PENGELOLAAN
RISIKO PEMBIAYAAN
DI
BANK SYARIAH
Gusti randa
01133263
Abstrak
Pembiayaan
adalah sumber pendapatan bank syariah yang terbesar, namun sekaligus merupakan
sumber risiko operasi bisnis yang terbesar, yaitu timbulnya Pembiayaan
bermasalah, karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan
pendapatan bagi bank syariah tetapi juga akan berdampak pada kesehatan bank
syariah dan pada akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan. Oleh karena itu,
diperlukan manajemen risiko untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah.
Langkah-langkah tersebut dilakukan dalam rangka memitigasi risiko dengan
mempertimbangkan kesesuaian dengan Prinsip Syariah.
Kata
kunci : Manajemen, Risiko, Pembiayaan, Bank Syariah
PENDAHULUAN
Sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ada bentuk
alternatif lain disamping bank konvensional yang sudah dikenal masyarakat,
yaitu bank yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sama sekali belum menggunakan secara tegas istilah
bank syariah. Penyebutannya masih menggunakan istilah ” prinsip bagi hasil”.
Belum ada ketentuan yang lebih rinci mengenai bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah. Keberadaan perbankan syariah baru mendapatkan
landasan yang kuat sejak Trisadini Prasastinah Usanti, Pengelolaan Risiko Pembiayaan.
tanggal 16
Juli 2008 dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah selanjutnya disebut dengan Undang Undang Perbankan Syariah.
Seperti
halnya bank konvensional, bank syariah berfungsi juga sebagai lembaga
intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat
yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan adalah merupakan
sebagian besar aset dari bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga
kualitasnya, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-undang Perbankan
Syariah bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan
prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Pada penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan prinsip
kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten.[1]
Dasar
filosofis eksistensi prinsip kehati-hatian pada kegiatan usaha perbankan pada
hakikatnya adalah sebagai jaminan kepercayaan masyarakat kepada perbankan, pada
perbankan syariah tidak sebatas jaminan kepercayaan tetapi dimaknai sebagai
jaminan atas amanah yang sudah diberikan oleh masyarakat. Perbankan syariah
tidak semata-mata berfungsi sebagai lembaga intermediasi, tetapi juga berfungsi
sosial dan merupakan mitra nasabah. Oleh karena itu, untuk melindungi
kepentingan dana masyarakat maka perbankan syariah wajib memegang teguh prinsip
kehati-hatian agar perbankan syariah selaku pemegang amanah dalam
keadaan sehat, likuid, solvent dan profitable. Hubungan hukum
bank syariah dengan nasabah adalah didasarkan pada prinsip amanah. Tidak
terbatas pada kepercayaan yang didasarkan pada itikad baik saja tetapi juga
kepercayaan yang dilandasi dengan nilai ketauhidan bahwa apa yang dilakukan
senantiasa diawasi oleh Allah swt, sehingga setiap tindakan yang dilakukan
merupakan ibadah, sehingga tujuan dari perbankan syariah tidak semata-mata
mencari keuntungan (profit oriented) tetapi juga mencari kemakmuran di
dunia dan kebahagian di akhirat ( falah oriented).[2] Sutan
Remy Sjahdeini merumuskan bahwa tujuan dari diberlakukannya prinsip
kehati-hatian tidak lain agar bank-bank selalu dalam keadaan sehat, sehingga
antara lain selalu dalam keadaan likuid, solvent dan menguntungkan (profitable).
Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian itu diharapkan kadar kepercayaan
masyarakat terhadap perbakan selalu tinggi sehingga masyarakat bersedia dan
tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.[3]
Burhanuddin
Susanto menekankan bahwa perbankan syariah harus senantiasa menjaga
kepercayaan masyarakat baik dari aspek finansial maupun kesesuaian terhadap
prinsip syariah yang menjadi dasar operasinya. Perbankan syariah sebagai
lembaga yang berfungsi untuk menghimpun dana masyarakat, harus memiliki sumber
pendanaan yang optimal sebelum menyalurkan kembali kepada pihak yang
membutuhkan. Dalam proses penghimpunan dana, prinsip syariah yang perlu
mendapat perhatian lembaga perbankan ialah bagaimana menjamin perolehan dana
yang halal, serta bagaimana menjalankan transaksi dengan pihak nasabah secara
syar’i.[4]
Nasabah
penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank syariah dan/atau UUS
dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara Bank syariah atau UUS dan nasabah
yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di
Bank syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara Bank
syariah atau UUS dan nasabah bersangkutan. Lihat Pasal 1 angka 17 dan angka 18
Undang-Undang Perbankan Syariah.
Pada sisi
aktiva neraca bank syariah bagian terbesar dana operasional setiap bank syariah
disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kenyataan ini menggambarkan bahwa
pembiayaan adalah sumber pendapatan bank yang terbesar, namun sekaligus
merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar. pembiayaan bermasalah
bahkan menjadi kategori macet menjadi masalah bagi bank syariah, karena dengan
adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan pendapatan bagi bank syariah
tetapi juga menggerogoti jumlah dana operasional dan likuiditas keuangan bank
syariah, yang akhirnya akan menggoyahkan kesehatan bank syariah dan pada
akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan/nasabah investor.[5] Sebagian
besar dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam menyalurkan dana dalam
bentuk pembiayaan adalah dana nasabah penyimpan/nasabah investor, sehingga dana
nasabah penyimpan/nasabah investor wajib mendapat perlindungan hukum.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana
bank syariah mengelola risiko pembiayaan?
PEMBAHASAN
Batasan
tentang pembiayaan diatur pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Perbankan
Syariah, bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa :
a. Transaksi
bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah;
b. Transaksi
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewabeli dalam bentuk ijarah
muntahiyah bit tamlik;
c. Transaksi
jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, Salam dan Istishna;
d. Transaksi
pinjam meminjam dalam bentuk piutang Qardh; dan
e. Transaksi
sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi multijasa.
Pembiayaan
adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada
realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari proses
pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan maka bank syariah perlu melakukan
pemantauan dan pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan
tidak mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank
syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat
melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan tersebut.
Analisa
pembiayaan adalah suatu kajian untuk mengetahui kelayakan dari suatu proposal
pembiayaan yang diajukan nasabah. Melalui hasil analisis dapat diketahui apakah
usaha nasabah tersebut layak (feasible) dalam arti bisnis yang dibiayai
diyakini dapat menjadi sumber pengembalian dari pembiayaan yang diberikan,
jumlah pembiayaan sesuai kebutuhan baik dari sisi jumlah maupun penggunaannya
serta tepat struktur pembiayaannya, sehingga mengamankan risiko dan menguntungkan
bagi bank syariah dan nasabah. Dalam menganalisa pembiayaan harus diperhatikan
kemauan dan kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya serta terpenuhinya
aspek ketentuan syariah. Bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan kepentingan nasabah
yang mempercayakan dananya. Risiko pembiayaan bermasalah dapat diperkecil
dengan jalan salah satunya melakukan analisa pembiayaan. Analisa pembiayaan
merupakan tahap preventif yang paling penting dan dilaksanakan dengan
profesional dapat berperan sebagai saringan pertama dalam usaha bank menangkal
bahaya pembiayaan bermasalah. Kelayakan pembiayaan merupakan fokus dan hal yang
terpenting di dalam pengambilan keputusan pembiayaan karena sangat menentukan kualitas
pembiayaan dan kelancaran pembayaran.
Tahapan
yang dilalui pada setiap pembiayaan yang disalurkan kepada nasabah penerima
fasilitas oleh bank syariah, yaitu sebagai berikut:
1. Sebelum
pemberian pembiayaan diputuskan oleh bank syariah, yaitu tahap bank syariah
melakukan analisis atas permohonan pembiayaan calon nasabah penerima fasilitas,
tahapan ini disebut tahap analisa pembiayaan.
2. Setelah
pembiayaan diputuskan oleh bank syariah, maka dilanjutkan dengan pembuatan
perjanjian pembiayaan yang diikuti dengan pengikatan agunan untuk pembiayaan
yang diberikan ini. Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan.
3. Setelah
perjanjian pembiayaan ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dokumentasi
pengikatan agunan pembiayaan telah selesai dibuat, maka selama pembiayaan itu
digunakan oleh nasabah penerima fasilitas sampai jangka waktu pembiayaan belum
berakhir bank syariah melakukan monitoring. Tahap ini disebut tahap
pengawasan dan pengamanan pembiayaan.
4. Adakalanya
pembiayaan yang telah dinikmati nasabah penerima fasilitas masuk dalam kriteria
pembiayaan bermasalah, maka bank syariah berupaya untuk memulihkan kondisi
tersebut. Tahapan ini disebut tahapan penyelamatan dan penagihan pembiayaan.
Tahap (1),
(2) dan (3) adalah merupakan tahapan preventif atau tahapan pencegahan bagi
bank syariah agar pembiayaan tersebut tidak masuk kriteria pembiayaan
bermasalah, sedangkan tahap (4) merupakan tahapan represif setelah pembiayaan
tersebut menjadi pembiayaan bermasalah. Pada bank syariah untuk menilai layak
tidaknya usulan pembiayaan pada umumnya digunakan “ filosofis tiga pilar” dan 5
C’s principles. Filosofi tiga pilar kelayakan usaha nasabah, yaitu :[6]
1. Kredibilitas
manajemen yang meliputi kejujuran, itikad baik key person dari nasabah/character
dan kemampuan mengelola usaha key person/capability.
2. Kemampuan
membayar kembali (repayment capacity) yang meliputi kemampuan usaha
nasabah untuk menghasilkan laba dari produk dan jasa yang dijalankan oleh
nasabah dan manajemen arus kas usaha nasabah di masa lalu (historical cash
flow) termasuk proyeksi arus cash (projected cash flow) di masa
mendatang merupakan ukuran utama kemampuan nasabah dalam membayar kembali
pembayaran.
3. Jaminan
yang diserahkan dianalisa tentang harga jual kembali agunan, kemudahan menjual
agunan dan kelengkapan dan keabsahan dokumen agunan.
Upaya
preventif yang dilakukan oleh bank syariah sebelum memberikan pembiayaan kepada
nasabah, yaitu dengan melakukan analisa 5 Cs, yaitu :[7]
1. Character:
penilaian
karakter nasabah adalah untuk mengetahui itikad baik nasabah untuk memenuhi
kewajibannya (willingness to pay) dan untuk mengetahui moral, watak
maupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif. Karakter merupakan
faktor yang dominan dan penting sebab walaupun calon nasabah tersebut cukup
mampu untuk menyelesaikan utangnya tetapi kalau tidak mempunyai itikad baik
tentu akan membawa berbagai kesulitan bagi bank di kemudian hari.[8] Gambaran
tentang karakter calon nasabah dapat diperoleh dengan upaya antara lain :
a. Meneliti
riwayat hidup calon nasabah;
b.
Verifikasi data dengan melakukan interview;
c. Meneliti
reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya;
d. Bank
Indonesia checking dan meminta informasi antar bank;
e. Mencari
informasi atau trade checking kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana
calon nasabah berada;
f. Mencari
informasi tentang gaya hidup dan hobi calon nasabah.
2. Capacity,
yaitu kemampuan nasabah untuk
menjalankan usaha guna memperoleh laba yang diharapkan sehingga dapat
mengembalikan pembiayaan diterima, untuk mengukur capacity dilakukan
melalui berbagai pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan
historis yaitu menilai past performance apakah menunjukkan
perkembangan dari waktu ke waktu (minimal 2 tahun terakhir).
b. Pendekatan
profesi, yaitu menilai latar belakang pendidikan para pengurus. Hal
ini sangat penting untuk perusahaan-perusahaan yang menghendaki keahlian
teknologi tinggi atau perusahaan yang melakukan profesionalisme tinggi.
c. Pendekatan
yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai
kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan
perjanjian pembiayaan dengan bank.
d. Pendekatan
manajerial, yaitu menilai kemampuan dan ketrampilan nasabah
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaan.
e. Pendekatan
teknis, yaitu menilai kemampuan mengelola faktor-faktor produksi
seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan/mesin-mesin, administrasi
keuangan, industry relation sampai kemampuan merebut pasar.
3. Capital
adalah menilai jumlah modal sendiri yang diinvestasikan oleh nasabah dalam
usahanya termasuk kemampuan untuk menambah modal apabila diperlukan sejalan
dengan perkembangan usahanya.
4. Condition,
yaitu kondisi usaha nasabah yang dipengaruhi oleh situasi sosial dan
ekonomi. Kondisi dipengaruhi antara lain peraturan-peraturan pemerintah,
situasi, politik dan perekonomian dunia, kondisi ekonomi yang mempengaruhi
pemasaran, produk dan keuangan.
5. Collateral,
yaitu aset atau benda yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap
pembiayaan yang diterimanya. Collateral tersebut harus dinilai oleh bank
untuk mengetahui risiko kewajiban finansial nasabah kepada bank. Penilaian
terhadap jaminan meliputi jenis, [9]lokasi,
bukti kepemilikan dan status hukumnya. Penilaian terhadap collateral dapat
ditinjau dari dua segi sebagai berikut :
a. Segi
ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari benda yang akan diagunkan.
b. Segi
yuridis, yaitu menilai apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat
yuridis untuk dipakai sebagai agunan.
Prinsip 5 C
tersebut kadang ditambahkan dengan 1 C lainnya, yaitu constraint atau
hambatan-hambatan yang mungkin menggangu proses usaha. [10]
Salah satu
unsur yang penting dari prinsip 5 C adalah adanya collateral.
Keberadaaan collateral sangat penting dalam pembiayaan karena dana yang
dipergunakan oleh bank syariah dalam rangka penyaluran dana adalah nasabah
penyimpan/nasabah investor, sehingga keberadaan collateral adalah untuk
menjamin pelunasan pembiayan jika terjadi pembiayaan bermasalah. Bank syariah
dalam memberikan pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabahnya yang telah mempercayakan dananya. Selain itu juga
adanya keharusan bagi setiap bank syariah untuk terus menjaga kesehatannya dan
memelihara amanah masyarakat padanya.
Menurut Muhammad
Syafii Antonio bahwa tujuan analisis pembiayaan tersebut, untuk menyakinkan
bank bahwa pembiayaan yang dimohonkan itu adalah layak dan dapat dipercaya
serta tidak fiktif. Suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, yaitu :[11]
1. Apakah
objek pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah
proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3. Apakah
proyek berkaitan dengan perbuatan asusila?
4. Apakah
proyek berkaitan dengan perjudian?
5. Apakah
usaha itu berkaitan dengan industri senjata ilegal atau berorientasi pada
pengembangan senjata pembunuh massal?
6. Apakah
proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
Demikian
halnya yang diatur dalam Buku Pedoman Pembiayaan, salah satu dari bank syariah
yang memberikan penetapan larangan pemberian fasilitas pembiayaan, yaitu : [12]
1. Melarang
pemberian fasilitas pembiayaan cerukan (talangan) dalam rupiah atau valuta
asing
2. Melarang
pemberian pembiayaan untuk jual beli saham kepada perorangan atau perusahaan
(dalam hal ini termasuk pemberian pembiayaan untuk pembelian saham yang
dimaksudkan sebagai penyertaan)
3. Melarang
pemberian pembiayaan untuk usaha-usaha jasa yang tidak sesuai dengan aspek
syariah
Melarang
pemberian pembiayaan dan garansi bank untuk keperluan ekspor ataupun impor
barang-barang yang dilarang pemerintah atau tidak diperbolehkan / dilarang.
1. Melarang
pemberian pembiayaan kepada pengembang yang bersifat spekulatif dan atau tanpa
rencana penggunaan yang jelas baik secara langsung maupun tidak langsung
2. Melarang
pemberian pembiayaan kepada nasabah perorangan atau perusahaan yang nama
pengurus / pemilik / pemegang kuasa / penjamin / penanggung jawab tercantum
dalam daftar kredit macet/black list.
3. Melarang
pemberian pembiayaan kepada nasabah / calon nasabah yang mengandung benturan
kepentingan dengan pemrosesan dan / atau komite pembiayaan
4. Melarang
pemberian pembiayaan kepada perusahaan baru tidak diizinkan / dilarang, tidak
termasuk perusahaan baru / vehicle company yang dibentuk khusus untuk
menjalankan projek tertentu yang dimiliki perusahaan induknya.
Menurut Muhammad
ada beberapa pendekatan analisis pembiayaan yang dilakukan oleh pengelola
bank syariah, yaitu:
1. Pendekatan
jaminan, artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu
memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.
2. Pendekatan
karakter, artinya bank mencermati secara sungguh-sungguh terkait
dengan karakter nasabah.
3. Pendekatan
kemampuan pelunasan artinya bank menganalisis
kemampuan nasabah untuk melunasi jumlah pembiayaan yang diambil.
4. Pendekatan
dengan studi kelayakan artinya bank memperhatikan kelayakan
usaha yang dijalankan oleh nasabah peminjam.
5. Pendekatan
fungsi-fungsi bank artinya bank memperhatikan fungsinya sebagai
lembaga intermediari keuangan yaitu mengatur mekanisme dana yang dikumpulkan
dengan dana yang disalurkan.[13]
Demikian juga yang dikemukakan oleh Sutan
Remy Sjahdeini bahwa analisa pembiayaan diperlukan agar bank syariah
memperoleh keyakinan bahwa pembiayaan yang diberikan dapat dikembalikan oleh
nasabah. Pada dasarnya ada 2 (dua) aspek yang dianalisa:
1. Analisa
terhadap kemauan membayar disebut analisa kualitatif (willingnes to repay). Aspek
yang dianalisa mencakup karakter dan komitmen nasabah
2.
Analisa terhadap kemampuan
membayar disebut analisa kuantitatif (ability to repay). Pendekatan yang
digunakan adalah menentukan kemampuan bayar dan perhitungan kebutuhan modal
usaha nasabah adalah dengan pendekatan pendapatan bersih.[14]
Secara
umum, pembiayaan yang dilakukan bank syariah hanya diberikan kepada nasabah
penerima fasilitas yang telah memiliki usaha berkembang, dalam artian
pembiayaan tidak akan diberikan kepada usaha yang baru akan berkembang.
Kehati-hatian yang lain bahwa pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah harus
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu pada Pasal 8 ayat 2 dan
Penjelasannya, yang dirumuskan sebagai berikut: “Bank Umum wajib memiliki dan
menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”, dan
penjelasannya, sebagaimana dirumuskan sebagai berikut: ”Pokok-pokok ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain: a. Pemberian kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian
tertulis....”. Mengacu pada penjelasan Pasal 8 ayat 2 Undang Undang Perbankan
tersebut, maka dalam praktik perbankan syariah pemberian pembiayaan wajib
dituangkan dalam perjanjian pembiayaan secara tertulis, karena terkait dengan
fungsinya sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya.
Pembiayaan
yang telah disetujui oleh bank syariah dan dinikmati oleh nasabah penerima
fasilitas, maka peranan bank syariah lebih berat dibandingkan pada saat dana
tersebut belum mengucur di tangan nasabah penerima fasilitas. Untuk menghindari
terjadinya kegagalan pembiayaan maka bank syariah harus melakukan pembinaan dan
regular monitoring, yaitu dengan cara monitoring aktif dan monitoring
pasif. Monitoring aktif, yaitu mengunjungi nasabah secara regular, memantau
laporan keuangan secara rutin dan memberikan laporan kunjungan nasabah/call
report kepada komite pembiayaan/supervisor sedangkan monitoring pasif,
yaitu memonitoring pembayaran kewajiban nasabah kepada bank syariah setiap
akhir bulan. Bersamaan pula diberikan pembinaaan dengan memberikan saran,
informasi maupun pembinaan tehnis yang bertujuan untuk menghindari kegagalan
pembiayaan.
Pada Pasal
38 Undang-Undang Perbankan Syariah diatur bahwa bank syariah dan UUS wajib
menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah dan perlindungan nasabah.
Pada penjelasannya diberikan pengertian dari manajemen risiko adalah
serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan oleh perbankan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari
kegiatan usaha bank. Peraturan pelaksananya diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dijelaskan bahwa bahwa kegiatan usaha
perbankan syariah tidak terlepas dari risiko yang dapat mengganggu kelangsungan
bank dikarenakan produk dan jasa perbankan syariah mempunyai karakteristik yang
khas sehingga diperlukan manajemen risiko untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau
dan mengendalian risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah.
Langkah-langkah yang dilakukan bank syariah tersebut dalam rangka memitigasi
risiko harus mempertimbangkan kesesuaian dengan Prinsip Syariah.
Menurut Zainul
Arifin bahwa manajemen merupakan suatu metode pengelolaan yang baik dan
benar, untuk menghindari kesalahan, kekeliruan dan menegakkan kebenaran.
Menegakkan kebenaran adalah metode Allah yang harus ditaati oleh manusia.
Dengan demikian manajemen yang disusun oleh manusia untuk menegakkan kebenaran itu menjadi wajib.[15]
Manajemen dalam Islam bersandar pada ijtihad pemimpin dan umatnya, dengan
catatan tidak boleh bertentangan dengan konsep dasar dan prinsip hukum yang
bersumber dari Al Quran dan hadits. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani :[16]
Pada Pasal
1 angka 7 PBI Nomor13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disebut dengan risiko kredit, yang
seharusnya istilah yang dipergunakan konsisten dengan istilah yang dipergunakan
pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Perbankan Syariah, yaitu pembiayaan.
“Sesungguhnya Allah sangat
mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan
(tepat, terarah, jelas dan tuntas) “
HR.Ath-Thabarani. “ Apabila suatu urusan diserahkan pada bukan ahlinya, maka
tunggu saat kehancurannya”. ( H.R. Bukhari)
Bank
syariah sebagai lembaga keuangan syariah dalam kegiatan usahanya disatu sisi
berusaha mencari keuntungan tetapi disisi lain harus memperhatikan adanya
kemungkinan risiko yang timbul dalam kegiatannya. Secara spesifik risiko-risiko
yang dihadapi oleh bank syariah meliputi risiko likuiditas, risiko kredit[17] (pembiayaan),
risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko startejik, risiko
kepatuhan, risiko imbal jasa, risiko investasi, sedangkan risiko bunga bank
syariah tidak menghadapinya sebagaimana yang dihadapi oleh bank konvensional.
Risiko yang
dihadapi oleh bank syariah lebih kompleks dibandingkan dengan risiko yang
dihadapi oleh bank konvensional, Muhammad Ayub mengidentifikasi risiko
tambahan yang dihadapi oleh bank syariah, yaitu risiko aset, risiko pasar dan
kesesuaian dengan syariah, risiko tingkat pengembalian yang lebih tinggi,
risiko gadaian yang lebih besar, risiko legal yang lebih besar dan risiko
penarikan yang lebih besar pula. Oleh karena itu, bank berkewajiban melakukan
evaluasi yang lebih berhati-hati atas semua risiko yang ada.[18]
Pada Pasal
1 angka 7 PBI Nomor13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang dimaksud dengan risiko kredit adalah
Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Risiko
pembiayaan yang dihadapi oleh bank syariah, yaitu risiko yang timbulnya
kerugian diakibatkan kegagalan/ketidakmampuan nasabah dalam memenuhi kewajiban
sesuai akad atau perjanjian yang telah ditetapkan antara bank syariah dan
nasabah. Risiko pembiayaan umumnya bersumber dari karakter nasabah, kemampuan
nasabah dan siklus bisnis. Risiko tersebut dapat berdampak lebih besar bagi
bank syariah, sehingga risiko pembiayaan harus diidentifikasi, diukur,
dipantau, dan dikendalikan.
Menurut Adiwarman
Karim[19]
sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur,
memantau dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko
yang wajar secara terarah, terintegrasi dan berkesimbungan, sehingga manajemen
risiko berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early warning
system) terhadap kegiatan usaha bank. Tujuan manajemen risiko itu sendiri
adalah sebagai berikut :
a. Menyediakan
informasi tentang risiko kepada regulator.Memastikan bank tidak mengalami
kerugian yang bersifat unacceptable.
b. Meminimalisasi
kerugian dari berbagai risiko yang bersifat uncontrolled.
d.
Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.
e.
Mengalokasikan modal dan membatasi risiko.
Manajemen
risiko dalam bank Islam mempunyai karakter yang berbeda dengan bank
konvesional, terutama karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat yang
hanya ada pada bank syariah. Perbedaan mendasar antara bank Islam dan bank konvensional
bukan terletak pada bagaimana cara mengukur (how to measure), melainkan
pada apa yang dinilai (what to measure). Perbedaan itu terlihat dalam
proses manajemen risiko operasional bank Islam yang meliputi Trisadini
Prasastinah Usanti, Pengelolaan Risiko Pembiayaan Identifikasi risiko, penilaian
risiko, antisipasi risiko dan monitoring risiko.[20] Hal ini
dikarenakan dari karakteristik dari kegiatan usaha perbankan syariah yang
didasarkan pada berbagai macam prinsip dalam penghimpun dana, penyaluran dana
dan pemberian jasa. Identifikasi risiko yang dilakukan oleh bank Islam tidak
hanya mencakup berbagai risiko yang ada pada bank-bank pada umumnya, tetapi
juga meliputi risiko yang khas yang hanya ada pada bank Islam. Hal ini karena
keunikan dari bank Islam tersebut, ada enam keunikan yaitu : Proses
transaksi pembiayaan. Karakteristik bank Islam dalam proses ini setidaknya
terlihat pada tiga aspek, yaitu proses transaksi pembiayaan syariah, proses
transaksi bagi hasil dana pihak ketiga dan proses transaksi devisa.
1. Proses
manajemen. Keunikan bank Islam dalam proses manajemen terlihat pada
sistem dan prosedur operasional akuntansi.
2. Sumber
daya manusia. Keunikan bank Islam dalam sumber daya manusia
terlihat pada spesifikasi kapabilitas yang tidak hanya mencakup dalam bidang
perbankan secara umum tetapi juga meliputi aspek-aspek syariah.
3. Tehnologi,
keunikan bank Islam dalam bidang tehnologi terlihat pada Business
Requirement Specification (BRS) untuk pembiayaan berbasis bagi hasil dan Business
Requirement Specification (BRS) dana pihak ketiga.
4. Lingkungan
eksternal, keunikan bank Islam dalam hal ini terlihat pada
keberadaan dual regulatory body, yaitu Bank Indonesia dan Dewan Syariah
Nasional.
5. Kerusakan,
keunikan bank Islam dalam hal misalnya ketika terjadi kerusakan pada obyek ijarah
atau Ijarah Muntahiya Bittamlik.
Risiko pembiayaan
yang dihadapi oleh bank syariah berkaitan dengan risiko-risiko yang lain, yaitu
Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat
perubahan harga pasar, antara lain Risiko berupa perubahan nilai dari aset yang
dapat diperdagangkan atau disewakan. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat
ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber
pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. Risiko
Operasional adalah Risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang
kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan system,
dan/atau adanya kejadian kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder
yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank. Risiko Stratejik adalah
Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu
keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan
bisnis. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku,
serta Prinsip Syariah. Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah
Risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada
nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari
penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank.
Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah Risiko akibat Bank ikut
menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil
berbasis profit and loss sharing.
Sebagaimana
contoh bank syariah berkewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada,
baik ketentuan internal maupun eksternal, seperti berikut :
a.
Ketentuan giro wajib minimum, batas maksimum pemberian pembiayaan.
b.
Ketentuan dalam pemberian pembiayaan.
c.
Ketentuan dalam pelaporan kepada Bank Indonesia.
d.
Ketentuan perpajakan.
e.
Ketentuan dalam akad.
f. Fatwa
Dewan Syariah Nasional (DSN).
Apabila
bank syariah mengabaikan ketentuan dalam pemberian pembiayaan maka berdampak
pada risiko pembiayaan, yaitu timbulnya pembiayaan bermasalah. Demikian halnya
jika bank syariah mengabaikan kepatuhan pada fatwa DSN maka akan berdampak pada
risiko reputasi (reputation risk) dari bank syariah. Penerapan prinsip
syariah dalam kegiatan usaha bank syariah harus dilaksanakan secara konsekuen
agar tidak timbul penilaian negatif terhadap penerapan prinsip syariah karena
penilaian negatif terhadap penerapan prinsip syariah dapat mengakibatkan
timbulnya publikasi negatif sehingga akan menaikkan tingkat risiko reputasi.
Dampak yang
ditimbulkan dari risiko operasional yang mencakup risiko reputasi, risiko
kepatuhan, risiko strategi, risiko investasi, risiko hukum dan lain-lain dapat
berupa :[21]
Berdasarkan
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa
:
(1) Sejak
tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri
Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
(2) Sejak
tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
a.
Penarikan besar-besaran terhadap dana pihak ketiga.
b. Timbul
masalah likuiditas.
c. Ijin
dicabut oleh Bank Indonesia.
d.
Kebangkrutan.
Bahwa
bilamana bank syariah tidak berhati-hati dalam mengelola risiko-risiko
tersebut, akibatnya akan berdampak pada kesehatan bank syariah, yang pada
akhirnya tidak menutup kemungkinan bank syariah akan kesulitan likuditas dan
berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat sehingga masyarakat akan menarik
dananya secara bersamaan, apabila hal ini terjadi maka akan sangat berpengaruh
pada eksistensi pada bank syariah. Bank Indonesia akan berupaya untuk
menyehatkan kembali bank syariah, akan tetapi jika upaya yang dilakukan tidak
berhasil maka upaya terakhir yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan mencabut
ijin usaha bank syariah.
pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
Pada Pasal 1 angka 1 bahwa Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,
dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Demikian
juga berdasarkan Pasal 55 juncto Pasal 69 ayat 1.c pengawasan pada
perbankan syariah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan akan beralih menjadi fungsi, tugas dan wewenang
dari OJK.
PENUTUP
Bank
syariah berfungsi sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution),
yaitu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk
pembiayaan. Pada sisi aktiva neraca bank syariah bagian terbesar dana
operasional setiap bank syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kenyataan
ini menggambarkan bahwa pembiayaan adalah sumber pendapatan bank yang terbesar,
namun sekaligus merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar.
pembiayaan bermasalah bahkan menjadi kategori macet menjadi masalah bagi bank
syariah, karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan
pendapatan bagi bank syariah tetapi juga menggerogoti jumlah dana operasional
dan likuiditas keuangan bank syariah, yang akhirnya akan menggoyahkan kesehatan
bank syariah dan pada akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan / nasabah
investor. Hal ini dikarenakan sebagian besar dana yang dipergunakan oleh bank
syariah dalam menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan adalah dana nasabah
penyimpan / nasabah investor, sehingga dana nasabah penyimpan / nasabah
investor wajib mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, diperlukan
manajemen risiko untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalian
risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah. Langkah-langkah yang
dilakukan bank syariah tersebut dalam rangka memitigasi risiko harus
mempertimbangkan kesesuaian dengan Prinsip Syariah.
Kegiatan
usaha bank syariah oleh karena senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang
berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dan
perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang semakin
pesat mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks
salah satunya, yaitu risiko pembiayaan maka sejogjanya bank syariah dalam
menjalankan kegiatan usahnya harus berhati-hati dalam mengelola risiko-risiko
tersebut, karena akan berdampak pada kesehatan bank syariah, yang pada akhirnya
tidak menutup kemungkinan bank syariah akan kesulitan likuditas dan berakibat
menurunnya kepercayaan masyarakat sehingga masyarakat akan menarik dananya
secara bersamaan, apabila hal ini terjadi maka akan sangat berpengaruh pada
keberadaan bank syariah.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio, Muhamad Syafi’i, Bank Syariah:
Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000.
Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank
Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2002.
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic
Finance, England: John Wiley and Sons Ltd, England, 2008, diterjemahkan
oleh Aditya Wisnu Pribadi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Hidayat, Mohamad, An Introduction to The
Sharia economic, Jakarta: Zikrul Hakim, 2010.
Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih
dan Keuangan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Muhammad, Manajemen Bank Syariah,
Yogjakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN,2005.
Susanto, Burhanuddin, Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia, Jogjakarta: UII Press, 2008.
Yahman dan Trisadini Prasastinah Usanti, Bunga
Rampai Hukum Aktual Dalam Perspektif Hukum Bisnis Kontraktual Berimplikasi
Pidana dan Perdata, Mitra Mandiri: Surabaya, 2011.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kapita Selecta Hukum
Perbankan , Bahan Kuliah Hukum Perbankan, tanpa tahun.
Usanti, Trisadini Prasastinah,”Karakteristik
Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan Usaha Perbankan Syariah”, Disertasi,
Surabaya: Pascasarjana Unair, 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 31. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111.
Peraturan Bank Indonesia Nomor13/23/PBI/2011
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
[1]Yahman
dan Trisadini Prasastinah Usanti, Bunga Rampai Hukum Aktual Dalam Perspektif
Hukum Bisnis Kontraktual Berimplikasi Pidana dan Perdata, (Mitra Mandiri:
Surabaya,2011), hal.136
[2]
Trisadini Prasastinah Usanti,”Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan
Usaha Perbankan Syariah”, Disertasi, (Surabaya: Pascasarjana Unair,
2010), hal.311
[3]
Sutan Remy Sjahdeini, Kapita Selecta Hukum Perbankan ,Jilid I, tanpa
tahun, hal.53.
[4] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia, (Jogjakarta: UII Press, 2008), hal. 286.
[5]
Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank syariah
dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara Bank syariah atau
UUS dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang
menempatkan dananya di Bank syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi
berdasarkan akad antara Bank syariah atau UUS dan nasabah bersangkutan. Lihat
Pasal 1 angka 17 dan angka 18 Undang-Undang Perbankan Syariah.
[6]
Trisadini Prasastinah Usanti, Op.cit., hal. 244
[7]
Ibid.,hal.245
[9] 9Ibid
[10] Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Suatu
Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute, 2000), hal. 33
[11]
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet,
2002), hal.10
[12]
Trisadini Prasastinah Usanti,Op.cit., hal. 250
[13]
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogjakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan (UPP) AMP YKPN,2005), hal.260
[14]
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.,hal.175
[15]
Zainul Arifin, Op.Cit.,hal.99
[16]
Mohamad Hidayat, An Introduction to The Sharia economic, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2010), hal.275
[17]
Pada Pasal 1 angka 7 PBI Nomor13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disebut dengan risiko kredit,
yang seharusnya istilah yang dipergunakan konsisten dengan istilah yang
dipergunakan pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Perbankan Syariah, yaitu
pembiayaan.
[18] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance,
(England: John Wiley and Sons Ltd, England, 2008), diterjemahkan oleh Aditya
Wisnu Pribadi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal.131
[19]
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), hal.256
[21] Adiwarman Karim, Op.cit..,hal.278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar