Kamis, 26 Januari 2017

PEMBIAYAAN MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH

PEMBIAYAAN MUDHARABAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Andi Adzan Irzan
01133051

Ekonomi Syariah



ABSTRACT :
Bentuk penyaluran dana yang ditujukan untuk kepentingan investasi dalam perbankan islam dapat dilakukan berdasarkan akad mudharabah. Pembiayaan mudharabah merupakan ciri khas dari ekonomi syariah, yang lebih mengedepankan hubungan kerja sama antara dua atau lebih pihak. Konsep mudharabah bukan merupakan turunan dari konsep ekonomi konvensional.
Dalam pembiayaan mudharabah, bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dana nasabah sebagai mudharib (pengelola) dalam kegiatan usahanya. Dalam tulisan ini akan dikaji tentang pembiayaan mudharabah dalam perbankan syariah.
Kata kunci: pembiayaan, perbankan syariah, mudharabah.



PENDAHULUAN
Munculnya bank syari’ah maka propogandanya dikatakan sebagai bank bagi hasil. Hal ini dilakukan untuk membedakan bank syari’ah dangan bank konvensional yang beroperasional dengan sistem bunga. Namun praktik bank syari’ah belum sepenuhnya menggunakan sistem bagi hasil. Karena selain sistem bagi hasil masih ada sistem jual beli, sewa menyewa. Dengan demikian, bank syari’ah memiliki ruang gerak produk yang lebih luas dibandingkan dengan bank konvensional.
Dalam operasional bank Syariah, mudharabah merupakan salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan diberikan kepada nasabahnya. Sistem dari mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam penentuan kontraknya, harus dilakukan diawal ketika akan memulai akad mudharabah tersebut.
Prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syari’ah secara keseluruhan. Secara syari’ah prinsip berdasarkan pada kaidah mudharabah akan berfungsi sebagai mitra baik dengan penabung demikian juga dengan pengusaha yang meminjam dana.
Dalam kontrak mudharabah ini, mudharib (si pengelola) harus menjalankan kewajibannya menjalankan usaha dengan cara sebaik-baiknya. Dalam menjalankan usaha, harus jelas dan sesuai dengan prisip syariah. Maka dari itu penulis ingin lebih jauh mengetahui bagaimana jalannya system pembiayan ini (mudharabah) dalam suatu operasional bank syariah secara jelas



PEMBAHASAN
Konsep Dasar Mudharabah
1.    Pengertian
Mudharabah berasal dari akronim “ad-dhorbu fi’l ardhi” bepergian untuk perdagangan. Sinonim kata ini ialah qirad, yang berasal dari kata al-Qardu atau potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya, dan sering pula disebut dengan kata muamalah. Menurut imam syafi’i qirat menurut logat, artinya seseorang pergi berdagang. Menurut istilah, harta yang diserahkan kepada seseorang supaya diperdagangkan, sedang keuntungan dibagi (bersyarikat) antara keduanya.[1]
Secara terminologi, ulama fikih mendefinisikan mudharabah atau qirad dengan, “Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama.” Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini menunjukkan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (ahli dagang) tersebut adalah berbentuk moal, bukan penyewaan seperti rumah.[2]
Menurut Nabil A. Saleh, hampir seluruh aliran hukum dalam hukum islam mengartikan mudharabah dalam pengertian:
“A contrac beetwen at least to parties whereby one party, called the investor (rabb al-mal) enturst money to the other party called the agen-manager (mudharib) who is to trade with it in an agreed menner and then return to the investor the principle and preagreed share of the profit and keep for him self what remains of such profits.”[3]
Menurut Abdur Rahman L. Doi, mudharabah dalam terminologi adalah suatu kontrak dimana suatu kekayaan (property) atau persediaan (stock) tertentu (Ras Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (Rab al-mal) kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan (joint partnership) yang diantara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak yang lain berhak untuk memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelolah kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib. Perjanjian ini adalah suatu contrac of co-partnership.[4]
Perkataan mudharabah diambil dari pada perkataan “darb” (usaha) di atas bumi. Dinamakan demikian mudharib berhak untuk bekerja sama bagi hasil atas jerih payah dan usahanya.[5]
Mazhab Hanafi, Mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dengan pekerja (usaha) dari pihak lain. Mazhab maliki, mudharabah adalah suatu pemberian modal (taukil) untuk berdagang dengan mata uang tunai yang diserahkan (kepada pengelola) dengan mendapatkan sebagian dari keuntungan jika diketahui jumlah dan keuntungan. Mazhab syafi’i, mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua. Mazhab hambali, mudharabah adalah penyerahan suatu modal tertentu dan jelas jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.[6]
Landasan hukum mengenai keberadaan akad mudharabah sebagai salah satu produk perbankan syariah terdapat dalam Undang-Undang NO. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang NO. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1 ayat (13) yang mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.[7]
Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah juga telah diatur melalui Fatwa DSN NO. 07/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Latar belakang keluarnya fatwa dimaksud adalah dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana LKS, pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain  dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara shahibul maal dengan mudharib dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.[8]
2.    Dasar Hukum Mudharabah
Akad seperti ini dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dan seorang ahli dalam memutar uang (pengelola modal). Secara umum landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
a.    Al-Quran
QS. Al-Muzammil (73) ayat 20:
Terjemahannya: “...Dan dari orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...”[9]
QS. Al-Jumuah (62): ayat 10:
Terjemahannya: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.[10]
b.    Al-Hadist
“Dari Shalih bin suhaib r.a bahwa rasulullah saw bersabda, tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), atau mencamJpurkan gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibnu Majah).”
Berdasarkan hadist di atas maka dapat dipahami bahwa praktek kerja sama mudharabah diperbolehkan dalam islam dan terkandung keberkahan atau kemanfaatan di dalamnya.
c.    Ijma
Diriwayatkan sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, Mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya hal itu dipandang sebagai ijma (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,1989, 4/838).
d.   Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada pula ang kaya. Disatu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antaralain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.[11]
3.    Rukun dan Syarat
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukum mudharabah tersebut hanyalah ijab dan kabul. Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun mudharabah adalah:
a.       Dua pihak yang mengadakan persetujuan
b.      Ucapan pernyataan
c.       Harta sebagai modal
d.      Kerja
e.       Keuntungan
Untuk masing-masing rukun tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi.
a.       Kedua pihak yang mengadakan persetujuan
Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
b.      Ucapan pernyataan
Ucapan (shigat) yaitu penawaran dan penerimaan (ijab dan kabul) harus diucapkan kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak. Shigat tersebut harus sesuai dengan hal-hal sebagai berikut:
1)      Secara eksplisit dan implisit menunjukkan tujuan kontrak.
2)      Shigat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan oleh penawaran. Atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya negosiasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan disempurnakan.
3)      Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau verbal, bisa juga secara tertulis atau ditandatangani. Akademi Fikih Islam dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) membolehkan pula pelaksanaan kontrak melalui  korespondensi atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern seperti faksimili atau komputer.[12]
c.       Harta sebagai modal
Yang terkait dengan modal disyaratkan:
1)      Berbentuk uang
2)      Jelas jumlahnya
3)      Tunai
4)      Diserahkan sepenuhnya kepada mudharib. Karena pada hakikatnya, bila modal itu diserahkan kepada shabul maal, maka perjanjian mudharabah tidak sah.[13]
d.      Kerja
Mengenai kerja atau jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama, khususnya syafi’i dan maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu harus berupa usaha dagang (commercial). Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang. Termasuk kegiatan kerajinan dan indistri.[14]
e.       Nisbah keuntungan
Faktor yang keempat yaitu rukun yang khas dalam akad mudharabah yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shohibul mendapatkan imbalan atas pernyataan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.[15]
Keuntungan terikat oleh syarat-syarat berikut:
1)      Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak
2)      Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak dan proporsi tersebut harus dari keuntungan.
3)      Kalau jangka waktu akad mudharabah relatif lama, tiga tahun ke atas maka, nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4)      Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola.
4.     Jenis-jenis Mudharabah
a.       Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah (investasi tidak terikat) yaitu pihak pengusaha diberi kuasa penuh untuk menjalankan proyek tanpa larangan atau gangguan apapun urusan yang berkaitan dengan proyek itu dan tidak terikat dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan, dan pelanggan. Investasi tidak terikat ini pada bank syariah diaplikasikan pada produk tabungan dan deposito.[16]
b.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal mememasuki dunia usaha.[17]
Dalam dunia perbankan, al- mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka , seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito special yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.[18]
Mekanisme Mudharabah di Bank Syariah
Berikut ini mekanisme mudharabah di bank syariah:
a.       Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dana nasabah sebagai mudharib dalam kegiatan usahanya.
b.      Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah.
c.       Nisbah bagi hasil yang disepakiti tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi. “Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah.”[19]
d.      Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang atau barang (bukan piutang atau tagihan) dan harus dinyatakan secara jelas jumlahnya.
e.       Pengembalian pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dengan dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode.
f.       Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
g.      Kerugian usaha nasabah pengelola dana yang dapat ditanggung oleh bank selaku pemilik dana adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan.
Tujuan dan manfaat pembiayaan mudharabah bagi bank yaitu sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil sesuai pendapatan usaha yang dikelola nasabah. Sedangkan tujuan dan manfaatnya bagi nasabah yaitu memenuhi kebutuhan modal usaha melalui sistem kemitraan dengan bank.[20]
Kerugian dan Berakhirnya akad Mudharabah
Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan kepada mudharib untuk mananggung kerugian yang akan terjadi karena ia adalah orang yang mendapatkan amanah, sedang orang yang mendapatkan amanah  tidak menanggung kerugian. Dan apabila terjadi kesepakatan yang demikian, maka akad menjadi rusak karena menyalahi atauran dalam qirad.[21]
Akad mudharabah dinyatakan berakhir atau batal dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Masing-masing pihak menyatakan batal, atau pekerja dilarang untuk bertindak hukum untuk modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya
b.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
c.       Salah satu pihak yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap lagi bertindak hukum.
d.      Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh mudharib.



PENUTUP
Landasan hukum mengenai keberadaan akad mudharabah sebagai salah satu produk perbankan syariah terdapat dalam UU NO. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU NO. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1 ayat (13) yang mendefinisikan mengenai prinsip syariah dimana mudharabah secara eksplisit merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah. Pembiayaan berdasarkan akad mudharabah juga telah diatur melalui Fatwa DSN NO. 07/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Latar belakang keluarnya fatwa dimaksud adalah dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana LKS, pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain  dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara shahibul maal dengan mudharib dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Tujuan dan manfaat pembiayaan mudharabah bagi bank yaitu sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk bagi hasil sesuai pendapatan usaha yang dikelola nasabah. Sedangkan tujuan dan manfaatnya bagi nasabah yaitu memenuhi kebutuhan modal usaha melalui sistem kemitraan dengan bank.
Akad mudharabah dinyatakan berakhir atau batal yaitu: (1)Masing-masing pihak menyatakan batal, atau pekerja dilarang untuk bertindak hukum untuk modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya. (2)Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. (3)Salah satu pihak yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap lagi bertindak hukum. (4)Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh mudharib.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Gharyani, Ash-Shadiq Abdurrahman, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004

Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, 2009

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, Jakarta: Tranzkia institute, 1999

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam (Jilid 4), Jakarta: Ictiar baru Van Houve, 1996

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya: Dana Karya, 2004

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: Syamil Qur’an, 2012

Karim, Adiwarman A., Bank Islam, analisis fikih dan keuangan, edisi keempat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011

Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2014

Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2001

Sabid, Sayyid,  Fikih Sunnah 13 (Terjemahan Kamaluddin A.Marzuki), Bandung: Al-Ma’arif, 1987

Sjahdeini, Sutan Remi, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan indonesia, Jakarta: PT. Temprint, 1999

Syafe’i, Racmat, Fikih Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2001

Umam Khaerul, Manajemen Perbankan Syariah, Bandung: Pustaka setia, 2013

Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: IKAPI, 2005




[1] Sayyid Sabid,  Fikih Sunnah 13 (Terjemahan Kamaluddin A.Marzuki), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 31
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jilid 4), (Jakarta: Ictiar baru Van Houve, 1996), h. 196
[3] Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 29
[4] Ibid
[5] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: IKAPI, 2005), h. 33
[6] Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 47
[7] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, 2009), h. 132
[8] Ibid
[9] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Syamil Qur’an, 2012), h. 575
[10] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Surabaya: Dana Karya, 2004), h. 809
[11] Racmat Syafe’i, Fikih Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 226
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tranzkia institute, 1999), h. 174
[13] Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit, h. 32
[14] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Sariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 104
[15] Adiwarman A. Karim, Bank Islam, analisis fikih dan keuangan, edisi keempat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 205-206
[16] Wiroso, Op. Cit, h. 35
[17] Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit, h. 151
[18] Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka setia, 2013), h. 33
[19] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 194
[20] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 43
[21] Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h. 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar