Kamis, 26 Januari 2017

TRANSAKSI DALAM ISLAM

TRANSAKSI DALAM ISLAM
KARLINA
Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Syariah STAIN Watampone

ABSTRAK
Islam adalah suatu sistem hidup yang praktis, mengajarkan segalah yang baik dan bermanfaat bagi manusia, kapan dan di mana pun tahap-tahap perkembanganya.Artinya ajaran islam dapat diterapkan pada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Selain itu islam adalah agama yang fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia. Aktifitas atau transaksi keuangan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk kepada ajaran Al Qur’an.
Islam mempunyai hukum tersendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad atau transaksi-transaksi, sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan dalam bisnis, dan transaksi jual beli untuk memenuhi kebutuhan hidup.







Pendahuluan
Pada zaman yang modern ini, tidak jarang kita melakukan transaksi setiap harinya. Karena kita makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka sering kali kita melakukan transaksi. Ini berarti ketika suatu transaksi  baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadis yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implicit. Dengan demikian, dalam bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermu'amalah antara satu dengan yang lainnya.Mu'amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia.Oleh karena itu aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur'an tidakmungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang berubah itu.Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu'amalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis besar.
Transaksi
1.      Kerja Sama (Syirkah)
a.       Al Mudharabah
AL-mudarabah merupakan kontrak yang melibatkan dua kelompok,yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk di gunakan dalam aktivitas perdagangan.praktik mudharabah adalaha apabilah seseorang menyerahkan harta kepada orang lain untuk mengelolahnya dan keuntungannya di bagi di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan keduanya.[1]
Diantara dalil yang menjelaskan masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam malik dalam Al Muawatha’ bahwa dua anak Umar bin Khattab, yaitu Abdullah dan Ubaidilah  melewati Abu musa Al Asy’ari di Basrah, kemudian Abu Musa Al Asy’ari member keduanya uang untuk diserahkan kepada umar bin Khattab dan menyuruh keduanya membeli barang untuk dijual dengan uang tersebut, serta jika keduanya telah menjual, maka keduanya menyerahkan modalnya kepada Umar bin Khattab. Hanya saja Umar bin Khattab tidak memberikan keuntungan atas perdagangan tersebut kepada kedua anaknya. Ubaidillah berkata kepada umar, “Bagaimana kalalu engkau menjadikannya sebagai pinjaman?” dana sebelumnya Ubaidillah berkata, “jika uang tersebut berkurang atau mengalami kerusakan kami pasti menggantinya.[2]
Unsur mudharabah dalam wacana fiqh:
a)      Modal. Modal ini dapat direalisasikan dalam bentuk sejumlah mata uang yang beredar. Umumnya dana yang diberikan dalam pembiayaan kontrak mudharabah tidak diberikan secara kontan. Hal ini memungkinkan pihak bank untuk senangtiasa mengawasi dan mengelolah usaha tersebut.
b)      Manajemen. Tugas mudharib dalam menjalankan pembiayaan kontrak mudharabah meliputi pengelolah dan pembelanjaan, penyimpanan, pemasaran, maupun penjualan barang dagangan.
c)      Masa berlakunya kontrak. Kontrak tidak memuat aturan khusus mengenai batas berlakunya. Adanya batasan masa berlakunya kontrak akan membuat kontrak batal (mashab Maliki dan syafi’i).
d)     Jaminan. Insvestor tidak dapat meminta jaminan dari pihak mudharib untuk memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta keuntunganya.
e)      Perinsip bagi hasil. Kontrak mudharabah menetapkan tingkat keuntungan (profit) bagi tiap-tiap pihak.pembagian keuntungan dilakukan melalui tingkat perbandingan rasio,bukan ditetapkan dalam jumlah yang pasti.
Rukun mudharabah terdiri dari:[3]
a)      Ada pemilik dana
b)      Ada usaha yang akan dibagihasilkan
c)      Ada nisbah
d)     Ada ijab kabul

b.    Al Musyarakah
Al Musyarakah adalah akad kerjasama (percampuran) antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerja sama. Konsep al Musyarakah dikembangkan kedalam bentuk-bentuk kerjasama dalam suatu proyek tertentu.Konsep ini dikembangkan dengan berdasarkan perinsip bagi hasil, atau dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PSL) di lembaga syariah.
Dasar hukum al Musyarakah terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 12: “tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka beersekutu dalam yang sepertiga itu” juga terdapat dalam surat Shaad ayat 24: “dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh.
Ijma’ mengatakan bahwa para ulama telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat terdapat dalam beberapa elemenya.
Syirkah merupakan salah satu institusi bisnis tertua yang hingga sekarang masih eksis dan diperaktikkan oleh masyarakat Muslim. Sejalan dengan dinamika pemikiran manusia, akad syikah mengalami proses modifikasih guna di adaptasi dengan kebutuhan manusia yang selalu mengalami perkembangan.[4]
Dalam khazanah ilmu fiqih, musyarakah melingkupi jenis-jenis transaksih yang sangat luas. Secara garis besar musyarakah terdiri atas empat jenis:[5]
a)      Syirkatul inan, atau syirkah keuangan terjadi bila ada dua orang atau lebih yang sepakat untuk menjalankan bisnis melalui modal yang mereka miliki dengan nisbah bagi hasil yang disepakati di awal.Bila bisnis ini mendapat keuntungan, mereka berbagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati.
b)      Syirkatulabdan, transaksi ini disebut juga syirkah oprasional,terjadi bila dua orang atau lebih sepakat untuk melakukan bisnis melalui tenaga yang mereka miliki dengan nisbah bagi hasil yang disepakati di awal. Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah,rugi ditanggung bersama secara merata.
c)      Syirkatul wujuh, transaksi ini dalam istilah akuntansi disebut juga sebagai nilai good wiil, yaitu kesepakatan antara orang yang mempunyai kredibilitas di bidang tertentu yang dengan kredibilitasnya melakukan bisnis. Untung dibagi sesuai nisbah yang disepakati di awal, rugi berupa namerisk ditanggung pemilik kredibilitas dan rugi berupa uang ditanggung pemilik modal.
d)     Syirkatul mudharabah,transaksi ini sebenarnya adalah kombinasi antara syirkah keuangan dan syirkah oprasional. Dalam syirkah ini, salah satu pihak menjadi pemodal dan pihak lain menjadi operator.
c.    Al Muzara’ah dan Al Mukhabarah
Al Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap. Di mana benih tanamanya berasal dari petani atau penggarap, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditananami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (peresenntase) dari hasil panen.Sedangkan al Mukharabah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana benih tanamanya berasal dari pemilik lahan, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Landasan syari’ah transaksi ini antara lain dalam hadits: “diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah  SAW bersabda pernah memberikan tanah khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih yahudi ) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman”.
Zakat Al Muzara’ah atau Al Mukhabarah yang merupakan hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang mempunyai benih, jadi pada al muzara’ah, zakat wajib adalah atas petani yang bekerja, pada hakikatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan dari sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapat  sebelum dibagi. Sistem al Musara’ah inibisa lebih menguntungkan dari pada sistem ijaroh (sewa tanah), baik bagi pemilik tanah maupun bagi pengarapnya.
Mengenai hak dan kewajiban masing-masing pemilik tanah dan penggarap tanah, bisah diatur sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat, baik menurut adat istiadat setempat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa kewajiban pemilik tanah, antara lain sebagai berikut.
a.       Membayar pajak tanah dan pajak lain-lainnya.
b.      Menyediakan peralatan-peralatan yang diperlukan untuk penggarapan lahan tanaman.
d.         Al Musaqah
Al Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari al muzara’ah, dimana penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sebagai imbalan, dan penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Semua telah dilakukan oleh kulafaur Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinnya, tapi tidak seorang pun yang menyanggahnya.Berat ini adalah suatu Ijma sukuti (konsensus) dari umat”.
2.      Jual-Beli (Al Bai’)
a.       Pengertian dan hikmah jual beli
Pengertian jual beli dari segi etimologis adalah manukar harta dengan harta. Sedangkan pengertian dari istilah adalah manukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (Sulaiman Rasyid, 2005). Pengertian sebenarnya dari kata “ bay”un” (jual) itu ialah pemilikan harta (barang dengan barang) dan agama menambahkan persyaratan saling rela (suka sama suka).
Secara bahasa jual beli terdiri dari dua kata, yaitu jual dan beli.Kedua kata ini dalam bahasa Arab sama dengan al- bai’ dan al-syira.Keduanya merupakan rangkaian makna timbal balik.Di dalam Al-Quran, kedua term itu dsebutkan secara terpisah tetapi mempunyai makna bersamaan.[6]
Secara terminologi, jual beli mempunyai makna yang luas. Segala bentuk yang berkaitan dengan proses pemindahan hak milik barang atau asset kepada orang lain termasuk dalam lingkup pengertian jual beli.[7]
Jual beli menurut pengertian etimologi (kebahasaan) adalah saling menukar. Menurut terminologi atau pengertian syariat, jual beli adalah tukar menukar harta (semua yang dimiliki dan dimanfaatkan) atas dasar saling rela atau memindahkan milik (yang bukan hak milik) dengan ganti (bukan pemberian atau hibah)[8]
Menurut Al Jasairi (2000), hikma disyariatkannya jual beli ialah seseorang muslim bisah mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan sesuatu yang ada di tangan saudaranyatanpa kesulitan yang berarti.
b.      Rukun Jual Beli
1)      Penjual dan pembeli, baik penjual dan pembeli mempunyai syarat-syarat:
a.    Berakal, agar dia tidak tertipu, orang yang gila tidak termasuk tidak sah jual belinya.
b.   Dengan kehendak sendiri, bukan dipaksa (suka sam suka).
c.    Tidak mubazir.
d.   Baligh
2)      Uang dan benda yang dibeli, syaratnya yaitu:
a.    Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh di jadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit hewan atau bangkai yang belum disamak.
b.   Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
c.    Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dengan laut.
d.   Barang tersebut merupakan kepunyaan sipenjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahkan.
3)   Lafaz ijab qobul, ijab adalah perkataan penjual, misalnya saya jual barang ini sekian”. Sedangkan qobul adalah ucapan pembeli, misalnya saya terima (saya beli) dengan harga sekian.
c.       Tidak sahnya jual beli
a.       Menggabungkan dua syarat dalam satu jual beli, misalnya pembeli kayu bakar mensyaratkan bisah memecah kayu bakar sekaligus membawanya, karena Rasulullah SAW bersabda, “Dua syarat dalam satu jual beli itu tidak halal.
b.      Mensyaratkan sesuatu yang merusak inti jual beli itu sendiri, misalnya penjual kambing mensyaratkan kepada pembeli bahwa pembeli tidak boleh menjualnya lagi, atau pembeli tidak boleh menjualnya kepada Zaid, atau tidak boleh menghadiakan kepada Amr, atau penjual mensyaratkan pembeli meminjamkan sesuatu kepadanya atau menjual sesuatu kepadanya.
c.       Syarat batil yang bisah mensahkan jual beli dan membatalkanya, misalnya penjual budak mensyaratkan bahwa wala’ (perwalian) budak yang akan dijual atau menjadi miliknya.
d.      Khiyar dan hukumnya dalam jual beli
Khiyar (hak pilih dalam) jual beli itu disyaratkan dalam masalah-masalah berikut ini:
a)      Jika penjual dan pembeli masih berada di satu tempat dan belum berpisah, maka keduanya mempunyai khiyar (hak pilih) untuk melakukan jual beli, atau membatalkanya
b)      Jika salah satu dari pembeli dan penjual mensyaratkan khiyar (hak pilih) itu berlaku untuk waktu tertentu kemudian keduanya menyepakatinya, maka keduanya terikat dengan khiyar(hak pilih) tersebut hingga waktunya habis.
c)      Jika penjual menipu pembeli dengan penipuan kotor dan penipuan tersebut mencapai sepertiga lebih, misalnya menjual sesuatu yang harganya sepulu ribu dan lima belas ribu, atau dua pulu ribu, maka pembeli di perbolehkan membatalkan jual beli atau membelidengan harga standar.
d)     Jika penjual merahasiakan barang dagangan, misalnya ia keluarkan yang biaik dan merahasikan yang jelek, atau memperhatikan yang bagus dan menyembunyikan yang rusak, maka pembeli mempunyai khiyar untuk membatalkan jual beli, atau melangsungkannya.
e)      Jika terlihat cacat pada barang yang mengurangi nilainnya dan sebelumnya tidak diketahui pembeli dan ia ridha denganya ketika proses tawar menawar, maka pembeli mempunya khiyar (hak pilih) antara mengadakan jual beli atau membatalkanya.
f)       Jika penjual dan pembeli tidak sepakat tentang harga suatu barang atau sifatnya, maka keduanya bersumpah kemudian keduanya mempunyai khiyar antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkanya.
e.       Macam jual-beli
1)      Bai’ Al Murabahah
Sesungguhnya diantara bentuk jual beli ada yang diharamkan dan ada juga yang dipersilahkan hukumnya.Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi usahawan Muslim dan mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal atau haram.
Adapun syarat jual beli murabaha:
a.       Penjual member tahu biaya modal kepada nasabah.
b.      Kontrak harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.       Kontrak harus bebas dari riba.
d.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atau barang sesudah pembelian.
e.       Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
3.      Titipan (Amanah)
a.       Al-Wadiah
Al Wadiah yaitu perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpan (termasuk bank) dimana pihak yang menyimpan bersediah untuk menyimpan dan menjaga keselamatan dan atau uang dititipkan kepadanya. Wadiah, yaitu sebagai amanat orang yang dititipkan dan ia berkewajiban mengembalikannya ketika pemiliknya meminta kembali.[9]Wadiah, yaitu sebagai amanat orang yang dititipkan dan ia berkewajiban mengembalikannya ketika pemiliknya meminta kembali.[10]
b.    Dasar hukum
Dasar hukum al-wadiah adalah dalam QS.An-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya.
c.    Prinsip al Wadiah
1)      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik pemilik dana, tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
2)      Pemilik danah harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup isin penyaluran dana yang disimpandari persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan.
3)      Terhadap pembukaan rekening ini pemilik dana dapat mengenakan pengganti biaya administrasi sekadar untuk menutup biaya yang benar-benar terjadi.
4.      Pegadaian (Ar Rahn)
a.       Pengertian gadai
Ar Rahn atau gadai ialag suatu barang yang dijadikan peneguh atau penjamin kepercayaan dalam utang piutang.Barang itu tidak boleh dijual kalu uatang tidak dapat dibayar, hanya penjual itu hendaklah dengan keadilan.Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang-orang yang berpiutang.
Pengertian gadai (Rahn) menurut ulama shafi’iyyah berpendapat bahwa al-Rahn adalah ja’lu ainin yajuzu bay’uha washikatan bidaynin yustaufa minha ‘inda ta’adhuri wafaihi “menjadikan suatu barang yang bisah di jual sebagai jaminan utang di penuhi dari harganya, bila berutang tidak sanggup membayar utang nya.[11]
Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang di terimanya.[12]
b.      Landasan konsep
Dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 283.jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah) tidak secara tunai)Sedangkan kamu tidak memperoleh seoarang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang).
c.       Teknik transaksi
Pegadaian Syariah berdasarkan dua akad transaksi syariah, yaitu:
1)      Akad Rahn, yaitu menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
2)      Akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu  barang dan atau upah mengupah atas suatu jasadalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.[13]
Rukun akad ijarah, yaitu:[14]
1)   Pelaku akad yaitu, musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset;
2)   Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa); dan
3)   Shighad, yaitu ijab dan kabul
d.      Pendanaan
a.    Di pegadaian konvensional, tambahan yang harusbdi bayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
b.    Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian: utang-piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional.
4.      Transaksi Lain-Lain
a.       Jialah
Jialah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan sepeda motor maka ia berkata, “barang siapa yang mendapatkan sepeda motor dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
b.      Hiwalah
Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain.Pengertian Daman adalah menanggung (menjamin) utang, menghadirkan barang atau orang ketempat yang ditentukan.
c.       Shulh
Shulh ialah akad di antara dua pihak yang berperkara untuk memecahkan perselisihan yang terjadi di antara keduanya.
d.      Iqtha’
Iqtha’ ialah pemimpin memberikan lahan umum yang tidak dimiliki siapa pun kepada seseorang untuk dimanfaatkan dengan ditanami, atau dibuat bengunan di atasnya dengan status hak pakai bukan hak milik.






Penutup
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan.Dalam jual beli juga dikenal istilah khiyar, yaitu hak memilih yang diberikan kepada pembeli untuk meneruskan atau membatalkannya karena suatu hal.Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi, dan inipun diperbolehkan dalam Islam.
Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan.






Daftar Pustaka
Anshori, Abdul Ghofur.Perbankan Syariah Indonesia,Cet II; Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press, 2009
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,Cet IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012
Hakim, Lukman. Perinsip-Perinsip Ekonomi Islam,[t] cet; Bandung: Erlangga, 2012
Hasanudin, Maulana dan jaih mubarok.Perkembangan Akad Musyarakah,Cet 1; Jakarta: Kencana,2012
Iska, Syukri.Sistem Perbankan Syariah di Indonesia: Dalam Perspektif Fiqih,Cet I; Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012
Mulazid, Ade Sofyan.Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah,Cet I;  Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012
Muslich, Bisnis Syariah Perspektif Mu’amalah Dan Manajemen,Cet.1; Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007
Nurohman, Dede.Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam,Cet 1; Yogyakarta: Teras, 2011
Rais, Sasli.Pegadaian Syarih:Konsep Dan Sistem Oprasional Suatu Kajian Kontenporer, Jakarta: UI-PRESS 2005
Suwiknyo, Dwi.Jasa-jasa Perbankan Syariah, Cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010






[1]Lukman Hakim, Perinsip-Perinsip Ekonomi Islam ([t] cet; Bandung: Erlangga, 2012), h. 103
[2]Lukman Hakim, Perinsip-Perinsip Ekonomi Islam, h. 105
[3]Dwi Suwiknyo, Jasa-jasa Perbankan Syariah (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 11
[4] Maulana Hasanudin dan jaih mubarok,Perkembangan Akad Musyarakah (Cet I; Jakarta: Kencana, 2012), h. 19
[5]Muslich, Bisnis Syariah Perspektif Mu’amalah Dan Manajemen (Cet I; Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007), h. 106
[6]Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Cet 1; Yogyakarta: Teras, 2011), h. 62
[7]Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam
[8] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia: Dalam Perspektif Fiqih (Cet I; Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), h. 168
[9] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia: Dalam Perspektif Fiqih, h. 192
[10]Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia: Dalam Perspektif Fiqih
[11]Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah (Cet I;  Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 29
[12]Sasli Rais, Pegadaian Syarih:Konsep Dan Sistem Oprasional Suatu Kajian Kontenporer (Jakarta: UI-PRESS 2005), h. 38
[13]Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Indonesia (Cet II; Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press, 2009), h. 120
[14] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Cet IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h. 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar