TRANSAKSI DALAM
ISLAM
KARLINA
Jurusan Syariah Prodi Ekonomi
Syariah STAIN Watampone
ABSTRAK
Islam
adalah suatu sistem hidup yang praktis, mengajarkan segalah yang baik dan
bermanfaat bagi manusia, kapan dan di mana pun tahap-tahap
perkembanganya.Artinya ajaran islam dapat diterapkan pada siapa saja, dimana
saja dan kapan saja. Selain itu islam adalah agama yang fitrah, yang sesuai
dengan sifat dasar manusia. Aktifitas atau transaksi keuangan dapat dipandang
sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk kepada ajaran Al Qur’an.
Islam
mempunyai hukum tersendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu
melalui akad-akad atau transaksi-transaksi, sebagai metode pemenuhan kebutuhan
permodalan dalam bisnis, dan transaksi jual beli untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Pendahuluan
Pada
zaman yang modern ini, tidak jarang kita melakukan transaksi setiap harinya.
Karena kita makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka sering
kali kita melakukan transaksi. Ini berarti ketika suatu transaksi baru
muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut
dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadis
yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implicit. Dengan demikian, dalam
bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermu'amalah antara
satu dengan yang lainnya.Mu'amalah sesama manusia senantiasa mengalami
perkembangan dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia.Oleh karena
itu aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur'an tidakmungkin menjangkau seluruh
segi pergaulan yang berubah itu.Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan
dengan hal ini hanya bersifat prinsip dalam mu'amalat dan dalam bentuk umum yang
mengatur secara garis besar.
Transaksi
1.
Kerja Sama (Syirkah)
a.
Al Mudharabah
AL-mudarabah merupakan kontrak yang melibatkan dua
kelompok,yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada
pengelola (mudharib) untuk di gunakan dalam aktivitas perdagangan.praktik
mudharabah adalaha apabilah seseorang menyerahkan harta kepada orang lain untuk
mengelolahnya dan keuntungannya di bagi di antara keduanya sesuai dengan
kesepakatan keduanya.[1]
Diantara dalil yang menjelaskan masalah ini adalah hadits
yang diriwayatkan oleh imam malik dalam Al Muawatha’ bahwa dua anak Umar bin Khattab,
yaitu Abdullah dan Ubaidilah melewati
Abu musa Al Asy’ari di Basrah, kemudian Abu Musa Al Asy’ari member keduanya
uang untuk diserahkan kepada umar bin Khattab dan menyuruh keduanya membeli
barang untuk dijual dengan uang tersebut, serta jika keduanya telah menjual,
maka keduanya menyerahkan modalnya kepada Umar bin Khattab. Hanya saja Umar bin
Khattab tidak memberikan keuntungan atas perdagangan tersebut kepada kedua
anaknya. Ubaidillah berkata kepada umar, “Bagaimana kalalu engkau menjadikannya
sebagai pinjaman?” dana sebelumnya Ubaidillah berkata, “jika uang tersebut
berkurang atau mengalami kerusakan kami pasti menggantinya.[2]
Unsur mudharabah dalam wacana fiqh:
a)
Modal. Modal ini dapat
direalisasikan dalam bentuk sejumlah mata uang yang beredar. Umumnya dana yang
diberikan dalam pembiayaan kontrak mudharabah tidak diberikan secara kontan.
Hal ini memungkinkan pihak bank untuk senangtiasa mengawasi dan mengelolah
usaha tersebut.
b)
Manajemen. Tugas mudharib dalam
menjalankan pembiayaan kontrak mudharabah meliputi pengelolah dan pembelanjaan,
penyimpanan, pemasaran, maupun penjualan barang dagangan.
c)
Masa berlakunya kontrak. Kontrak
tidak memuat aturan khusus mengenai batas berlakunya. Adanya batasan masa
berlakunya kontrak akan membuat kontrak batal (mashab Maliki dan syafi’i).
d)
Jaminan. Insvestor tidak dapat
meminta jaminan dari pihak mudharib untuk memastikan kembalinya modal yang
diberikan atau modal beserta keuntunganya.
e)
Perinsip bagi hasil. Kontrak
mudharabah menetapkan tingkat keuntungan (profit) bagi tiap-tiap
pihak.pembagian keuntungan dilakukan melalui tingkat perbandingan rasio,bukan
ditetapkan dalam jumlah yang pasti.
Rukun mudharabah
terdiri dari:[3]
a)
Ada pemilik dana
b)
Ada usaha yang akan dibagihasilkan
c)
Ada nisbah
d)
Ada ijab kabul
b.
Al Musyarakah
Al Musyarakah
adalah akad kerjasama (percampuran) antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dan risiko akan ditanggung sesuai
porsi kerja sama. Konsep al Musyarakah dikembangkan kedalam bentuk-bentuk
kerjasama dalam suatu proyek tertentu.Konsep ini dikembangkan dengan
berdasarkan perinsip bagi hasil, atau dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PSL) di lembaga
syariah.
Dasar hukum al
Musyarakah terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 12: “tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka beersekutu dalam yang sepertiga itu”
juga terdapat dalam surat Shaad ayat 24: “dan sesungguhnya kebanyakan
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang shaleh.
Ijma’ mengatakan bahwa
para ulama telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun
perbedaan pendapat terdapat dalam beberapa elemenya.
Syirkah merupakan
salah satu institusi bisnis tertua yang hingga sekarang masih eksis dan
diperaktikkan oleh masyarakat Muslim. Sejalan dengan dinamika pemikiran
manusia, akad syikah mengalami proses modifikasih guna di adaptasi dengan
kebutuhan manusia yang selalu mengalami perkembangan.[4]
Dalam khazanah
ilmu fiqih, musyarakah melingkupi jenis-jenis transaksih yang sangat luas.
Secara garis besar musyarakah terdiri atas empat jenis:[5]
a)
Syirkatul inan, atau syirkah
keuangan terjadi bila ada dua orang atau lebih yang sepakat untuk menjalankan
bisnis melalui modal yang mereka miliki dengan nisbah bagi hasil yang
disepakati di awal.Bila bisnis ini mendapat keuntungan, mereka berbagi hasil
sesuai dengan nisbah yang disepakati.
b)
Syirkatul ‘abdan, transaksi ini disebut juga syirkah oprasional,terjadi bila dua
orang atau lebih sepakat untuk melakukan bisnis melalui tenaga yang mereka
miliki dengan nisbah bagi hasil yang disepakati di awal. Keuntungan dibagi
berdasarkan nisbah,rugi ditanggung bersama secara merata.
c)
Syirkatul wujuh, transaksi ini
dalam istilah akuntansi disebut juga sebagai nilai good wiil, yaitu kesepakatan
antara orang yang mempunyai kredibilitas di bidang tertentu yang dengan
kredibilitasnya melakukan bisnis. Untung dibagi sesuai nisbah yang disepakati
di awal, rugi berupa namerisk ditanggung pemilik kredibilitas dan rugi berupa
uang ditanggung pemilik modal.
d)
Syirkatul
mudharabah,transaksi ini sebenarnya adalah kombinasi antara syirkah
keuangan dan syirkah oprasional. Dalam syirkah ini, salah satu pihak menjadi
pemodal dan pihak lain menjadi operator.
c.
Al Muzara’ah dan Al Mukhabarah
Al Muzara’ah
adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap. Di
mana benih tanamanya berasal dari petani atau penggarap, pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditananami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (peresenntase) dari hasil panen.Sedangkan al
Mukharabah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap dimana benih tanamanya berasal dari pemilik lahan, pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada sipenggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Landasan syari’ah
transaksi ini antara lain dalam hadits: “diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.,
bahwa Rasulullah SAW bersabda pernah
memberikan tanah khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih yahudi )
untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman”.
Zakat Al Muzara’ah
atau Al Mukhabarah yang merupakan hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang
mempunyai benih, jadi pada al muzara’ah, zakat wajib adalah atas petani yang
bekerja, pada hakikatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah olah
mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan dari sewaan tidak wajib
dikeluarkan zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas keduanya,
diambil dari jumlah pendapat sebelum
dibagi. Sistem al Musara’ah inibisa lebih menguntungkan dari pada sistem ijaroh
(sewa tanah), baik bagi pemilik tanah maupun bagi pengarapnya.
Mengenai hak dan
kewajiban masing-masing pemilik tanah dan penggarap tanah, bisah diatur
sebaik-baiknya berdasarkan musyawarah mufakat, baik menurut adat istiadat
setempat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa
kewajiban pemilik tanah, antara lain sebagai berikut.
a.
Membayar pajak tanah dan pajak
lain-lainnya.
b.
Menyediakan peralatan-peralatan
yang diperlukan untuk penggarapan lahan tanaman.
d.
Al Musaqah
Al Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari al
muzara’ah, dimana penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan sebagai imbalan, dan penggarap berhak atas nisbah tertentu dari
hasil panen.
Semua telah dilakukan oleh kulafaur Rasyidin pada zaman
pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinnya, tapi tidak seorang pun
yang menyanggahnya.Berat ini adalah suatu Ijma sukuti (konsensus) dari umat”.
2.
Jual-Beli (Al Bai’)
a.
Pengertian dan hikmah jual beli
Pengertian jual
beli dari segi etimologis adalah manukar harta dengan harta. Sedangkan
pengertian dari istilah adalah manukar suatu barang dengan barang yang lain
dengan cara tertentu (Sulaiman Rasyid, 2005). Pengertian sebenarnya dari kata “
bay”un” (jual) itu ialah pemilikan harta (barang dengan barang) dan agama
menambahkan persyaratan saling rela (suka sama suka).
Secara bahasa jual
beli terdiri dari dua kata, yaitu jual dan beli.Kedua kata ini dalam bahasa
Arab sama dengan al- bai’ dan al-syira.Keduanya merupakan rangkaian makna
timbal balik.Di dalam Al-Quran, kedua term itu dsebutkan secara terpisah tetapi
mempunyai makna bersamaan.[6]
Secara
terminologi, jual beli mempunyai makna yang luas. Segala bentuk yang berkaitan
dengan proses pemindahan hak milik barang atau asset kepada orang lain termasuk
dalam lingkup pengertian jual beli.[7]
Jual beli menurut
pengertian etimologi (kebahasaan) adalah saling menukar. Menurut terminologi
atau pengertian syariat, jual beli adalah tukar menukar harta (semua yang
dimiliki dan dimanfaatkan) atas dasar saling rela atau memindahkan milik (yang
bukan hak milik) dengan ganti (bukan pemberian atau hibah)[8]
Menurut Al Jasairi
(2000), hikma disyariatkannya jual beli ialah seseorang muslim bisah
mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan sesuatu yang ada di tangan saudaranyatanpa
kesulitan yang berarti.
b.
Rukun Jual Beli
1)
Penjual dan pembeli, baik
penjual dan pembeli mempunyai syarat-syarat:
a.
Berakal, agar dia tidak tertipu,
orang yang gila tidak termasuk tidak sah jual belinya.
b.
Dengan kehendak sendiri, bukan
dipaksa (suka sam suka).
c.
Tidak mubazir.
d.
Baligh
2)
Uang dan benda yang dibeli,
syaratnya yaitu:
a.
Suci, barang najis tidak sah
dijual dan tidak boleh di jadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit hewan
atau bangkai yang belum disamak.
b.
Ada manfaatnya, tidak boleh menjual
sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
c.
Barang itu dapat diserahkan.
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli,
misalnya ikan dengan laut.
d.
Barang tersebut merupakan
kepunyaan sipenjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahkan.
3)
Lafaz ijab qobul, ijab adalah
perkataan penjual, misalnya saya jual barang ini sekian”. Sedangkan qobul
adalah ucapan pembeli, misalnya saya terima (saya beli) dengan harga sekian.
c.
Tidak sahnya jual beli
a.
Menggabungkan dua syarat dalam
satu jual beli, misalnya pembeli kayu bakar mensyaratkan bisah memecah kayu
bakar sekaligus membawanya, karena Rasulullah SAW bersabda, “Dua syarat dalam
satu jual beli itu tidak halal.
b.
Mensyaratkan sesuatu yang
merusak inti jual beli itu sendiri, misalnya penjual kambing mensyaratkan
kepada pembeli bahwa pembeli tidak boleh menjualnya lagi, atau pembeli tidak
boleh menjualnya kepada Zaid, atau tidak boleh menghadiakan kepada Amr, atau
penjual mensyaratkan pembeli meminjamkan sesuatu kepadanya atau menjual sesuatu
kepadanya.
c.
Syarat batil yang bisah
mensahkan jual beli dan membatalkanya, misalnya penjual budak mensyaratkan
bahwa wala’ (perwalian) budak yang akan dijual atau menjadi miliknya.
d.
Khiyar dan hukumnya dalam jual
beli
Khiyar (hak pilih
dalam) jual beli itu disyaratkan dalam masalah-masalah berikut ini:
a)
Jika penjual dan pembeli masih
berada di satu tempat dan belum berpisah, maka keduanya mempunyai khiyar (hak
pilih) untuk melakukan jual beli, atau membatalkanya
b)
Jika salah satu dari pembeli dan
penjual mensyaratkan khiyar (hak
pilih) itu berlaku untuk waktu tertentu kemudian keduanya menyepakatinya, maka
keduanya terikat dengan khiyar(hak pilih) tersebut hingga waktunya habis.
c)
Jika penjual menipu pembeli
dengan penipuan kotor dan penipuan tersebut mencapai sepertiga lebih, misalnya
menjual sesuatu yang harganya sepulu ribu dan lima belas ribu, atau dua pulu
ribu, maka pembeli di perbolehkan membatalkan jual beli atau membelidengan
harga standar.
d)
Jika penjual merahasiakan barang
dagangan, misalnya ia keluarkan yang biaik dan merahasikan yang jelek, atau
memperhatikan yang bagus dan menyembunyikan yang rusak, maka pembeli mempunyai
khiyar untuk membatalkan jual beli, atau melangsungkannya.
e)
Jika terlihat cacat pada barang
yang mengurangi nilainnya dan sebelumnya tidak diketahui pembeli dan ia ridha
denganya ketika proses tawar menawar, maka pembeli mempunya khiyar (hak pilih)
antara mengadakan jual beli atau membatalkanya.
f)
Jika penjual dan pembeli tidak
sepakat tentang harga suatu barang atau sifatnya, maka keduanya bersumpah
kemudian keduanya mempunyai khiyar antara melangsungkan akad jual beli atau
membatalkanya.
e.
Macam jual-beli
1)
Bai’ Al Murabahah
Sesungguhnya
diantara bentuk jual beli ada yang diharamkan dan ada juga yang dipersilahkan
hukumnya.Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi usahawan Muslim dan mengenal
hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang
halal atau haram.
Adapun syarat jual beli murabaha:
a.
Penjual member tahu biaya modal
kepada nasabah.
b.
Kontrak harus sah sesuai dengan
rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak harus bebas dari riba.
d.
Penjual harus menjelaskan kepada
pembeli bila terjadi cacat atau barang sesudah pembelian.
e.
Penjual harus menyampaikan semua
hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
utang.
3.
Titipan (Amanah)
a.
Al-Wadiah
Al Wadiah yaitu
perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpan (termasuk
bank) dimana pihak yang menyimpan bersediah untuk menyimpan dan menjaga
keselamatan dan atau uang dititipkan kepadanya. Wadiah, yaitu sebagai amanat
orang yang dititipkan dan ia berkewajiban mengembalikannya ketika pemiliknya
meminta kembali.[9]Wadiah,
yaitu sebagai amanat orang yang dititipkan dan ia berkewajiban mengembalikannya
ketika pemiliknya meminta kembali.[10]
b. Dasar hukum
Dasar hukum al-wadiah adalah dalam QS.An-Nisa ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada
yang berhak menerimanya.
c. Prinsip al Wadiah
1) Keuntungan atau
kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik pemilik dana, tidak dijanjikan
imbalan dan tidak menanggung kerugian.
2) Pemilik danah
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup isin penyaluran dana
yang disimpandari persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan.
3) Terhadap pembukaan
rekening ini pemilik dana dapat mengenakan pengganti biaya administrasi sekadar
untuk menutup biaya yang benar-benar terjadi.
4.
Pegadaian (Ar Rahn)
a.
Pengertian gadai
Ar Rahn atau gadai
ialag suatu barang yang dijadikan peneguh atau penjamin kepercayaan dalam utang
piutang.Barang itu tidak boleh dijual kalu uatang tidak dapat dibayar, hanya
penjual itu hendaklah dengan keadilan.Gadai merupakan salah satu kategori dari
perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang-orang
yang berpiutang.
Pengertian gadai
(Rahn) menurut ulama shafi’iyyah berpendapat bahwa al-Rahn adalah ja’lu ainin
yajuzu bay’uha washikatan bidaynin yustaufa minha ‘inda ta’adhuri wafaihi
“menjadikan suatu barang yang bisah di jual sebagai jaminan utang di penuhi
dari harganya, bila berutang tidak sanggup membayar utang nya.[11]
Gadai syariah
(rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang
jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang di terimanya.[12]
b.
Landasan konsep
Dalam Al Qur’an
Surat Al Baqarah ayat 283.jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah) tidak
secara tunai)Sedangkan kamu tidak memperoleh seoarang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang).
c.
Teknik transaksi
Pegadaian Syariah berdasarkan dua akad transaksi syariah,
yaitu:
1) Akad Rahn, yaitu
menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya,
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya.
2) Akad ijarah, yaitu
akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu
barang dan atau upah mengupah atas suatu jasadalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.[13]
Rukun akad ijarah, yaitu:[14]
1) Pelaku akad yaitu,
musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan mu’jir/muajir (pemilik)
adalah pihak pemilik yang menyewakan aset;
2) Objek akad, yaitu
ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa); dan
3) Shighad, yaitu
ijab dan kabul
d.
Pendanaan
a.
Di pegadaian konvensional,
tambahan yang harusbdi bayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal,
dihitung dari nilai pinjaman.
b.
Pegadaian konvensional hanya
melakukan satu akad perjanjian: utang-piutang dengan jaminan barang bergerak yang
jika ditinjau dari aspek hukum konvensional.
4.
Transaksi Lain-Lain
a.
Jialah
Jialah ialah
meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan.
Misalnya seseorang kehilangan sepeda motor maka ia berkata, “barang siapa yang
mendapatkan sepeda motor dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
b.
Hiwalah
Hiwalah ialah
memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang
lain.Pengertian Daman adalah menanggung (menjamin) utang, menghadirkan barang
atau orang ketempat yang ditentukan.
c. Shulh
Shulh ialah akad
di antara dua pihak yang berperkara untuk memecahkan perselisihan yang terjadi
di antara keduanya.
d. Iqtha’
Iqtha’ ialah
pemimpin memberikan lahan umum yang tidak dimiliki siapa pun kepada seseorang
untuk dimanfaatkan dengan ditanami, atau dibuat bengunan di atasnya dengan
status hak pakai bukan hak milik.
Penutup
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan
dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi
kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak
semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak
memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan.Dalam jual beli
juga dikenal istilah khiyar, yaitu hak memilih yang diberikan kepada pembeli
untuk meneruskan atau membatalkannya karena suatu hal.Hal ini dilakukan untuk
kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi, dan inipun
diperbolehkan dalam Islam.
Islam mewajibkan agar setiap
transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga
terhindar dari segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan.
Daftar Pustaka
Anshori, Abdul Ghofur.Perbankan Syariah
Indonesia,Cet II; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009
Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah,Cet IV; Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2012
Hakim, Lukman. Perinsip-Perinsip Ekonomi Islam,[t] cet; Bandung:
Erlangga, 2012
Iska, Syukri.Sistem Perbankan
Syariah di Indonesia: Dalam Perspektif Fiqih,Cet I; Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2012
Mulazid, Ade Sofyan.Kedudukan Sistem
Pegadaian Syariah,Cet I; Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012
Muslich, Bisnis Syariah Perspektif
Mu’amalah Dan Manajemen,Cet.1; Yogyakarta:
UPP STIM YKPN, 2007
Nurohman, Dede.Memahami
Dasar-Dasar Ekonomi Islam,Cet 1; Yogyakarta:
Teras, 2011
Rais, Sasli.Pegadaian
Syarih:Konsep Dan Sistem Oprasional Suatu Kajian Kontenporer, Jakarta: UI-PRESS 2005
Suwiknyo, Dwi.Jasa-jasa Perbankan
Syariah, Cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
[1]Lukman Hakim, Perinsip-Perinsip Ekonomi Islam ([t]
cet; Bandung: Erlangga, 2012), h. 103
[3]Dwi Suwiknyo, Jasa-jasa Perbankan Syariah (Cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 11
[4] Maulana Hasanudin
dan jaih mubarok,Perkembangan Akad Musyarakah (Cet I; Jakarta: Kencana, 2012), h. 19
[5]Muslich, Bisnis Syariah Perspektif Mu’amalah Dan
Manajemen (Cet I; Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007), h. 106
[6]Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Cet
1; Yogyakarta: Teras, 2011), h. 62
[7]Dede Nurohman, Memahami Dasar-Dasar Ekonomi Islam
[8] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia: Dalam
Perspektif Fiqih (Cet I; Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), h. 168
[9] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia: Dalam
Perspektif Fiqih, h. 192
[11]Ade Sofyan
Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian
Syariah (Cet I; Jakarta: Kementrian
Agama RI, 2012), h. 29
[12]Sasli Rais, Pegadaian Syarih:Konsep Dan Sistem Oprasional
Suatu Kajian Kontenporer (Jakarta: UI-PRESS 2005), h. 38
[13]Abdul Ghofur
Anshori, Perbankan Syariah Indonesia
(Cet II; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2009), h. 120
[14] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Cet IV;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h. 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar