PEMBIAYAAN MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Andi Adzan Irzan
01133051
Ekonomi Syariah
ABSTRACT :
Bentuk
penyaluran dana yang ditujukan untuk kepentingan investasi dalam perbankan
islam dapat dilakukan berdasarkan akad mudharabah. Pembiayaan mudharabah
merupakan ciri khas dari ekonomi syariah, yang lebih mengedepankan hubungan
kerja sama antara dua atau lebih pihak. Konsep mudharabah bukan merupakan
turunan dari konsep ekonomi konvensional.
Dalam pembiayaan mudharabah, bank bertindak sebagai shahibul
maal yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dana nasabah
sebagai mudharib (pengelola) dalam kegiatan usahanya. Dalam tulisan ini
akan dikaji tentang pembiayaan mudharabah dalam perbankan syariah.
Kata kunci: pembiayaan,
perbankan syariah, mudharabah.
PENDAHULUAN
Munculnya
bank syari’ah maka propogandanya dikatakan sebagai bank bagi hasil. Hal ini
dilakukan untuk membedakan bank syari’ah dangan bank konvensional yang
beroperasional dengan sistem bunga. Namun praktik bank syari’ah belum
sepenuhnya menggunakan sistem bagi hasil. Karena selain sistem bagi hasil masih
ada sistem jual beli, sewa menyewa. Dengan demikian, bank syari’ah memiliki
ruang gerak produk yang lebih luas dibandingkan dengan bank konvensional.
Dalam operasional bank Syariah, mudharabah merupakan
salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya. Sistem
dari mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak. Dalam penentuan kontraknya, harus dilakukan diawal ketika akan memulai
akad mudharabah tersebut.
Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan
landasan dasar bagi operasional bank syari’ah secara keseluruhan. Secara
syari’ah prinsip berdasarkan pada kaidah mudharabah akan berfungsi sebagai
mitra baik dengan penabung demikian juga dengan pengusaha yang meminjam dana.
Dalam kontrak mudharabah ini,
mudharib (si pengelola) harus menjalankan kewajibannya menjalankan usaha dengan
cara sebaik-baiknya. Dalam
menjalankan usaha, harus jelas dan sesuai dengan prisip syariah. Maka dari itu
penulis ingin lebih jauh mengetahui bagaimana jalannya system pembiayan ini (mudharabah)
dalam suatu operasional bank syariah secara jelas
PEMBAHASAN
Konsep Dasar Mudharabah
1.
Pengertian
Mudharabah berasal
dari akronim “ad-dhorbu fi’l ardhi”
bepergian untuk perdagangan. Sinonim kata ini ialah qirad, yang berasal dari
kata al-Qardu atau potongan, karena
pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya, dan sering pula disebut dengan kata muamalah. Menurut imam
syafi’i qirat menurut logat, artinya
seseorang pergi berdagang. Menurut istilah, harta yang diserahkan kepada
seseorang supaya diperdagangkan, sedang keuntungan dibagi (bersyarikat) antara
keduanya.[1]
Secara
terminologi, ulama fikih mendefinisikan mudharabah
atau qirad dengan, “Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja
(pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut
kesepakatan bersama.” Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut,
kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini menunjukkan
bahwa yang diserahkan kepada pekerja (ahli dagang) tersebut adalah berbentuk
moal, bukan penyewaan seperti rumah.[2]
Menurut Nabil A.
Saleh, hampir seluruh aliran hukum dalam hukum islam mengartikan mudharabah dalam pengertian:
“A contrac beetwen at least to
parties whereby one party, called the investor (rabb al-mal) enturst money to
the other party called the agen-manager (mudharib) who is to trade with it in
an agreed menner and then return to the investor the principle and preagreed
share of the profit and keep for him self what remains of such profits.”[3]
Menurut Abdur Rahman L. Doi,
mudharabah dalam terminologi adalah suatu kontrak dimana suatu kekayaan (property) atau persediaan (stock) tertentu (Ras Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (Rab al-mal) kepada pihak lain untuk
membentuk suatu kemitraan (joint
partnership) yang diantara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi
keuntungan. Pihak yang lain berhak untuk memperoleh keuntungan karena kerjanya
mengelolah kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib.
Perjanjian ini adalah suatu contrac of
co-partnership.[4]
Perkataan mudharabah diambil dari pada perkataan “darb” (usaha) di atas bumi. Dinamakan
demikian mudharib berhak untuk
bekerja sama bagi hasil atas jerih payah dan usahanya.[5]
Mazhab Hanafi, Mudharabah adalah akad atas suatu
syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dengan pekerja
(usaha) dari pihak lain. Mazhab maliki, mudharabah
adalah suatu pemberian modal (taukil) untuk berdagang dengan mata uang
tunai yang diserahkan (kepada pengelola) dengan mendapatkan sebagian dari
keuntungan jika diketahui jumlah dan keuntungan. Mazhab syafi’i, mudharabah adalah suatu akad yang memuat
penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya
dibagi antara mereka berdua. Mazhab hambali, mudharabah adalah penyerahan suatu modal tertentu dan jelas
jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan
bagian tertentu dari keuntungannya.[6]
Landasan hukum
mengenai keberadaan akad mudharabah sebagai salah satu produk perbankan
syariah terdapat dalam Undang-Undang NO. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang NO. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1
ayat (13) yang mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah
secara eksplisit merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan
perbankan syariah.[7]
Pembiayaan
berdasarkan akad mudharabah juga telah diatur melalui Fatwa DSN NO. 07/
DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Latar belakang
keluarnya fatwa dimaksud adalah dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan
dana LKS, pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad
kerjasama suatu usaha antara shahibul maal dengan mudharib dan
keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.[8]
2.
Dasar
Hukum Mudharabah
Akad seperti ini dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dan seorang ahli dalam memutar uang (pengelola
modal). Secara umum landasan dasar syariah mudharabah
lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
a. Al-Quran
QS. Al-Muzammil (73) ayat 20:
Terjemahannya: “...Dan dari orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...”[9]
QS. Al-Jumuah (62): ayat 10:
Terjemahannya: “Apabila telah
ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.[10]
b. Al-Hadist
“Dari Shalih bin
suhaib r.a bahwa rasulullah saw bersabda, tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), atau
mencamJpurkan gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual
(HR. Ibnu Majah).”
Berdasarkan hadist di atas maka dapat
dipahami bahwa praktek kerja sama mudharabah diperbolehkan dalam islam
dan terkandung keberkahan atau kemanfaatan di dalamnya.
c. Ijma
Diriwayatkan sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, Mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun
mengingkari mereka. Karenanya hal itu dipandang sebagai ijma (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu,1989, 4/838).
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh
seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan
ada pula ang kaya. Disatu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan
hartanya. Disisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi
tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan
antaralain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk
kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.[11]
3.
Rukun
dan Syarat
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukum mudharabah
tersebut hanyalah ijab dan kabul. Jumhur ulama mengatakan
bahwa rukun mudharabah adalah:
a.
Dua
pihak yang mengadakan persetujuan
b.
Ucapan
pernyataan
c.
Harta
sebagai modal
d.
Kerja
e.
Keuntungan
Untuk
masing-masing rukun tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi.
a.
Kedua
pihak yang mengadakan persetujuan
Yang
terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap
bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
b.
Ucapan
pernyataan
Ucapan
(shigat) yaitu penawaran dan penerimaan (ijab dan kabul) harus diucapkan
kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak.
Shigat tersebut harus sesuai dengan hal-hal sebagai berikut:
1)
Secara
eksplisit dan implisit menunjukkan tujuan kontrak.
2)
Shigat
dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan
oleh penawaran. Atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya
negosiasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan disempurnakan.
3)
Kontrak
boleh dilakukan secara lisan atau verbal, bisa juga secara tertulis atau
ditandatangani. Akademi Fikih Islam dari Organisasi Konferensi Islam (OKI)
membolehkan pula pelaksanaan kontrak melalui
korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern
seperti faksimili atau komputer.[12]
c.
Harta
sebagai modal
Yang
terkait dengan modal disyaratkan:
1)
Berbentuk
uang
2)
Jelas
jumlahnya
3)
Tunai
4)
Diserahkan
sepenuhnya kepada mudharib. Karena pada hakikatnya, bila modal itu
diserahkan kepada shabul maal, maka perjanjian mudharabah tidak
sah.[13]
d.
Kerja
Mengenai
kerja atau jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama, khususnya syafi’i dan
maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu harus berupa usaha dagang (commercial).
Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang. Termasuk
kegiatan kerajinan dan indistri.[14]
e.
Nisbah
keuntungan
Faktor
yang keempat yaitu rukun yang khas dalam akad mudharabah yang tidak ada
dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh
kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas
kerjanya, sedangkan shohibul mendapatkan imbalan atas pernyataan modalnya.
Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara
kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.[15]
Keuntungan
terikat oleh syarat-syarat berikut:
1)
Keuntungan
harus dibagi untuk kedua pihak
2)
Proporsi
keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak dan
proporsi tersebut harus dari keuntungan.
3)
Kalau
jangka waktu akad mudharabah relatif lama, tiga tahun ke atas maka,
nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4)
Kedua
belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung
pengelola.
4.
Jenis-jenis Mudharabah
a.
Mudharabah
Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah (investasi
tidak terikat) yaitu pihak pengusaha diberi kuasa penuh untuk menjalankan
proyek tanpa larangan atau gangguan apapun urusan yang berkaitan dengan proyek
itu dan tidak terikat dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan, dan pelanggan.
Investasi tidak terikat ini pada bank syariah diaplikasikan pada produk
tabungan dan deposito.[16]
b.
Mudharabah
Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib
dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal mememasuki
dunia usaha.[17]
Dalam dunia perbankan, al- mudharabah biasanya
diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti modal kerja. Dana
untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka ,
seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari
deposito biasa dan deposito special yang dititipkan nasabah untuk usaha
tertentu.[18]
Mekanisme Mudharabah di Bank
Syariah
Berikut
ini mekanisme mudharabah di bank syariah:
a.
Bank
bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana dengan fungsi
sebagai modal kerja, dana nasabah sebagai mudharib dalam kegiatan
usahanya.
b.
Bank
memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut
serta dalam pengelolaan usaha nasabah.
c.
Nisbah
bagi hasil yang disepakiti tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi.
“Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada
dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh
kedua pihak yang bermudharabah.”[19]
d.
Pembiayaan
atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang atau barang
(bukan piutang atau tagihan) dan harus dinyatakan secara jelas jumlahnya.
e.
Pengembalian
pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode.
f.
Pembagian
hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana (mudharib)
dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
g.
Kerugian
usaha nasabah pengelola dana yang dapat ditanggung oleh bank selaku pemilik
dana adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan.
Tujuan dan manfaat pembiayaan mudharabah bagi bank yaitu sebagai salah
satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil
sesuai pendapatan usaha yang dikelola nasabah. Sedangkan tujuan dan manfaatnya
bagi nasabah yaitu memenuhi kebutuhan modal usaha melalui sistem kemitraan
dengan bank.[20]
Kerugian dan Berakhirnya akad Mudharabah
Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan kepada mudharib
untuk mananggung kerugian yang akan terjadi karena ia adalah orang yang
mendapatkan amanah, sedang orang yang mendapatkan amanah tidak menanggung kerugian. Dan apabila terjadi
kesepakatan yang demikian, maka akad menjadi rusak karena menyalahi atauran
dalam qirad.[21]
Akad mudharabah dinyatakan berakhir atau batal
dalam hal-hal sebagai berikut:
a.
Masing-masing
pihak menyatakan batal, atau pekerja dilarang untuk bertindak hukum untuk modal
yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya
b.
Salah
satu pihak yang berakad meninggal dunia.
c.
Salah
satu pihak yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap lagi bertindak
hukum.
d.
Modal
habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh mudharib.
PENUTUP
Landasan hukum
mengenai keberadaan akad mudharabah sebagai salah satu produk perbankan
syariah terdapat dalam UU NO. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU NO. 7
Tahun 1992 tentang perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1 ayat (13) yang
mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara
eksplisit merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan
perbankan syariah. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah juga telah
diatur melalui Fatwa DSN NO. 07/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh). Latar belakang keluarnya fatwa dimaksud adalah dalam
rangka mengembangkan dan meningkatkan dana LKS, pihak LKS dapat menyalurkan
dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah,
yaitu akad kerjasama suatu usaha antara shahibul maal dengan mudharib
dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak.
Tujuan dan manfaat pembiayaan mudharabah bagi bank yaitu sebagai salah
satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil
sesuai pendapatan usaha yang dikelola nasabah. Sedangkan tujuan dan manfaatnya
bagi nasabah yaitu memenuhi kebutuhan modal usaha melalui sistem kemitraan
dengan bank.
Akad
mudharabah dinyatakan berakhir atau batal yaitu: (1)Masing-masing pihak menyatakan
batal, atau pekerja dilarang untuk bertindak hukum untuk modal yang diberikan,
atau pemilik modal menarik modalnya. (2)Salah satu pihak yang berakad meninggal
dunia. (3)Salah satu pihak yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap
lagi bertindak hukum. (4)Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola
oleh mudharib.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gharyani,
Ash-Shadiq Abdurrahman, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, Surabaya:
Penerbit Pustaka Progressif, 2004
Anshori,
Abdul Ghofur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
Univercity Press, 2009
Antonio,
Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, Jakarta:
Tranzkia institute, 1999
Dahlan, Abdul
Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam (Jilid
4), Jakarta: Ictiar baru Van Houve, 1996
Departemen Agama
RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya:
Dana Karya, 2004
Departemen Agama
RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung:
Syamil Qur’an, 2012
Karim,
Adiwarman A., Bank Islam, analisis fikih dan keuangan, edisi keempat,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011
Karim,
Adiwarman, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004
Muhamad,
Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Muhammad,
Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank
Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2001
Sabid,
Sayyid, Fikih Sunnah 13 (Terjemahan Kamaluddin A.Marzuki), Bandung:
Al-Ma’arif, 1987
Sjahdeini, Sutan
Remi, Perbankan Islam dan Kedudukannya
dalam Tata Hukum Perbankan indonesia, Jakarta: PT. Temprint, 1999
Syafe’i,
Racmat, Fikih Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, Bandung:
Pustaka Setia, 2001
Umam
Khaerul, Manajemen Perbankan Syariah, Bandung: Pustaka setia, 2013
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha
Bank Syariah, Jakarta: IKAPI, 2005
[1] Sayyid Sabid, Fikih Sunnah 13 (Terjemahan Kamaluddin
A.Marzuki), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 31
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia
Hukum Islam (Jilid 4), (Jakarta: Ictiar baru Van Houve, 1996), h. 196
[3] Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan
Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan indonesia, (Jakarta: PT.
Temprint, 1999), h. 29
[4] Ibid
[5] Wiroso, Penghimpunan
Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: IKAPI, 2005), h. 33
[6] Muhammad, Teknik
Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h.
47
[7] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan
Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, 2009), h.
132
[8] Ibid
[9] Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahannya, (Bandung: Syamil Qur’an, 2012), h. 575
[10] Departemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahannya, (Surabaya: Dana Karya, 2004), h. 809
[11] Racmat Syafe’i, Fikih
Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), h. 226
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tranzkia institute, 1999),
h. 174
[14] Muhammad, Manajemen
Pembiayaan Bank Sariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 104
[15] Adiwarman A. Karim, Bank
Islam, analisis fikih dan keuangan, edisi keempat, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 205-206
[16] Wiroso, Op. Cit, h. 35
[17] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.
Cit, h. 151
[18] Khaerul Umam, Manajemen
Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka setia, 2013), h. 33
[19] Adiwarman Karim, Bank Islam
Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.
194
[20] Muhamad, Manajemen Dana Bank
Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 43
[21] Ash-Shadiq Abdurrahman
Al-Gharyani, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, (Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, 2004), h. 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar