Kamis, 26 Januari 2017

PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP BANK SYARIAH


PERAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP
BANK SYARIAH
Muhammad Ikram
Ekonomi Syariah 2
Semester 7
01133032
STAIN WATAMPONE

Abstrak
Perkembangan ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya. Dalam mengembangkan dan memajukan lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Agar mengoptimalkan terlaksananya prinsip syariah dalam menjalankan semua kegiatan dalam perbankan syariah maka diperlukan adanya pengawasan. Sehingga dibentuklah suatu lembaga yaitu Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi untuk melakukan pengawasan secara tekhnis dan administratif di perbankan syariah.
Kata kunci : Ekonomi Syariah, Dewan Pengawas Syariah, Perbankan Syariah



PENDAHULUAN

Salah satu kegiatan yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di dunia ekonomi saat ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh karena fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah. Demikian pula lembaga keuangan ini dapat menyediakan dana bagi pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha lemah yang membutuhkan dana bagi kelangsungan usaha. Dan juga berbagai fungsi lain berupa jasa bagi kelancaran lalu-lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antar negara.[1]
Yang menjadi permasalahan bagi kebanyakan orang terhadap kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan tersebut jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam bukanlah dari segi fungsi lembaga melainkan dari konsep usahanya serta teknik operasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang digunakan. Disini disadari bahwa kegiatan usaha yang diinspirasikan oleh sistem ekonomi kapitalis ini adalah dengan jalan menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit yang dimanfaatkannya melalui dana simpanan masyarakat dengan tambahan berupa bunga.
Konsep usaha yang mudah dengan janji keuntungan yang berlipat ganda tanpa menanggung risiko rugi ini, tentu mengandung pertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menghargai usaha dan mengharamkan riba. Hal ini menyebabkan adanya perdebatan yang berlarut-larut di kalangan ahli fiqih Islam Indonesia.[2] Padahal telah diketahui jelas bahwa sistem kredit dengan perangkat bunga ini telah lama diharamkan tidak hanya oleh ajaran Islam tetapi juga oleh agama-agama lainnya.[3]
Di dunia Internasional para pakar ekonomi telah menyadari secara empiris bahwa sistem bunga mengandung kemudaratan. Hal ini dikarenakan pemungutan keuntungan dengan tanpa memikul risiko berakibat si peminjam tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dengan tingkat bunga yang harus dibayar, sehingga terjadi berbagai krisis ekonomi, terutama terhadap negara-negara miskin di dunia ketiga.[4]
Terkait dengan adanya larangan riba dalam usaha perbankan pada khususnya menimbulkan ide untuk membangun suatu usaha perbankan yang menjalankan usahanya berdasarkan syariat Islam dibentuklah bank syariah. Baik bank syariah yang berasal dari bank konvensional maupun bank syariah yang berdiri sendiri dan menganut sistem syariah murni. Sehingga dapat memberikan pilihan bagi para nasabah yang tidak setuju dengan sistem riba untuk tetap bisa menyimpan uangnya. Hal ini tentu memberikan kenyamanan yang lebih bagi sebagian besar masyarakat.
Dalam menjalankan perbankan syariah ini tidaklah semudah seperti apa yang dipikirkan dan dibicarakan dalam teori yang diketahui. Tidak semua orang memiliki kesadaran untuk menjalankan prinsip syariah tersebut. Tidak jarang ditemui penyimpangan baik secara administratif maupun teknis. Bahkan tidak jarang label syariah ini dijadikan tameng untuk melakukan kegiatan yang tidak syariah. Tujuannya untuk menyamarkan kegiatan itu mengurangi kecurigaan yang ditujukan kepada perbankan maupun oknum yang ada di dalamnya. Untuk menghindari dan meminimalisir hal ini maka perlu dibentuk suatu lembaga atau setidaknya tim yang bertugas melakukan pengawasan terhadap setisp kegiatan yang dilakukan oleh perbankan syariah ini.
Sehingga dibentuklah Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang pembentukannya diserahkan kepada Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN sendiri adalah merupakan lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga Keuangan Syariah.



PEMBAHASAN

Pengertian dan Latar Belakang Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah adalah suatu fungsi dalam organisasi bank syariah yang secara internal merupakan badan pengawas syariah,dan secara eksternal dapat menjaga serta meningkatkan kepercayaan masyarakat,dan penempatannya atas persetujuan Dewan Syariah Nasional.[5] Industri perbankan syariah sejatinya dijalankan berdasarkan prinsip dan sistem syariah. Karena itu, kesesuaian operasi dan praktek bank syariah dengan syariah merupakan piranti mendasar dalam perbankan syari’ah. Untuk tujuan itulah semua perbankan yang beroperasi dengan sistem syariah wajib memiliki institusi internal yang independen, yang secara khusus bertugas memastikan bank tersebut berjalan sesuai syariah Islam, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Perbankan No 21/2008 yang menyebutkan bahwa bank syariah mesti memiliki Dewan Pengawas Syari’ah.[6]
Peranan Dewan Pengawas Syariah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota Dewan Pengawas Syariah harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern.[7] Kesalahan besar perbankan syariah saat ini adalah mengangkat Dewan Pengawas Syariah karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syariah. Masih banyak anggota Dewan Pengawas Syariah yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam, seperti akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran - peran strategis lainnya sangat tidak optimal. Dewan Pengawas Syariah juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter, misalnya dampak bunga terhadap investasi, produksi, unemployment. Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas currency, Dengan memahami ini, tidak ada lagi ulama yang menyamakan margin jual beli murabahah dengan bunga. Karena masih banyak ulama yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan bunga.[8]
Karena pengangkatan Dewan Pengawas Syariah bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan Dewan Pengawas Syariah tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi. Harus diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’iy. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syariah, yang masih dominan didasarkan atas kinerja keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi yang oportunis untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syariah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syariah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka Unit Usaha Syariah.[9]
Sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syariah Islam di Bank syariah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia dari pada oleh Dewan Pengawas Syariah, sehingga Dewan Pengawas Syariah baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah setelah mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan Dewan Pengawas Syariah di bank-bank syari’ah. Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah.[10]
Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syariah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syariah dalam praktek operasionalnya. Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai sistem operasional Bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai - nilai syariah” . Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca – Fatwa MUI, di Jakarta, 10 Pebruari 2004[11]
Melihat fenomena tidak syariahnya Bank syariah tersebut , sampai – sampai mantan Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi Agung mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait.[12]
Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang. Deputi Gubernur BI itu dalam orasinya menuliskan,” Sejak dini Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan pengawas bank syariah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syariah. Hal ini penting agar bank syariah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syariah, bankir syariah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syariah, Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran Dewan Pengawas Syariah sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syariah agar tetap memenuhi prinsip-prinsip syariah. Dewan Pengawas Syariah harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syariah.
Sebagaimana disebut di atas, Dewan Pengawas Syariah harus menguasai fiqh muamalah terapan bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyri’, tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Pengujian ini untuk menjamin bahwa kegiatan sehari–hari bank syariah di bidang mobilisasi dan alokasi sumber dayanya adalah sejalan dengan syariah.[13] Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan saat ini, karena kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus.
Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk Dewan Pengawas Syariah, juga mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan ekonomi keuangan modern. Seorang Dewan Pengawas Syariah Bank Syariah misalnya, harus mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syariah, struktur dan terminologi bank dan Lembaga Keuangan Syariah, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik tentang fikih muamalah.
Karena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi, keuangan. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan, menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syariah.[14]
Di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu pertama, fiqih muamalah, ushul fiqh, qawaid fiqh, tarikh tasyri’ serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik.[15]
Peran Dewan Pengawas Syariah
Secara internal dan normatif, dalam rangka menjamin kesyariahan sebuah lembaga keuangan syari’ah, sudah ada ketentuan bahwa setiap lembaga keuangan syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan Pengawas Syariah mempunyai tugas yang unik, berat dan sangat strategis. Keunikan tugas ini dilihat dari kondisi bahwa anggota Dewan Pengawas Syariah ini harus mampu mengawasi dan tentunya menjamin bahwa lembaga keuangan syariah sungguh-sungguh dapat berjalan diatas rel syariah, dan tidak menyimpang sedikitpun.
Keunikan ini makin kentara jika dibandingkan pada institusi keuangan konvensional dimana tidak terdapat adanya Dewan Pengawas Syariah, bahkan dalam lembaga-lembaga lain yang mengklaim dirinya sebagai lembaga Islam semisal rumah sakit Islam, sekolah Islam dan Universitas Islam belum penulis dengar adanya kewajiban untuk memiliki institusi dewan pengawas syariah ini. Kalaupun terdapat Dewan Pengawas Syariah itupun bukanlah tuntutan formil, semisal Dewan Pengawas Syariah pada Hotel Sofyan Syariah.[16] Seorang Dewan Pengawas Syariah seharusnya adalah sarjana (ilmuwan) yang memiliki reputasi tinggi dengan pengalaman luas di bidang hukum, ekonomi dan system perbankan dan khusus dalam bidang hukum dan keuangan. Mengacu pada kualifikasi Dewan Pengawas Syariah tersebut di atas, maka bank-bank syariah di Indonesia perlu melakukan restrukturisasi, perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik dan mengangkat Dewan Pengawas Syariah dari kalangan ilmuwan ekonomi Islam yang berkompeten di bidangnya. Hal ini mutlak perlu dilakukan agar perannya bisa optimal dan menimbulkan citra positif bagi pengembangan bank syariah di Indonesia.
Kesalahan bank-bank syariah di Indonesia mengangkat Dewan Pengawas Syariah, yakni mengangkat orang yang sangat terkenal di ormas Islam atau terkenal dalam ilmu keislaman (bukan syariah), tetapi tidak berkompeten dalam bidang perbankan dan keuangan syariah. Sebagian Dewan Pengawas Syariah tidak mengerti operasional perbankan syariah dan tidak optimal mengawasi banknya. Realita ini menguntungkan bagi manajemen perbankan syariah, karena lebih bebas berbuat apa saja, karena pengawasannya sangat longgar.Tetapi dalam jangka panjang hal ini justru merugikan gerakan ekonomi syariah, tidak saja bagi bank syariah bersangkutan tetapi juga bagi gerakan ekonomi dan bank syariah secara keseluruhan dan kemajuan bank syariah di masa depan. Karena itu, tidak aneh jika banyak masyarakat yang memandang bahwa bank syariah sama dengan bank konvensional.
Namun harus diakui, bahwa sebagian Dewan Pengawas Syariah bank syariah sudah berperan secara optimal, tetapi masih lebih banyak lagi yang belum optimal. Inilah yang harus ditangani Bank Indonesia, DSN MUI dan bank-bank syariah sendiri. Oleh karena itu, Undang-Undang yang memposisikan Dewan Pengawas Syariah yang demikian strategis, harus diimplementasikan dengan tepat dan cepat, untuk itu setiap Manajemen Bank Syariah harus melakukan formalisasi peran dan keterlibatan Dewan Pengawas Syariah dalam memastikan pengelolaan risiko ketidakpatuhan atas peraturan dan prinsip Syariah. Dewan Pengawas Syariah wajib diberikan ruang kantor yang di dalamnya terdapat staf yang dapat memberikan pelayanan data-data keuangan, laporan keuangan, redaksi akad-akad, proses penerapan akad-akad, dan sebagainya.
Perkembangan ekonomi syariah menunjukkan peningkatan yang memuaskan. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi syariah diterima dan mendapat tempat di kalangan penduduk Indonesia. Ekonomi syariah menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia dalam kegiatan ekonominya. Perkembangan ekonomi syariah ditandai dengan meningkatnya lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah. Selain itu pertumbuhan ekonomi syariah secara akademik ditandai dengan maraknya pembukaan konsentrasi ekonomi syariah di perguruan tinggi Islam atau umum, juga merebaknya lembaga dan organisasi yang konsen pada kajian dan pengembangan ekonomi syariah.[17]
Dalam bidang keuangan syariah pertumbuhan lembaga keuangan syariah sangat signifikan. Peningkatan ini dapat dilihat dari beberapa LKS dan LBS berikut :[18]
1. Perbankan syariah adalah lembaga keuangan syariah yang paling berkembang pesat. Sampai Agustus 2007, menurut Statistik Bank Indonesia, terdapat 3 buah Bank Umum Syariah dengan jumlah kantor 325 buah, dan terdapat 23 Unit Usaha Syariah dengan 165 kantor
2. Peningkatan lembaga asuransi syariah. Sampai Juli 2007 terdapat 2 perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 Perusahaan Asuransi Kerugian Syariah, 12 Perusahaan Asuransi Jiwa yang memiliki kantor cabang syariah, 18 Perusahaan Asuransi Kerugian yang memiliki kantor cabang syariah, 3 Perusahaan Reasuransi yang memiliki kantor cabang syariah.
3. Pertumbuhan ekonomi syariah juga terjadi di bursa saham. Perkembangan transaksi saham syariah di Bursa Efek Jakarta bisa digambarkan bahwa, berdasarkan lampiran Pengumuman BEJ No. Peng – 192 /BEJ-DAG/U/06- 2007 tanggal 29 juni 2007, daftar nama saham tercatat yang masuk dalam perhitungan Jakarta Islamic Index (JII) untuk periode Juli 2007 s.d Desember 2007 adalah sebanyak 30 perusahaan saham syariah.
4. Juga pertumbuhan di sektor industri dan bisnis syariah. Sekedar menyebutkan contoh ada hotel syariah, makanan dan minuman berlabel halal, kolam renang syariah, tukang pijit syariah dan lain sebagainya.
Pertumbuhan yang signifikan ini mengandung konsekuensi tersendiri yaitu berupa meningkatnya persaingan bisnis Lembaga Keuangan Syariah dan LBS. Untuk menghindari persaingan tidak sehat yang mengakibatkan terabaikannya prinsip–prinsip syariah, perlu ditingkatkan aspek pengawasan syariah. Perbedaan mendasar Lembaga Keuangan Syariah dan lembaga keuangan konvensional terletak pada kepatuhannya terhadap aturan syariah. Dengan begitu, peran pengawasan syariah menjadi sangat penting karena akan menentukan kesyariahan Lembaga Keuangan Syariah dan LBS. Dalam konteks Indonesia pengawasan syariah ini , sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil dan Peraturan Bank Indonesia No : 6/24/pbi/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dilakukan dengan Dewan Syariah Nasional dan Dewan Pengawas Syariah.[19]
Dewan Pengawas Syariah di perbankan syariah memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di bank syariah. Dewan Pengawas Syariah bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena pentingnya peran Dewan Pengawas Syariah tersebut, maka dua Undang-Undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah tersebut di perusahaan syariah dan lembaga perbankan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan demikian, secara yuridis, Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga perbankan menduduki posisi yang kuat, karena keberadaannya sangat penting dan strategis.[20]
Menurut UU No 40 Tahun 2007 Pasal 109 :[21]
1.Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah
2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah.[22] Sejalan dengan itu, Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Pasal 32 menyebutkan[23]
1. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah.
2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut kedudukan Dewan Pengawas Syariah sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan pengembangan bank syariah dan perusahaan syariah. Menurut hasil penelitian Bank Indonesia (2008) kerjasama dengan Ernst dan Young yang dibahas dalam seminar akhir tahun 2008 di Bank Indonesia, salah satu masalah utama dalam implementasi manajemen resiko di perbankan syariah adalah peran Dewan Pengawas Syariah yang belum optimal. Peran Dewan Pengawas Syariah yang belum optimal tersebut disimpulkan para peneliti sebagai kesenjangan utama manajemen risiko yang harus diperbaiki di masa depan. Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran Dewan Pengawas Syariah adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti resiko likuiditas dan resiko lainnya. Jika peran Dewan Pengawas Syariah tidak optimal dalam melakukan pegawasan syariah terhadap praktik syariah sehingga berakibat pada pelanggaran syariah complience, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat menjadi negatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Hal inilah yang dikatakan oleh Shanin A.Shayan CEO and Board Member of Barakat Foundation.[24] “The biggest risk facing the global Financial Sistem is not a fall in its earning power but most importantly a loss of faith and credibility on how it works”
Jadi, risiko terbesar menghadapi sistem keuangan global bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya. Di sinilah, peran Dewan Pengawas Syariah perlu dioptimalkan, agar bisa dipastikan segala produk dan sistem operasinal bank syariah benar – benar sesuai syariah. The role of syariah Board : to ensure that every transaction complies with Islamic Law. Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan hukum Islam, anggota Dewan Pengawas Syariah harus memahami ilmu ekonomi dan perbankan dan berpengalaman luas di bidang hokum Islam.[25]
Dengan demikian kualifikasi menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah mestilah memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perbankan. Namun, sangat disayangkan, masih banyak Dewan Pengawas Syariah yang belum memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan. Selain mereka tidak memahami ilmu tersebut, mereka juga masih banyak yang tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perbankan syariah. Padahal menurut ketentuannya, Dewan Pengawas Syariah bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau dan komentar pada semua kontrak dan transaksi (The Shariah Supervisory Board works independently and is free to review and comment on all contracts and transactions).[26]
Menurut Dubai Islamic Banking, tugas penting anggota Dewan Pengawas Syariah ialah sebagaimana dipaparkan di bawah ini :[27]
1. Dewan Pengawas Syariah adalah seorang ahli (pakar) yang menjadi sumber dan rujukan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah termasuk sumber rujukan fatwa.
2. Dewan Pengawas Syariah mengawasi pengembangan semua produk untuk memastikan tidak adanya fitur yang melanggar syariah.
3. Dewan Pengawas Syariah menganalisa segala situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang tidak didasari fatwa ditransaksi perbankan untuk memastikan kepatuhan dan kesesuaiannya kepada syariah.
4. Dewan Pengawas Syariah menganalisis kontrak dan perjanjian mengenai transaksi - transaksi di bank syariah untuk memastikan kepatuhan kepada syariah.
5. Dewan Pengawas Syariah memastikan koreksi pelanggaran dengan segera (jika ada) untuk mematuhi Syariah. Jika ada pelanggaran, anggota Dewan Pengawas Syariah harus mengkoreksi penyimpangan itu dengan segera agar disesuaikan dengan prinsip syariah.
6. Dewan Pengawas Syariah memberikan supervise untuk program pelatihan syariah bagi staf Bank Islam.
7. Dewan Pengawas Syariah menyusun sebuah laporan tahunan tentang neraca bank syariah tentang kepatuhannya kepada syariah. Dengan pernyataan ini seorang Dewan Pengawas Syariah memastikan kesyariahan laporan keuangan perbankan syariah.
8. Dewan Pengawas Syariah melakukan supervisi dalam pengembangan dan penciptaan investasi yang sesuai syariah dan produk pembiayaan yang inovatif
Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, maka seorang Dewan Pengawas Syariah mesti memenuhi kualifikasi tertentu. Artinya, untuk menjadi Dewan Pengawas Syariah tidak sembarang orang, sebagaimana terjadi selama ini. Dewan Pengawas Syariah tidak cukup hanya mengerti ilmu keuangan dan perbankan sebagaimana juga tidak bisa hanya ulama dan cendikiawan muslim yang tak mengerti operasional perbankan dan ilmu ekonomi keuangan. Dengan demikian, seorang Dewan Pengawas Syariah haruslah scholars of high repute with extensive experience in law, economics and banking systems and specializing in law and finance as prescribed by Islamic Shariah make up the DIB’s Fatwa & Shariah Supervision Board.[28]
Tugas Dewan Pengawas Syariah pastilah sangat berat, karena memang tidak mudah menjadi lembaga yang harus mengawasi dan bersifat menjamin operasi sebuah entitas bisnis dalam konsteks yang amat luas dan komplek yang secara umum memasuki ranah-ranah khilafiyah . Karena menyangkut urusan-urusan muamalah dimana ruang interpretasinya sangatlah luas. Kesyariahan sebuah lembaga keuangan syariah, dalam batas – batas tertentu dapat dikatakan terletak di atas pundak mereka. Begitu Dewan Pengawas Syariah menyatakan lembaga yang diawasinya sudah berjalan berdasarkan syariah, maka setiap penyimpangan yang terjadi terhadap kepatuhan syariah menjadi tanggung jawab mereka, tidak saja di dunia, namun juga di akhirat kelak. Begitu pula sebaliknya, manakala Dewan Pengawas Syariah menyatakan bahwa terdapat penyimpangan terhadap kepatuhan syariah lembaga yang mereka awasi, padahal tidak, maka tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga keuangan syariah tersebut dapatlah hancur. Peran strategis yang diemban Dewan Pengawas Syariah antara lain selain telah diurai di atas, adalah sebagai garda terdepan dalam menjaga kesyari’ahan sebuah lembaga keuangan/ekonomi/ publik yang berlabel syariah. Dengan demikian perlu diperhatikan kinerja dan peran Dewan Pengawas Syariah ini dalam melakukan pengawasan di Lembaga Keuangan Syariah. Hal ini agar prinsip syariah yang melekat dan menjadi tongggak pendirian Lembaga Keuangan Syariah dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk mencapai hal ini perlu pembenahan dan kesadaran yang tinggi dari masyarakat, pemerintah dan orang-orang yang berhubungan langsung dengan kegiatan tersebut. Mulai dari cara kerja, aturan sampai kepatuhan terhadap peraturan yang telah dibuat. Dengan demikian, tidak disangsikan lagi kegiatan yang berlandaskan prinsip syariah ini akan berjalan lancar dan mengalami kemajuan pesat.[29]
DSN didirikan berdasarkan SK MUI No. Kep. 754/II/1999, dengan empat (4) tugas pokok, yaitu:[30]
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai–nilai syariah dalam kegiatan perekonomian ;
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis–jenis kegiatan keuangan;
3. Mengeluarkan fatwa atu produk keuangan syariah;
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Adapun fungsi dari Dewan Syariah Nasional adalah :
1. Mengawasi produk–produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah;
2. Meneliti dan memberi fatwa bagi produk–produk yang dikembangkan lembaga keuangan syariah;
3. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah;
4. Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika terjadi penyimpangan dari garis panduan yang telah ditetapkan.
Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah
Sejalan dengan perkembangan lembaga–lembaga keuangan syariah, ulama semakin tertuntut untuk turut serta dalam memberikan masukan untuk turut serta dalam memberikan masukan untuk kemajuan lambaga tersebut. Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dianggap sebagai langkah efisien untuk mengkoordinasi ulama dalam menanggapi isu–isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di samping itu, Dewan Syariah Nasional diharapkan berfungsi sebagai pendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional berperan serta secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang ekonomi dan keuangan.[31]
Sebelum membahas keanggotaan Dewan Pengawas Syariah, ada baiknya dibahas terlebih dahulu mengenai keanggotaan DSN sebagai lembaga yang membentuk Dewan Pengawas Syariah. Secara umum, susunan pengurus DSN dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengurus yang bersifat umum dan Badan Pelaksana Harian. Pengurus DSN yang bersifat umum terdiri atas : ketua, dua orang wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan anggota. Pengurus umum Dewan Syariah Nasional periode 2000 – 2005 terdiri atas 26 orang yang terdiri atas 26 orang yang terdiri ats 1 orang ketua, 2 orang wakil ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang wakil sekretaris, dan 21 orang anggota. Badan Pelaksana Harian DSN terdiri atas: ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, dan anggota. Badan Pelaksana Harian periode 2000–2005 terdiri atas 13 orang yang terdiri atas : 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang wakil sekretaris, 1 orang bendahara, dan 8 orang anggota. Perbedaan antara susunan Pengurus Umum dengan Badan Pelaksana Harian hanya ada satu wakil ketua; dan dalam Pengurus tidak ada bendahara, sedangkan dalam Badan Pelaksana Harian terdapat bendahara.[32]
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Syariah Nasional terdiri dari Pengurus Pleno (56 orang) dan Badan Pelaksana Harian (17 orang). Ketua DSN–MUI dijabat ex Officio Ketua Umum MUI dan sekretaris DSN–MUI dijabat Ex Officio Sekretaris Umum MUI. Adapun keanggotaan Dewan Syariah Nasional diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas Islam, Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan praktisi perekonomian syariah yang memenuhi kriteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional yang mana keanggotaan baru Dewan Syariah Nasional ditetapkan oleh Rapat Pleno DSN–MUI. Rapat Dewan Syariah Nasional MUI terdiri dari Rapat Pleno dan Rapat BPH. Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri atas tiga unsure yaitu ulama, pakar (ekonomi syariah), dan praktisi perbankan syariah. Keanggotaan ulama, pakar, dan praktisi perbankan syariah dalam DSN, ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti yang sama dengan periode masa bakti pengrusan UI Pusat (5 tahun).[33]
Mekanisme kerja DSN berkaitan dengan DPS adalah :[34]
1. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasan nya;
2. Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul–usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional;
3. Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang – kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; dan
4. Dewan Pengawas Syariah merumuskan permasalahan–permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.
Struktur Dewan Pengawas Syariah.[35]
1. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas direksi.
2. Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan kepada manajemen dalam kaitan dengan implementasi sistem dan produk-produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam.
3. Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem pembinaan ke-Islaman yang telah diprogramkan setiap tahunnya.
4. Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan tersebut..
5. Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro Syariah
Prosedur Penetapan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah ( LKS-LBS) adalah sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan syariah mengajukan permohonan penempatan Dewan Pengawas Syariah kepada Dewan Syariah Nasional melalui sekretariat Dewan Syariah Nasional. Permohonan tersebut dapat disertai nama calon Dewan Pengawas Syariah atau meminta calon kepada Dewan Syariah Nasional.
2. Permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH DSN- MUI
3. Apabila diperlukan diadakan silaturahim antara BPH DSN-MUI dengan calon Dewan Pengawas Syariah untuk mengenal lebih jauh kepribadian dan kepantasannya
4. Hasil rapat BPH DSN-MUI dilaporkan kepada pimpinan DSN–MUI
5. Pimpinan DSN-MUI menetapkan nama–nama yang diangkat sebagai Dewan Pengawas Syariah.
Dalam Keputusan DSN–MUI No : 03 Tahun 2000 disebutkan tentang keanggotaan Dewan Pengawas Syariah yaitu:[36]
1.Setiap lembaga keuangan syariah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota Dewan Pengawas Syariah.
2. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua
3. Masa tugas anggota Dewan Pengawas Syariah adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lambaga keuangan syariah yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN. Selanjutnya disebutkan bahwa syarat menjadi Anggota Dewan Pengawas Syariah adalah :[37]
1. Memiliki akhlaq karimah
2. Memiliki kompetensi kepakaran dalam bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum.
3. Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah.
4. Memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari Dewan Syariah Nasional.
Dewan Pengawas Syariah dilarang mempunyai jabatan rangkap dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di satu perbankan syari'ah dan satu lembaga keuangan syari'ah lainnya.
2. Mengingat keterbatasan jumlah tenaga yang dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah, seseorang dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah sebanyak-banyaknya pada dua perbankan syari'ah dan dua lembaga keuangan syari'ah lainnya.
3. Dalam hal perangkapan dimaksud terjadi sebelum adanya ketentuan ini, yang bersangkutan dapat menyesuaikan atau menunggu berakhirnya masa tugas .
Penulis mencoba melakukan penilaian berdasarkan 6 (enam) dimensi yang diperkenalkan DR. M Akhyar Adnan, MBA, Ak. Dalam seminar nasional Dewan.[38]
1.Mempunyai kompetensi atau kemampuan dalam bentuk keahlian yang dihasilkan lewat pendidikkan formal sesuai profesi tersebut. (Setidaknya dalam ilmu fiqh muamalat, operasional bank, pengawasan (akuntansi/auditing), menguasai administrasi umum). Dari kreteria pertama ini dapat kita analisis bahwa anggota Dewan Pengawas Syariah secara umum mempunyai latar belakang syari’ah khususnya dan keagamaan pada umumnya. Belum dapat dapat diketahui secara jelas sejauh mana seorang anggota Dewan Pengawas Syariah yang semata-mata memiliki latar belakang pengetahuan agama, sudah dipersiapkan, atau mempersiapkan diri dengan pengetahuan pendukung lainnya, seperti manajemen, operasi perbankan dan auditing. Yang ideal tentunya, memang harus ada sekolah (STEI SEBI sebagai lembaga yang khusus pada pengembangan ekonomi syariah diharapkan dapat memainkan peranan ini) atau pendidikkan khusus yang dapat memberikan otoritas keilmuan dan ketrampilan, atau sedikitnya semacam sertifikasi, semisal halnya dalam profesi akuntan publik.
2 Adanya tuntutan bahwa seorang professional berkerja penuh waktu (full time). Tidak bisa disebut seorang professional, bila yang bersangkutan bekerja sambilan atau paruh waktu.Cukup banyak contoh yang dapat terlihat kasat mata bahwasanya sebagian besar (atau mungkin seluruhnya) anggota Dewan Pengawas Syariah yang sekarang ada hanya bekerja paruh waktu. Karena mereka yang sebagian besar saat ini menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah adalah mereka sudah bekerja secara permanen di tempat lain, dalam posisi kunci yang juga super sibuk, entah sebagai dosen, tenaga ahli, konsultan, da’i yang selalu berkeliling memberi ceramah, dsb. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin mereka dapat menekuni pekerjaan pengawasan dengan optimal kalau selain tidak mempunyai bekal ketrampilan cukup, pekerjaan pengawasan tersebut dikerjakan secara paruh waktu, atau dalam waktu yang tidak menentu.
3. Mempunyai dan menjadi anggota asosiasi profesi. Sebagai profesional sudah selayaknya ada asosiasi profesi yang menaungi profesi tersebut, semisal akuntan menjadi anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), insinyur harus menjadi anggota PII, dsb. Sejauh penulis amati belum ada sama sekali wacana untuk membentuk adanya profesi baru yang semata-mata dapat mengingat anggotanya dalam batasan profesi kepengawasan Lembaga Keuangan Syariah. Dengan adanya asosiasi profesi Dewan Pengawas Syariah, maka asosiasi ini dapat menjadi wadah guna meningkatkan kompentensi dan membuat kode etik profesi sehingga kepercayaan masyarakat pada Dewan Pengawas Syariah dapat terjaga.
4) Mempunyai komitmen untuk meningkatkan ilmu dan ketrampilan, baik melalui media asosiasi profesi (bila nantinya ada) ataupun melalui media lain. Hal ini dapat dilakukan melalui jasa yang umumnya diberikan oleh ikatan profesi. Oleh karena itu adanya ikatan profesi pengawas syari’ah menurut  penulis mutlak ada khususnya di Indonesia dimana pendidikan khusus profesi Ini belum berkembang dengan baik.
5) Memiliki, memahami dan mempraktikkan etik profesi (akhaqul karimah) Ini merupakan hal yang sangat penting, karena seorang profesional harus selalu dapat menjunjung tinggi etika dan integritas, khususnya yang memang sudah diatur oleh asosiasi profesinya sendiri. Melalui etika yang terjaga inilah citra profesionalitasnya akan terjaga dengan baik, sehingga yang bersangkutan mempunyai martabat terhormat dimata siapapun.
6) Menerima kompensasi yang memadai Sebagai konsekuensi memiliki kelima dimensi profesional diatas, dimana profesi Dewan Pengawas Syariah memerlukan tidak hanya kemauan keras dan ketersediaan waktu, tetapi juga dukungan finansial yang signifikan. Wajar jika mendapat kompensasi yang sepadan. Secara umum dari keenam aspek indikator profesionalitas ini, mungkin poin ke enam ini yang telah terpenuhi, yaitu adanya kompensasi yang memadai.
Hak Dan Kewajiban Dewan Pengawas Syariah
Hak Dewan Pengawas Syariah antara lain:
1. Honorium/uang transport yang pantas
2. Ruang kerja/ruang rapat yang memadai
3. Mengetahui secara mendalam ketentuan syariah yang di jalankan di Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan
4. Mengetahui dan mengkritisi rencana operasional (bisnis plan) Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan
Kewajiban Dewan Pengawas Syariah:[39]
1. Menghadiri rapat–rapat rutin Dewan Pengawas Syariah
2. Memberikan bimbingan dan pertimbangan syariah kepada Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan
3. Memberikan nasihat dan koreksi kepada Lembaga Keuangan Syariah bila ditemukan penyimpangan yang tidak sesuai syariah.
4. Memberikan opini syariah kepada Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan.
5. Melaporkan hasil kerjanya secara berkala kepada DSN – MUI.
6. Mengikuti fatwa–fatwa DSN.
Kewajiban bukan hanya berasal dari Dewan Pengawas Syariah saja, sebaliknya Lembaga Keuangan Syariah dalam hal ini perbankan syariah juga mempunyai kewajiban terhadap Dewan Pengawas Syariah yaitu:[40]
1. Menyediakan ruang kerja dan fasilitas lain yang diperlukan.
2. Membantu kelancaran tugas Dewan Pengawas Syariah.
Rapat–rapat Dewan Pengawas Syariah antara lain
1. Rapat Dewan Pengawas Syariah diselenggarakan di kantor Lembaga Keuangan Syariah pada waktu/jadwal yang telah disepakati bersama (dua bulanan, satu bulanan, setengah bulanan, mingguan, atau sewaktu–waktu diperlukan ).
2. Rapat–rapat Dewan Pengawas Syariah diikuti oleh seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah beserta pimpinan atau staf Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk.
3. Rapat–rapat Dewan Pengawas Syariah membahas masalah yang berkaitan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional, rencana kerja baru, opini syariah, rencana usulan fatwa.
Opini syariah adalah pendapat kolektif dari Dewan Pengawas Syariah yang telah dibahas secara cermat dan mendalam mengenai kedudukan/ketentuan syari yang
berkaitan dengan produk atau aktifitan Lembaga Keuangan Syariah. Opini syariah
dapat dijadikan pedoman sementara sebelum adanya fatwa Dewan Syariah Nasional mengenai masalah tersebut. Opini ini bersifat sementara yang dapat dibenarkan dan dijadikan landasan pelaksanaan produk lembaga keuangan, sampai keluarnya fatwa dari adanya Dewan Syariah Nasional. Sedangkan pengusulan fatwa baru dapat dilakukan Dewan Pengawas Syariah, baik sendiri maupun bersama–sama dengan pimpinan Lembaga Keuangan Syariah, dapat mengajukan usulan kepada Dewan Syariah Nasional untuk mengekuarkan fatwa yang berkaitan dengan produk atau kegiatan Lembaga Keuangan Syariah melalui BPH DSN. Usulan tersebut untuk selanjutnya diformulasikan secara baik untuk dibahas dalam rapat pleno DSN–MUI.



PENUTUP

Perbankan syariah adalah suatu alternatif pelaksanaan syariat Islam yang menguntungkan. Dan di dalamnya terdapat aturan berdasarkan syariat Islam, dalam hal ini berlaku UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Di dalamnya terdapat Badan Pengawas yang diberi nama Dewan Penawas Syariah (DPS).Dewan Pengawas Syariah adalah suatu fungsi dalam organisasi bank syariah yang secara internal merupakan badan pengawas syariah,dan secara eksternal dapat menjaga serta meningkatkan kepercayaan masyarakat,dan penempatannya atas persetujuan dewan syariah nasional.
1. Dalam UU No.21 Tahun 2008 tepatnya dalam pasal 12 ayat 1 jelas dikatakan bahwa Dewan Pengawas Syariah wajib dbentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Hal ini tentunya memiliki alasan yang kuat, dimana keberadaan Dewan Pengawas Syariah itu benar–benar dibutuhkan. Tugas utama dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) sendiri adalah memastikan pemenuhan atas kepatuhan pada prinsip syari’ah di perbankan syariah agar terlaksana dengan baik. Dengan demikian diharapkan tujuan utama dibentuknya perbankan syariah dapat tercapai. Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah, Syarat Anggota Dewan Pengawas Syariah, Tugas dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah, Prosedur Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah, Kewajiban Lembaga Keuangan Syari’ah terhadap Dewan Pengawas Syariah, Kewajiban Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Perangkapan Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah jelas diatur dalam Keputusan DSN- MUI No. 03 tahun 2005 tentang petunjuk pelaksanaan penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah. Dan di dalamnya juga dinyatakan bahwa keberadaan Dewan Pengawas Syariah mutlak diperlukan. Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan perbankan syariah adalah sangat menyenangkan sekaligus menyedihkan. Maksudnya keberadaan perbankan syariah yang telah dinantikan dan hadir dengan UU tersendiri adalah merupakan hal yang sangat membanggakan sekaligus memenuhi kebutuhan sebagian kalangan yang ingin menabung dengan tetap menjaga syariat Islam, sedangkan optimalisasi pelaksanaan prinsip syariah tersebut baik dari pihak–pihak yang berkaitan langsung dengan perbankan syariah tersebut maupun masyarakat relatif sangat jauh dari harapan. Sehingga dengan keberadaan Dewan Pengawas Syariah ini diharapkan akan tercipta kondisi yang benar–benar murni syariah. Dan merupakan langkah awal serta tonggak membangun perbankan syariah yang dikatakan sehat.
2. Dewan Pengawas Syariah sendiri adalah lembaga bentukan atau perwakilan dari Dewan Syariah Nasional atas perintah dari MUI. Di setiap lembaga keuangan syaiah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota Dewan
Pengawas Syariah. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua. Masa tugas anggota Dewan Pengawas Syariah adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan syariah yang bersangkutan atau telah merusak citra DSN. Adapun prosedur penentuan keanggotaan Dewan Pengawas Syariah ini jelas diatur dalam Keputusan DSN–MUI No. 03 Tahun 2005 yaitu :Lembaga keuangan syari'ah mengajukan permohonan penempatan anggota Dewan Pengawas Syariah kepada DSN. Permohonan tersebut dapat disertai usulan nama calon Dewan Pengawas Syariah, permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN, Hasil rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan kepada pimpinan DSN, Pimpinan DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah. Sedangkan yang menjadi syarat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah antara lain: Memiliki akhlaq karimah, Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syari’ah mu’amalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum., Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syari’ah., Memiliki kelayakan sebagai pengawas syari’ah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari DSN. Dewan Pengawas Syariah juga dilarang memiliki jabatan rangkap dan harus memenuhi ketentuan yaitu : Pada prinsipnya, seseorang hanya dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah di satu perbankan syari'ah dan satu lembaga keuangan syari'ah lainnya, mengingat keterbatasan jumlah tenaga yang dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah, seseorang dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah sebanyak-banyaknya pada dua perbankan syari'ah dan dua lembaga keuangan syari'ah lainnya, dalam hal perangkapan dimaksud terjadi sebelum adanya ketentuan ini, yang bersangkutan dapat menyesuaikan atau menunggu berakhirnya masa tugas.
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press,2001.

Dewi, Gemala. Aspek – Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2007.


http://agustianto.niriah.com/2008/12/21/dps-dan-manajemen-risiko-bank-syariah/, diakses tanggal 21 Januari 2017.

http://pa-kendal.ptsemarang.net, diakses tanggal 21 Januari 2017.

Ilmi, Makhalul SM. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah. Yogyakarta : UII Press, 2002.

Mubarok, Jaih . Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Muhammad Akhyar Adnan, DPS Bank Syaria’ah Kekuatan Atau Kelemahan?, Makalah Seminar Nasional “Menuju Profesionalisme DPS Dalam Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelenggara ECSID dan BANK INDONESIA, Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII.

Muhammad Akhyar Adnan, Menuju DPS Perbankan Yang Profesional, Makalah Seminar Nasional “ Menuju Profesionalisme DPS Dalam Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelengara ECSID dan BANK INDONESIA, Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII.

Saeed, Abdullah..Menyoal Bank Syariah.Jakarta : Paramadina, 2004.

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta : Ekonisia, 2005.

Supriyatno, Eko. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005..

UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Wibowo, Edy dan Widodo, Untung Hendy. Mengapa Memilih Bank Syariah?.Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.


[1] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Dalam Perbankan Dan Perasuransian  Syariah di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2007) , hal. 51.
[2] Ibid, hal. 53.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Syafi”I Antonio,  Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Pres, 2001). hal. 43.
[6] http://agustianto.niriah.com/2008/04/25/optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-1/, diakses tanggal 21 Januari 2017
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Eko Suprayino, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Kovensional, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005), hal. 9.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, (Jakarta:Paramadina, 2004), hal .171
[14] Eko Suprayino, op.cit.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] http://pa-kendal.ptsemarang.net, diakses tanggal 21 Januari 2017.
[18] Ibid
[19] Ibid.
[20] http://agustianto.niriah.com/2008/12/21/dps-dan-manajemen-risiko-bank-syariah/, diakses tanggal 21 Januari 2017.
[21] UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : CV. Nuansa Mulia, 2007).
[22] Ibid
[23] UU no. 21 tahun 2008, op.cit.
[24] Edy Wibowo dan Untung Hendy, Mengapa Memilih Bank Syariah?, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2005), hal. 33.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid
[28] Ibid.
[29] Muhammad Akhyar Adnan, DPS Bank Syaria’ah Kekuatan Atau Kelemahan?, Makalah Seminar Nasional “Menuju Profesionalisme DPS Dalam Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelenggara ECSID dan BANK INDONESIA, Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII
[30] A. Wirman Syafei, Optimalisasi Pengawasan Dewan Syariah Nasional, Media Indonesia, Rabu, 11 Desember 2002. Dikutip dari Gemala Dewi. hal.103.
[31] Jaih Mubarok, Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy ,2004), hal.11.
[32] Ibid.
[33] Ibid, hal. 12.
[34] Ibid.
[35] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta : Ekonisia, cetakan ketiga, 2005), hal.27.
[36] Makhalul Ilmi SM. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah. (Yogyakarta : UII Press, 2002), hal. 50.
[37] Ibid.
[38] Muhammad Akhyar Adnan, Menuju DPS Perbankan yang Profesional, Makalah Seminar Nasional “Menuju Profesionalisme DPS Dalam Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelenggara ECSID dan BANK INDONESIA, Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII

[39] Makhalul Ilmi SM, op.cit
[40] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar