SISTEM KEUANGAN ISLAM
St. Marwah Aras
Abstrak
Sistem Keuangan Islam merupakan embrio kekuatan
ekonomi di negara ini, di zamannya ia mampu menjadi sistem yang bisa
mensejahterakan umatnya. Di masa krisis, ia mampu lolos dari kebangkrutan,
sekalipun tidak mendapat bantuan dana BLBI. Konsep yang mengandung ke-Islaman ini harus menjadi
kekuatan baru dalam membangkitkan kembali perekonomian negeri ini. Sistem
Keuangan Islam ini
berkembang pesat memainkan peranan penting dalam mengalokasikan sumber daya dan
meningkatkan pembangunan ekonomi.
Kata Kunci: Sistem Keuangan Islam, karakteristik, instrument,
strategi
Pendahuluan
Selama
beberapa dekade terakhir, perkembangan keuangan Islam menunjukkan perubahan dan
dinamika dramatis yang cepat. Sebagai bagian instrumen
pengembang aktivitas di bidang ekonomi, beragam tantangan dihadapi sistem keuangan Islam,
seperti pada aspek teoritis, operasional dan implementasi.[1] Pada aspek teoritis,
dibutuhkan pengembangan prinsip, filosofis dan
fungsi sistem keuangan atas dasar pembagian keuntungan dan kerugian (profit-loss sharing).
Pada sisi operasional, dibutuhkan perhatian terhadap inovasi, intermediasi, disiplin dan
pengendalian resiko, sementara pada sisi implementasi
diperlukan aplikasi sistem yang harus disesuaikan dengan regulasi, dan kondisi
perekonomian masyarakat saat ini. Bahkan,
operasional perbankan Islam pada skala sistem yang efisien selama ini, amat dibatasi oleh
distorsi dalam ekonomi, seperti kurangnya kerangka
pengawasan yang kuat dan regulasi yang cermat dalam sistem keuangan.[2] Hal ini dapat memberikan
dampak pada ketidakseimbangan finansial
dalam fiskal dan moneter, dan tidak memberikan efisiensi perkembangan perbankan Islam
sehingga terjadilah disequilibrium financial.
Sistem keuangan
Keuangan adalah
senjata politik, sosial, dan ekonomi yang ampuh di dunia modern. Ia berperan
penting tidak hanya dalam alokasi dan distribusi sumber daya yang langka,
tetapi juga dalam stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Karena sumber-sumber
lembaga keuangan berasal dari deposit yang diletakkan oleh bagian yang
representative mewakili seluruh penduduk, cukup rasional kalau ia juga dianggap
sebagai sumber nasional. Seluruhnya harus digunakan untuk kesejahteraan bagi
masyarakat. Namun karena sumber-sumber keuangan itu sangat langka maka perlu digunakan
dengan keadilan dan efesiensi yang optimal.[3]
Sistem keuangan
adalah suatu aturan yang menjelaskan sumber-sumber dana keuangan bagi negara
dalam proses alokasi dana tersebut bagi kehidupan masyarakat.[4] Peran utama sistem
keuangan adalah mendorong alokasi efesiensi sumber daya keuangan dan sumber
daya riil untuk berbagai tujuan dan sasaran yang beraneka ragam.[5]
Sistem keuangan merupakan
tatanan perekonomian dalam suatu negara yang berperan melakukan aktifitas jasa
keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga keuangan. Tugas utama sistem
keuangan adalah sebagai mediator antara pemilik dana dengan pengguna dana yang
digunakan untuk membeli barang atau jasa serta investasi. Oleh karena itu
peranan sistem keuangan sangat vital
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, serta mampu memprediksi perkembangan
perekonomian dimasa yang akan datang.[6]
Sistem keuangan Islam
Keuangan
Islam adalah sebuah sistem yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, serta dari
penafsiran para ulama terhadap sumber-sumber wahyu tersebut. Dalam berbagai
bentuknya, struktur keuangan Islam telah menjadi sebuah peradaban yang tidak
berubah selama empat belas abad. Selama tiga dasawarsa terakhir, struktur
keuangan Islam telah tampil sebagai salah satu implementasi modern dari sistem
hukum Islam yang paling penting dan berhasil, dan sebagai ujicoba bagi
pembaruan dan perkembangan hukum Islam pada masa mendatang
Ciri-ciri sistem keuangan Islam adalah:[7]
1.
Harta publik dalam sistem keuangan Negara Islam adalah harta Allah.
2.
Rasul adalah orang pertama yang melakukan praktik keuangan
Islam.
3.
Al-Qur’an dan sunah merupakan sumber yang mendasar bagi
keuangan Islam.
4.
System keuangan Islam adalah system keuagan yang universal.
5.
Keuangan khusus dalam Islam menopaang system keuagan Negara
Islam.
6.
Sistem keuangan Islam mengambil prinsip olokasi terhadap
layanan sebagai sumber sumber pendapatan Negara.
7.
Sistem keuangan Islam ditandai dengan traspransi.
8.
Sistem keuangan Negara Islam merpakan gerakan kebaikan
9.
Sistem keuangan Islam adalah modal toleransi umat Islam.
Pengertian sistem
keuangan Islam merupakan sistem keuangan yang menjembatani antara pihak yang
membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana melalui produk dan jasa
keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
1. Kebebasan
bertransaksi, namun harus didasari dengan prinsip suka sama suka dan tidak ada
yang dizalimi, dengan didasari dengan akad yang sah. Dan transaksi tidak boleh
pada produk yang haram. Asas suka sama suka untuk melakukan kegiatan bisnis
atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini yang
dapat menimbulkan kerugian masing-masing.
2. Bebas dari
maghrib (maysir yaitu judi atau spekulatif yang berfungsi mengurangi
konflik dalam sistem keuangan, gharar yaitu penipuan atau ketidak
jelasan, riba pengambilan tambahan dengan cara batil).
3. Bebas dari
upaya mengendalikan, merekayasa dan memanipulasi harga.
4. Semua orang
berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, akurat agar bebas dari
ketidaktahuan bertransaksi.
5. Pihak-pihak
yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin
dapat terganggu, oleh karenanya pihak ketiga diberikan hak atau pilihan.
1.
Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis
transaksi
2.
Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan
pada kewajaran dan keuntungan yang halal.
3.
Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya.
4.
Larangan menjalankan monopoli.
5.
Bekerja sama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas
bisnis dan perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam
Tujuan utama
sistem keuangan Islam adalah: menghapus bunga dari semua transaksi keuangan dan
menjalankan aktifitasnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, distribusi kekayaan
yang adil dan merata, kemajuan pembangunan ekonomi.[10]
Sistem
keuangan Islam bertujuan untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada
komunitas muslim, di samping itu juga diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang layak bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi Islam. Target utamanya adalah
kesejahteraan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, keadilan sosio-ekonomi dan distribusi pendapatan, kekayaan yang
wajar, stabilitas nilai uang, dan mobilisasi serta investasi tabungan untuk
pembangunan ekonomi yang mampu memberikan jaminan keuntungan (bagi hasil)
kepada semua pihak yang terlibat.[11]
Sistem
keuangan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif terbaik dalam mencapai
kesejahteraan masyarakat. Penghapusan prinsip bunga dalam sistem keuangan Islam
memiliki dampak makro yang cukup signifikan, karena bukan hanya prinsip
investasi langsung saja yang harus bebas dari bunga, namun prinsip investasi
tak langsung juga harus bebas dari bunga. Perbankan sebagai lembaga keuangan utama
dalam sistem keuangan dewasa ini tidak hanya berperan sebagai lembaga perantara
keuangan (financial intermediary), namun juga sebagai industri penyedia jasa
keuangan (financial industry) dan instrumen kebijakan moneter yang utama.[12]
Karakteristik sistem
keuangan Islam
Pertama, Nilai
Ketuhanan. Menurut Yûsuf Qaradhawî, ekonomi Islam adalah
ekonomi yang bercirikan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir
kepada Allah. Penggunaan sarana dan fasilitas dari Allah ini dilakukan melalui
hukum dan syari’at Allah SWT. Ketika seorang muslim menggunakan atau menikmati
sesuatu di dunia ini, secara langsung ia telah melakukan ibadah kepada Allah,
dan merupakan sebuah kewajiban baginya untuk mensyukuri segala nikmat-Nya yang
telah diberikan kepadanya. Berdasarkan nilai filosofis ini, dalam ekonomi
syariah muncul sebuah norma yang
disebut norma al-istikhlâf. Adanya norma istikhlâf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan
dalam ekonomi syariah. Sebab, seorang muslim wajib percaya bahwa ia makhluk
Allah, ia bekerja di bumi Allah, dengan kekuatan dari Allah, dan melalui sarana
dan prasarana dari Allah. Seorang muslim bekerja sesuai dengan hukum
kausalitas. Jika ia memperoleh harta, maka pada hakikatnya itu adalah harta
Allah yang dititipkan kepadanya. Allah-lah
yang menciptakan harta itu, dan Dia-lah pemilik sejati. Sementara itu, manusia hanya sebagai penjaga
amanah yang telah diberikan kepadanya.[13]
Kedua, Nilai
Dasar Kepemilikan (al-milkiyah). Konsep kepemilikan dalam Islam tidak sama dengan konsep
kepemilikan dalam faham liberalisme seperti
yang dikemukakan oleh Jhon Locke. Menurut Jhon Locke, setiap manusia adalah tuan serta
penguasa penuh atas kepribadiannya, atas tubuhnya, dan atas tenaga kerja yang
berasal dari tubuhnya. Artinya, kepemilikan yang ada pada diri seseorang adalah
bersifat absolut. Oleh karena itu untuk apa dan bagaimana
dia menggunakan harta tersebut adalah mutlak tergantung kepada kehendak dirinya. Hal ini tidak
disetujui oleh Karl Marx. Marx berpendapat bahwa hal yang seperti itu
adalah sangat berbahaya karena akan membawa kepada kehidupan yang eksploitatif
dan penuh konflik.[14] Berbeda dengan dua
pandangan tersebut di atas, Islam mengakui kepemilikan individual. Di samping
itu, Islam pun mengakui akan adanya kepemilikan
oleh masyarakat dan oleh negara. Akan tetapi, kepemilikan tersebut tidak bersifat absolut,
tetapi bersifat relatif. Artinya, bahwa kepemilikan
yang ada pada seseorang atau masyarakat atau negara tersebut bukanlah sepenuhnya milik dan
hasil dari usaha mereka. Akan tetapi, semua itu merupakan
amanat dan titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menghambur-hamburkan
hartanya, atau bahkan menuhankan hartanya.
Jika demikian, berarti harta tersebut akan kehilangan fungsi sosial dan nilai manfaatnya.[15] Sehingga dalam ajaran
Islam, kepemilikan manusia bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber
ekonomi, karena pemilik mutlaknya adalah Allah, manusia hanya diberi amanat dan
kemampuan untuk memanfaatkan
sumber-sumber yang diamanatkan tersebut.
Ketiga, Keseimbangan (al-Muwâzanah).
Sistem ekonomi kapitalis lebih mementingkan individu dibanding dengan masyarakat. Pada
sistem ini seseorang merasakan harga diri dan eksistensinya. Orang
diberi kesempatan untuk mengembangkan segala potensi dan kepribadiannya.
Namun, akhirnya seseorang terkena penyakit egoistis, materialistis,
pragmatis, dan rakus untuk memiliki segala sesuatu, dan orientasi kehidupannya
merupakan profit motif. Dalam ajaran Islam, masalah keseimbangan mendapat penekanan
dan perhatian secara
khusus. Tidak hanya adanya keseimbangan antara kepentingan seseorang dengan
kepentingan bersama, antara kepentingan dunia dan akhirat, antara kepentingan
jasmani dan rohani, antara idealisme dan realita. Akan tetapi juga,
keseimbangan antara modal dan aktifitas, antara produksi dan konsumsi, serta
adanya sirkulasi kekayaan.[16] Oleh karena itu, Islam
mencegah dan melarang terjadinya akumulasi dan konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir
orang. (QS. 59 (al-Hasyr): 7) ....supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang yang kaya saja di antara
kamu... (QS. 59 (al-Hasyr): 7).
Sebaliknya jika
terjadi kesenjangan kepemilikan yang tajam antar individu, berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, berarti telah terjadi praktek kezaliman. Untuk
mengantisipasinya, Islam telah menawarkan solusi pemecahan melalui instrumen zakat, infaq dan sadaqah
yang dapat menyentuh dan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Keseimbangan
merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku seorang muslim. Nilai dasar keseimbangan
ini harus dijaga sebaik-baiknya, bukan saja antara kepentingan dunia dengan
kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi juga keseimbangan antara hak dan
kewajiban antara kepentingan individu, masyarakat dan lain sebagainya.
Keempat, Nilai Dasar
Persaudaraan dan Kebersamaan (al-Ukhuwwâh wa al-Isytirâkiyyah wa al-jamâ’ah).
Pada paham sosialisme dan komunisme, persaudaraan dan kebersamaan merupakan nilai yang utama dan
pertama. Untuk itu, agar
nilai-nilai tersebut tidak rusak dan tidak terganggu maka kepemilikan
individual yang menjadi penyebab terjadinya perselisihan dan persengketaan
harus dihapuskan dan digantikan oleh negara. Negaralah yang mengatur produksi,
konsumsi dan distribusi masyarakat. Dalam paham kapitalisme, hal ini tidaklah terlalu menjadi perhatian.
Bagi mereka persaudaraan akan dapat terjadi secara otomatis diluar
maksud para pelaku ekonomi itu sendiri, karena perekat persaudaraan, menurut
paham ini adalah kepentingan.
Kedua paham di
atas, berbeda dengan ajaran Islam. Dalam Islam, kebersamaan merupakan indikator atas keimanan seorang
muslim. Nilai-nilai persaudaraan merupakan konsekuensi logis dari penunjukan
manusia sebagai khalîfah fi al-ard, karena penunjukan tersebut
bukan hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, ditujukan
kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Oleh sebab itu, perbedaan ras, etnik, dan
bahasa bukanlah menjadi variabel pembeda di mata Allah SWT.[17]
Kelima, Nilai Dasar
Kebebasan (al-Istiqlâliyyah). Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap individu diberikan kebebasan
yang seluas-luasnya untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan harta yang
dimilikinya. Juga untuk masuk atau tidak masuk ke dalam pasar, baik sebagai
produsen, distributor, atau konsumen. Atau dengan perkataan lain,
tidak ada yang bisa mengatasi kebebasan seseorang individu kecuali dirinya
sendiri. Hal ini tidak dapat diterima oleh paham sosialis-komunis. Mereka melihat
bahwa kebebasan seperti itu akan membawa kepada tindakan anarkis. Oleh
sebab itu, kebebasan tersebut harus ditundukkan kepada kepentingan bersama.[18]
Keenam, Nilai Dasar
Keadilan (al-‘adâlah). Keadilan yaitu memberikan setiap hak kepada
para pemiliknya masing-masing tanpa melebihkan dan mengurangi.[19] Persoalannya sekarang
adalah siapakah yang berkompeten untuk menentukan keadilan tersebut? Pada sistem sosialisme dan
komunisme, yang menentukan keadilan itu merupakan otoritas negara, sedang
dalam sistem kapitalisme yang berkompeten adalah otoritas individu.
Sementara itu, menurut persepsi Islam yang menetapkan keadilan itu
merupakan otoritas dan kewenangan dari Allah SWT. Dalam masyarakat sosialisme dan
komunisme, yang menjadikan kebersamaan dan kesamarataan sebagai nilai utama,
maka faktor kebutuhan dijadikan dasar untuk menentukan sesuatu itu adil atau
tidak. Menurut paham ini, suatu masyarakat baru dikatakan adil jika semua kebutuhan warganya
telah terpenuhi, terutama kebutuhan sandang, pangan dan papan. Sebaliknya,
jika tidak, maka telah terjadi praktek kedzaliman.[20]
Instrumen sistem
keuangan Islam
Tiap
sistem ekonomi memiliki nilai instrumental tersendiri. Adapun nilai instrumental sistem
ekonomi kapitalis adalah: persaingan sempurna, kebebasan
keluar masuk pasar tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasar yang atomistik monopolistik.
Sedangkan nilai instrumental sistem ekonomi Marxis, antara lain adalah: adanya
perencanaan ekonomi yang bersifat sentral dan
mekanistik, serta pemilikan faktor-faktor produksi oleh kaum proletar secara kolektif.
Dalam
sistem ekonomi syariah, nilai instrumental yang strategis yang mempengaruhi tingkah laku
ekonomi seorang muslim, adalah:
Pertama;
Zakat.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama yang dibebankan
atas harta kekayaan seseorang menurut aturan
tertentu dalam sistem ekonomi syariah.[21] Zakat merupakan sumber pendapatan negara. Di samping
pajak, al-fay, ghanîmah dan harus dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
Kedua; Pelarangan
riba. Secara harfiah, arti riba adalah bertambah atau mengembang. Sedangkan menurut
istilah, riba adalah tambahan dalam pembayaran
hutang sebagai imbalan jangka waktu yang terpakai selama hutang belum dibayar.[22]
Ketiga;
Kerjasama
ekonomi. Kerjasama merupakan watak masyarakat ekonomi
menurut ajaran Islam. Kerjasama harus tercermin dalam segala tingkat kegiatan ekonomi, produksi,
distribusi baik barang maupun jasa. Bentuk-bentuk kerjasama tersebut diantaranya
berupa muzâra’ah dan musâqah dalam bidang
pertanian, mudhârabah dan musyârakah dalam perdagangan. Prinsip kerjasama tersebut
dijunjung oleh ajaran Islam karena kerjasama
tersebut akan dapat:[23] a). Menciptakan kerja
produktif dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. b). Meningkatkan
kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan masyarakat. c). Mencegah penindasan
ekonomi dan distribusi
kekayaan yang tidak merata. d). Melindungi kepentingan golongan ekonomi lemah.
Keempat,
Jaminan
sosial. Di dalam al-Quran banyak dijumpai ajaran yang
menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat.
Kelima,
Pelarangan
terhadap praktek-praktek usaha yang kotor. Ada beberapa
praktek bisnis yang dilarang dalam Islam seperti pelarangan terhadap praktek penimbunan, takhfîf (curang
dalam timbangan), tidak jujur, tidak menghargai
prestasi, proteksionisme, monopoli, spekulasi, pemaksaan dan lainlain. Hal ini dilarang karena bila
ditolerir akan dapat merusak pasar sehingga kealamiahan
pasar menjadi rusak dan terganggu.
Keenam,
Peranan
Negara. Untuk tegaknya tujuan dan nilai-nilai sistem
ekonomi syariah diatas diperlukan power atau peranan negara terutama dalam aspek hukum, perencanaan
dan pengawasan alokasi atau distribusi sumber
daya dan dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi.
Strategis
Optimalisasi Sistem Keuangan Islam
1. Kesejahteraan
ekonomi yang menyeluruh berdasarkan full employment dan tingkat pertumbuhan
ekonomi optimum.
2. Keadilan
sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
3. Stabilitas
dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of change dapat dipergunakan
sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan pembayaran dan
nilai tukar yang stabil.
4. Mobilitas
dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan jaminan pengembalian
yang adil dan prospektif.
5. Penagihan
yang efektif dari semua jasa dan produk perbankan.
Untuk
memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap ekonomi, sistem keuangan Islam perlu memiliki porsi yang lebih
signifikan terhadap total
asset keuangan, yakni setidaknya 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah, bank sentral, dan agen-agen
ekonomi yang peduli pada sistem keuangan Islam perlu bekerja lebih keras.
Terkait dengan itu, setidaknya ada lima langkah dalam
mempercepat perkembangan sistem keuangan syariah, baik secara nasional maupun internasional.
Pertama,
perlunya
memperkuat sistem pengaturan dan pengawasan lembaga
keuangan Islam.
Tingkat pertumbuhan keuangan Islam sangatlah beragam di berbagai negara.
Tingkat perkembangan ini memiliki korelasi yang positif
terhadap tingkat pengaturan dan pengawasan. Sistem keuangan yang kurang baik di berbagai negara
terkadang disebabkan tidak layaknya peraturan dan
pengawasan yang ada, sehingga diperlukan kolaborasi dalam mengisi kesenjangan pengaturan yang ada.
Kedua, perlunya
koordinasi dan kerjasama internasional. Berdasarkan kodratnya, sistem keuangan Islam lebih
tahan dan lebih stabil dari guncangan keuangan.
Namun demikian, pada kenyataannya, harus disadari bahwa operasional dari sistem keuangan
Islam tidaklah
terisolasi dari sistem keuangan konvensional.
Dalam situasi demikian, diperlukan kerja sama dan koordinasi internasional. Saat ini, sudah
terdapat beberapa lembaga internasional, seperti internasional
Financial Services Board (IFSB) di Malaysia, International Islamic Financial Markets
(IIFM), dan Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI) di Bahrain. Peran dari
institusi-institusi tersebut
sebaiknya diperkuat dan ditingkatkan.
Ketiga,
perlunya
kolaborasi di tingkat pengawasan sistem keuangan Islam lintas negara.
Saat ini, telah terlihat banyak lembaga keuangan Islam yang beroperasi secara global,
namun memiliki kekurangan kolaborasi di dalam pengawasan
lintas negara. Hampir seluruh kolaborasi pada sistem keuangan Islam fokus terhadap
standar regulasi dan manajemen likuiditas.
Keempat,
perlunya
model bisnis sistem keuangan Islam khususnya di perbankan syariah, dengan
memberikan penekanan pada bisnis di sektor rill ketimbang
pasar keuangan. Selain lebih mempromosikan pertumbuhan yang berkesinambungan. Model seperti
ini lebih mampu menahan tekanan krisis keuangan. Perkembangan keuangan ekonomi Islam di Indonesia sampai saat ini masih sejalan dengan model
bisnis. Hal ini disebabkan adanya perkembangan produk
sistem keuangan Islam yang
didorong oleh pasar dalam memenuhi permintaan
di sektor riil. Namun demikian, strategi ini bukan berarti melupakan upaya perkembangan
produk-produk keuangan Islam di Indonesia yang terhitung masih agak
tertinggal.
Kelima,
perlunya
penetapan acuan rate of return berdasarkan prinsip Islam yang
sesungguhnya. Prinsip berbagi keuntungan dan kerugian merupakan semangat terciptanya
sistem keuangan Islam. Namun
demikian, sampat saat ini,
lembaga keuangan Islam sepertinya
cenderung mengacu pada rate of
return sistem perbankan konvensional, yakni suku bunga. Perilaku seperti ini membawa risiko bagi
reputasi lembaga keuangan Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto,
Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Citapustaka Media,
2002)
Andri Soemitra, Bank Dan
Lembaga Keuangan Shari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010)
Anwar
Abbas, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Makalah: Disampaikan pada
acara:Pelatihan Perbankan Syari’ah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004)
Heri Sudarsono, Bank &
Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi 2, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2003)
K. Bertans, Pengantar Etika Bisnis,
(Yogyakarta: 2002)
M. Daud Ali, Sistem
Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI
Press, 1998)
M. Umer Chapra, Islam Dan
Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1999)
M. Umer Chapra, Sistem
Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin B, Cetakan Pertama, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000)
Mervyn
K. Lewis Dan Latifa M. Algoud, Perbankan Shari’ah: Prinsip, Praktik, Dan
Konsep, (Jakarta: Serambi, 2007)
Muhamad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (UII
Press Yogyakarta, 2000)
Qutb Ibrahim, Muhammad,
Bagaimana Rasullulah Mengelola Ekonomi Keuangan Islam Dan System Administrasi,
(Gaung Perseda Press, 2007)
Said
Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004)
Yusuf
Qaradhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
Yusuf Qaradhawi, Peran
dan Nilai Moral dalam perekonomian (Jakarta: Rabbani Press, 1995)
Zamir
Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek, terj.
Oleh A.K. Anwar, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008)
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar
Keuangan Islam: Teori Dan Praktek, (Jakarta: Kencana, 2008)
[1]Zamir Iqbal dan
Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek, terj. Oleh A.K.
Anwar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 373
[3]M Umer Chapra, Islam Dan
Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1999), h.351
[4]Said Sa’ad Marthon, Ekonomi
Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h.91
[5]Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar
Keuangan Islam: Teori Dan Praktek, (Jakarta: Kencana, 2008), h.159
[7]Qutb Ibrahim, Muhammad,
Bagaimana Rasullulah Mengelola Ekonomi Keuangan Islam Dan System Administrasi,
2007,Gaung Perseda Press, h.17
[10]Mervyn K. Lewis Dan Latifa M.
Algoud, Perbankan Shari’ah: Prinsip, Praktik, Dan Konsep, (Jakarta:
Serambi, 2007), h. 123
[11]M. Umer Chapra, Sistem Moneter
Islam, terj. Ikhwan Abidin B, Cetakan Pertama, (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), h. 2
[12]Heri Sudarsono, Bank &
Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi 2, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2003), h. 5
[14]Anwar Abbas,
Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Makalah: Disampaikan pada acara:Pelatihan
Perbankan Syari’ah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h. 1
[15]Ibid.,
h. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar