Peluang dan Tantangan” Jurnal Ilmu Hukum: Syiar
Madani – Vol. XI No. 1 Maret 2009 Halaman 21 – 38 ISSN : 1410 – 9832
[13] Bank Indonesia, Statistik
Perbankan Indonesia, September 2012.
[14] Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini,
2.
[15] Mulya Siregar,
“Agenda Pengembangan Perbankan Syariah, 46-66.
[16] Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini, 2.
[17]Majalah Sharing: Inspirator Ekonomi & Bisnis Syariah, Sudah
saatnya Pemerintah Mendukung Penuh Perbankan Syariah, , (Edisi 55 Tahun V
Juli) 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar