PERAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH TERHADAP
BANK
SYARIAH
Muhammad Ikram
Ekonomi Syariah 2
Semester 7
01133032
STAIN WATAMPONE
Abstrak
Perkembangan ekonomi syariah saat
ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung
internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut
meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana
syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi
syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya. Dalam
mengembangkan dan memajukan lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi
produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Agar mengoptimalkan
terlaksananya prinsip syariah dalam menjalankan semua kegiatan dalam perbankan
syariah maka diperlukan adanya pengawasan. Sehingga dibentuklah suatu lembaga
yaitu Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi untuk melakukan pengawasan secara
tekhnis dan administratif di perbankan syariah.
Kata
kunci : Ekonomi
Syariah, Dewan Pengawas Syariah, Perbankan Syariah
PENDAHULUAN
Salah
satu kegiatan yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di dunia
ekonomi saat ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh karena
fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang
pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga
keuangan ini mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke
berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah.
Demikian pula lembaga keuangan ini dapat menyediakan dana bagi
pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha lemah yang
membutuhkan dana bagi kelangsungan usaha. Dan juga berbagai fungsi lain berupa
jasa bagi kelancaran lalu-lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antar
negara.[1]
Yang
menjadi permasalahan bagi kebanyakan orang terhadap kegiatan usaha lembaga
keuangan perbankan tersebut jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum
Islam bukanlah dari segi fungsi lembaga melainkan dari konsep usahanya serta
teknik operasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang
digunakan. Disini disadari bahwa kegiatan usaha yang diinspirasikan oleh sistem
ekonomi kapitalis ini adalah dengan jalan menarik keuntungan usahanya terutama
dari bunga kredit yang dimanfaatkannya melalui dana simpanan masyarakat dengan
tambahan berupa bunga.
Konsep
usaha yang mudah dengan janji keuntungan yang berlipat ganda tanpa menanggung
risiko rugi ini, tentu mengandung pertentangan dengan prinsip hukum Islam yang
menghargai usaha dan mengharamkan riba. Hal ini menyebabkan adanya perdebatan
yang berlarut-larut di kalangan ahli fiqih Islam Indonesia.[2]
Padahal telah diketahui jelas bahwa sistem kredit dengan perangkat bunga ini
telah lama diharamkan tidak hanya oleh ajaran Islam tetapi juga oleh
agama-agama lainnya.[3]
Di
dunia Internasional para pakar ekonomi telah menyadari secara empiris bahwa
sistem bunga mengandung kemudaratan. Hal ini dikarenakan pemungutan keuntungan
dengan tanpa memikul risiko berakibat si peminjam tidak memperoleh keuntungan
yang seimbang dengan tingkat bunga yang harus dibayar, sehingga terjadi
berbagai krisis ekonomi, terutama terhadap negara-negara miskin di dunia
ketiga.[4]
Terkait
dengan adanya larangan riba dalam usaha perbankan pada khususnya menimbulkan
ide untuk membangun suatu usaha perbankan yang menjalankan usahanya berdasarkan
syariat Islam dibentuklah bank syariah. Baik bank syariah yang berasal dari
bank konvensional maupun bank syariah yang berdiri sendiri dan menganut sistem
syariah murni. Sehingga dapat memberikan pilihan bagi para nasabah yang tidak
setuju dengan sistem riba untuk tetap bisa menyimpan uangnya. Hal ini tentu
memberikan kenyamanan yang lebih bagi sebagian besar masyarakat.
Dalam
menjalankan perbankan syariah ini tidaklah semudah seperti apa yang dipikirkan
dan dibicarakan dalam teori yang diketahui. Tidak semua orang memiliki
kesadaran untuk menjalankan prinsip syariah tersebut. Tidak jarang ditemui
penyimpangan baik secara administratif maupun teknis. Bahkan tidak jarang label
syariah ini dijadikan tameng untuk melakukan kegiatan yang tidak syariah.
Tujuannya untuk menyamarkan kegiatan itu mengurangi kecurigaan yang ditujukan kepada
perbankan maupun oknum yang ada di dalamnya. Untuk menghindari dan
meminimalisir hal ini maka perlu dibentuk suatu lembaga atau setidaknya tim
yang bertugas melakukan pengawasan terhadap setisp kegiatan yang dilakukan oleh
perbankan syariah ini.
Sehingga
dibentuklah Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang pembentukannya diserahkan kepada
Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN sendiri adalah merupakan lembaga yang
dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan
tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji,
menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syariah) dalam
bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah.
PEMBAHASAN
Pengertian dan Latar Belakang Dewan
Pengawas Syariah
Dewan
Pengawas Syariah adalah suatu fungsi dalam organisasi bank syariah yang secara internal merupakan badan pengawas
syariah,dan secara eksternal dapat
menjaga serta meningkatkan kepercayaan masyarakat,dan penempatannya atas persetujuan Dewan Syariah Nasional.[5]
Industri perbankan syariah sejatinya dijalankan berdasarkan prinsip dan sistem syariah.
Karena itu, kesesuaian operasi dan praktek
bank syariah dengan syariah merupakan piranti mendasar dalam perbankan syari’ah. Untuk tujuan itulah semua
perbankan yang beroperasi dengan sistem
syariah wajib memiliki institusi internal yang independen, yang secara khusus bertugas memastikan bank tersebut berjalan
sesuai syariah Islam, sebagaimana
yang diamanatkan dalam UU Perbankan No 21/2008 yang menyebutkan bahwa bank syariah mesti memiliki Dewan
Pengawas Syari’ah.[6]
Peranan
Dewan Pengawas Syariah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Untuk melakukan
pengawasan tersebut, anggota
Dewan Pengawas Syariah harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi
keuangan Islam modern.[7] Kesalahan besar perbankan syariah saat ini adalah
mengangkat Dewan Pengawas Syariah
karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syariah.
Masih banyak anggota Dewan
Pengawas Syariah yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam, seperti
akuntansi, akibatnya pengawasan
dan peran - peran strategis lainnya sangat tidak optimal. Dewan Pengawas Syariah juga harus memahami ilmu yang terkait
dengan perbankan syariah
seperti ilmu ekonomi moneter, misalnya dampak bunga terhadap investasi, produksi, unemployment. Dampak bunga terhadap inflasi
dan volatilitas currency,
Dengan memahami ini, tidak ada lagi ulama yang menyamakan margin jual beli murabahah dengan bunga. Karena masih
banyak ulama yang tidak bisa
membedakan margin murabahah dengan bunga.[8]
Karena
pengangkatan Dewan Pengawas Syariah bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi
pengawasan Dewan Pengawas Syariah
tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi. Harus diakui, bahwa
perbankan syariah sangat rentan
terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’iy. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja
pada setiap cabang bank syariah,
yang masih dominan didasarkan atas kinerja keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi yang oportunis untuk
melanggar ketentuan syari’ah.
Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syariah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak
heran, jika masih banyak ditemukannya
pelanggaran aspek syariah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi
ke syariah atau membuka Unit Usaha
Syariah.[9]
Sering kali
kasus-kasus yang menyimpang dari syariah Islam di Bank syariah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia dari pada
oleh Dewan Pengawas Syariah,
sehingga Dewan Pengawas Syariah baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah setelah mendapat informasi dari
Bank Indonesia. Demikianlah
lemahnya pengawasan Dewan Pengawas Syariah di bank-bank syari’ah. Bank syariah harus menyadari bila mereka
sering mengabaikan kepatuhan
prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang
bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah.[10]
Bank
Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syariah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syariah
dalam praktek operasionalnya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang
dilaporkan Bank Indonesia, masih
ditemui berbagai sistem operasional Bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai - nilai syariah” .
Hal itu diungkapkannya dalam
seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca – Fatwa MUI, di Jakarta, 10 Pebruari 2004[11]
Melihat
fenomena tidak syariahnya Bank syariah tersebut , sampai – sampai mantan Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo), Wahyu Dwi Agung
mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait.[12]
Peringatan
serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang. Deputi Gubernur BI
itu dalam orasinya menuliskan,”
Sejak dini Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan pengawas bank syariah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di bank syariah. Hal
ini penting agar bank syariah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syariah, bankir
syariah harus sepenuhnya konsisten
terhadap penerapan prinsip-prinsip syariah, Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran Dewan Pengawas
Syariah sangat menentukan
dalam mengawasi operasi bank syariah agar tetap memenuhi prinsip-prinsip
syariah. Dewan Pengawas Syariah harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syariah.
Sebagaimana
disebut di atas, Dewan Pengawas Syariah harus menguasai fiqh muamalah terapan bersama perangkatnya (ilmu ushul
fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyri’,
tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Pengujian ini untuk
menjamin bahwa kegiatan sehari–hari
bank syariah di bidang mobilisasi dan alokasi sumber dayanya adalah sejalan dengan syariah.[13] Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan saat ini, karena kekurangan ulama yang
memahami kedua disiplin keilmuan
tersebut sekaligus.
Fenomena itu
tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk
Dewan Pengawas Syariah,
juga mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan ekonomi keuangan modern. Seorang
Dewan Pengawas Syariah Bank
Syariah misalnya, harus mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syariah, struktur dan
terminologi bank dan Lembaga Keuangan
Syariah, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja
pemahaman yang baik tentang
fikih muamalah.
Karena itu
Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board mulai
merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi, keuangan. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa
lebih optimal dan mereka bisa
merumuskan, menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syariah.[14]
Di
Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di
berbagai Perguruan Tinggi.
Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu pertama, fiqih muamalah,
ushul fiqh, qawaid fiqh, tarikh
tasyri’ serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal
ilmu ekonomi keuangan modern,
sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik.[15]
Peran Dewan Pengawas Syariah
Secara
internal dan normatif, dalam rangka menjamin kesyariahan sebuah lembaga keuangan syari’ah, sudah ada ketentuan bahwa
setiap lembaga keuangan syariah
wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan Pengawas Syariah mempunyai tugas yang unik, berat dan sangat
strategis. Keunikan tugas ini dilihat
dari kondisi bahwa anggota Dewan Pengawas Syariah ini harus mampu mengawasi dan tentunya menjamin bahwa lembaga keuangan
syariah sungguh-sungguh
dapat berjalan diatas rel syariah, dan tidak menyimpang sedikitpun.
Keunikan ini
makin kentara jika dibandingkan pada institusi keuangan konvensional dimana tidak terdapat adanya Dewan
Pengawas Syariah, bahkan dalam
lembaga-lembaga lain yang mengklaim dirinya sebagai lembaga Islam semisal rumah sakit Islam, sekolah Islam dan
Universitas Islam belum penulis dengar
adanya kewajiban untuk memiliki institusi dewan pengawas syariah ini. Kalaupun terdapat Dewan Pengawas Syariah itupun
bukanlah tuntutan formil, semisal
Dewan Pengawas Syariah pada Hotel Sofyan Syariah.[16]
Seorang Dewan Pengawas
Syariah seharusnya adalah sarjana (ilmuwan) yang memiliki reputasi tinggi dengan pengalaman luas di bidang
hukum, ekonomi dan system perbankan
dan khusus dalam bidang hukum dan keuangan. Mengacu pada kualifikasi Dewan Pengawas Syariah tersebut di atas,
maka bank-bank syariah di Indonesia
perlu melakukan restrukturisasi, perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik dan mengangkat Dewan Pengawas Syariah dari
kalangan ilmuwan ekonomi
Islam yang berkompeten di bidangnya. Hal ini mutlak perlu dilakukan agar perannya bisa optimal dan menimbulkan citra
positif bagi pengembangan bank syariah
di Indonesia.
Kesalahan
bank-bank syariah di Indonesia mengangkat Dewan Pengawas Syariah, yakni mengangkat orang yang sangat terkenal
di ormas Islam atau terkenal dalam ilmu keislaman (bukan syariah), tetapi tidak
berkompeten dalam bidang
perbankan dan keuangan syariah. Sebagian Dewan Pengawas Syariah tidak mengerti operasional perbankan syariah dan tidak
optimal mengawasi banknya.
Realita ini menguntungkan bagi manajemen perbankan syariah, karena lebih bebas berbuat apa saja, karena pengawasannya
sangat longgar.Tetapi dalam jangka
panjang hal ini justru merugikan gerakan ekonomi syariah, tidak saja bagi bank syariah bersangkutan tetapi juga bagi gerakan
ekonomi dan bank syariah secara
keseluruhan dan kemajuan bank syariah di masa depan. Karena itu, tidak aneh jika banyak masyarakat yang memandang bahwa bank
syariah sama dengan bank
konvensional.
Namun harus
diakui, bahwa sebagian Dewan Pengawas Syariah bank syariah sudah berperan secara optimal, tetapi masih lebih
banyak lagi yang belum optimal.
Inilah yang harus ditangani Bank Indonesia, DSN MUI dan bank-bank syariah sendiri. Oleh karena itu, Undang-Undang yang
memposisikan Dewan Pengawas Syariah
yang demikian strategis, harus diimplementasikan dengan tepat dan cepat, untuk itu setiap Manajemen Bank Syariah
harus melakukan formalisasi
peran dan keterlibatan Dewan Pengawas Syariah dalam memastikan pengelolaan risiko ketidakpatuhan atas peraturan dan
prinsip Syariah. Dewan Pengawas
Syariah wajib diberikan ruang kantor yang di dalamnya terdapat staf yang dapat memberikan pelayanan data-data keuangan,
laporan keuangan, redaksi akad-akad,
proses penerapan akad-akad, dan sebagainya.
Perkembangan
ekonomi syariah menunjukkan peningkatan yang memuaskan. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi syariah diterima dan
mendapat tempat di kalangan
penduduk Indonesia. Ekonomi syariah menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia dalam kegiatan ekonominya.
Perkembangan ekonomi syariah
ditandai dengan meningkatnya lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah. Selain itu pertumbuhan ekonomi syariah
secara akademik ditandai dengan
maraknya pembukaan konsentrasi ekonomi syariah di perguruan tinggi Islam atau umum, juga merebaknya lembaga dan
organisasi yang konsen pada kajian dan
pengembangan ekonomi syariah.[17]
Dalam bidang
keuangan syariah pertumbuhan lembaga keuangan syariah sangat signifikan. Peningkatan ini dapat dilihat dari
beberapa LKS dan LBS berikut :[18]
1. Perbankan syariah adalah lembaga
keuangan syariah yang paling berkembang
pesat. Sampai Agustus 2007, menurut Statistik Bank Indonesia, terdapat 3 buah Bank Umum Syariah dengan
jumlah kantor 325 buah, dan
terdapat 23 Unit Usaha Syariah dengan 165 kantor
2. Peningkatan lembaga asuransi
syariah. Sampai Juli 2007 terdapat 2 perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah, 1 Perusahaan Asuransi Kerugian Syariah, 12 Perusahaan Asuransi Jiwa yang memiliki
kantor cabang syariah, 18
Perusahaan Asuransi Kerugian yang memiliki kantor cabang syariah, 3 Perusahaan Reasuransi yang memiliki kantor
cabang syariah.
3. Pertumbuhan ekonomi syariah juga
terjadi di bursa saham. Perkembangan transaksi
saham syariah di Bursa Efek Jakarta bisa digambarkan bahwa, berdasarkan lampiran Pengumuman BEJ No. Peng – 192
/BEJ-DAG/U/06- 2007 tanggal
29 juni 2007, daftar nama saham tercatat yang masuk dalam perhitungan Jakarta Islamic Index (JII) untuk
periode Juli 2007 s.d Desember
2007 adalah sebanyak 30 perusahaan saham syariah.
4. Juga pertumbuhan di sektor
industri dan bisnis syariah. Sekedar menyebutkan
contoh ada hotel syariah, makanan dan minuman berlabel halal, kolam renang syariah, tukang pijit syariah dan
lain sebagainya.
Pertumbuhan
yang signifikan ini mengandung konsekuensi tersendiri yaitu berupa meningkatnya persaingan bisnis Lembaga Keuangan
Syariah dan LBS. Untuk
menghindari persaingan tidak sehat yang mengakibatkan terabaikannya prinsip–prinsip syariah, perlu ditingkatkan aspek
pengawasan syariah. Perbedaan mendasar
Lembaga Keuangan Syariah dan lembaga keuangan konvensional terletak pada kepatuhannya terhadap aturan syariah.
Dengan begitu, peran pengawasan
syariah menjadi sangat penting karena akan menentukan kesyariahan Lembaga Keuangan Syariah dan LBS. Dalam konteks
Indonesia pengawasan syariah ini
, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
dan Peraturan Bank Indonesia No
: 6/24/pbi/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dilakukan dengan
Dewan Syariah Nasional dan Dewan
Pengawas Syariah.[19]
Dewan
Pengawas Syariah di perbankan syariah memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip syariah di bank
syariah. Dewan Pengawas
Syariah bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah.
Karena pentingnya peran Dewan
Pengawas Syariah tersebut, maka dua Undang-Undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah
tersebut di perusahaan
syariah dan lembaga perbankan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU
No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Dengan demikian, secara yuridis, Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga perbankan menduduki posisi
yang kuat, karena keberadaannya
sangat penting dan strategis.[20]
Menurut UU
No 40 Tahun 2007 Pasal 109 :[21]
1.Perseroan yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan
Pengawas Syariah
2. Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh
RUPS atas rekomendasi Majelis
Ulama Indonesia.
3. Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta
mengawasi kegiatan Perseroan
agar sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan
Undang-Undang tersebut, setiap perusahaan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas wajib mempunyai Dewan
Pengawas Syariah.[22] Sejalan dengan itu, Undang-Undang No 21 Tahun 2008
Pasal 32 menyebutkan[23]
1. Dewan Pengawas Syariah wajib
dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional
yang memiliki Unit Usaha Syariah.
2. Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis
Ulama Indonesia.
3. Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta
mengawasi kegiatan Bank agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Berdasarkan
kedua Undang-Undang tersebut kedudukan Dewan Pengawas Syariah sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan
pengembangan bank syariah dan
perusahaan syariah. Menurut hasil penelitian Bank Indonesia (2008) kerjasama dengan Ernst dan Young yang dibahas
dalam seminar akhir tahun 2008
di Bank Indonesia, salah satu masalah utama dalam implementasi manajemen resiko di perbankan syariah adalah peran
Dewan Pengawas Syariah yang
belum optimal. Peran Dewan Pengawas Syariah yang belum optimal tersebut disimpulkan para peneliti sebagai
kesenjangan utama manajemen
risiko yang harus diperbaiki di masa depan. Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran Dewan Pengawas Syariah
adalah risiko reputasi yang
selanjutnya berdampak pada displaced
commercial risk, seperti resiko likuiditas
dan resiko lainnya. Jika peran Dewan Pengawas Syariah tidak optimal dalam melakukan pegawasan syariah terhadap
praktik syariah sehingga
berakibat pada pelanggaran syariah complience, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat menjadi
negatif, sehingga dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Hal inilah yang dikatakan oleh Shanin A.Shayan CEO and
Board Member of Barakat
Foundation.[24] “The biggest
risk facing the global Financial Sistem is not a fall in its earning power but most importantly a loss of
faith and credibility on how it works”
Jadi, risiko terbesar menghadapi sistem keuangan global
bukanlah kesalahan
tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas
tentang bagaimana operasional kerjanya. Di
sinilah, peran Dewan Pengawas Syariah perlu dioptimalkan, agar bisa dipastikan segala produk dan sistem operasinal
bank syariah benar – benar sesuai syariah. The role of syariah Board : to ensure that every transaction complies
with Islamic Law. Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan hukum Islam, anggota Dewan Pengawas Syariah
harus memahami ilmu ekonomi
dan perbankan dan berpengalaman luas di bidang hokum Islam.[25]
Dengan
demikian kualifikasi menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah mestilah memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta
perbankan. Namun, sangat
disayangkan, masih banyak Dewan Pengawas Syariah yang belum memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan. Selain
mereka tidak memahami
ilmu tersebut, mereka juga masih banyak yang tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di
perbankan syariah. Padahal menurut
ketentuannya, Dewan Pengawas Syariah bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau dan komentar pada semua kontrak
dan transaksi (The Shariah Supervisory
Board works independently and is free to review and comment on all contracts and transactions).[26]
Menurut Dubai Islamic Banking, tugas penting anggota
Dewan Pengawas Syariah
ialah sebagaimana dipaparkan di bawah ini :[27]
1. Dewan Pengawas Syariah adalah
seorang ahli (pakar) yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah termasuk sumber rujukan fatwa.
2. Dewan Pengawas Syariah mengawasi
pengembangan semua produk untuk
memastikan tidak adanya fitur yang melanggar syariah.
3. Dewan Pengawas Syariah
menganalisa segala situasi yang belum pernah
terjadi sebelumnya yang tidak didasari fatwa ditransaksi perbankan untuk memastikan kepatuhan dan kesesuaiannya
kepada syariah.
4. Dewan Pengawas Syariah
menganalisis kontrak dan perjanjian mengenai transaksi - transaksi di bank syariah untuk memastikan
kepatuhan kepada syariah.
5. Dewan Pengawas Syariah memastikan
koreksi pelanggaran dengan segera (jika
ada) untuk mematuhi Syariah. Jika ada pelanggaran, anggota Dewan Pengawas Syariah harus mengkoreksi
penyimpangan itu dengan
segera agar disesuaikan dengan prinsip syariah.
6. Dewan Pengawas Syariah memberikan
supervise untuk program pelatihan
syariah bagi staf Bank Islam.
7. Dewan Pengawas Syariah menyusun
sebuah laporan tahunan tentang neraca bank
syariah tentang kepatuhannya kepada syariah. Dengan pernyataan ini seorang Dewan Pengawas Syariah
memastikan kesyariahan laporan
keuangan perbankan syariah.
8. Dewan Pengawas Syariah melakukan
supervisi dalam pengembangan dan penciptaan
investasi yang sesuai syariah dan produk pembiayaan yang inovatif
Untuk menjalankan
tugas-tugas tersebut, maka seorang Dewan Pengawas Syariah mesti memenuhi kualifikasi tertentu.
Artinya, untuk menjadi
Dewan Pengawas Syariah tidak sembarang orang, sebagaimana terjadi selama ini. Dewan Pengawas Syariah tidak cukup hanya
mengerti ilmu keuangan dan
perbankan sebagaimana juga tidak bisa hanya ulama dan cendikiawan muslim yang tak mengerti operasional
perbankan dan ilmu ekonomi
keuangan. Dengan demikian, seorang Dewan Pengawas Syariah haruslah scholars of
high repute with extensive experience in law, economics and banking systems and specializing in law and
finance as prescribed by Islamic
Shariah make up the DIB’s Fatwa &
Shariah Supervision Board.[28]
Tugas Dewan
Pengawas Syariah pastilah sangat berat, karena memang tidak mudah menjadi lembaga yang harus mengawasi dan
bersifat menjamin operasi
sebuah entitas bisnis dalam konsteks yang amat luas dan komplek yang secara umum memasuki ranah-ranah khilafiyah .
Karena menyangkut urusan-urusan muamalah dimana ruang interpretasinya sangatlah
luas. Kesyariahan
sebuah lembaga keuangan syariah, dalam batas – batas tertentu dapat dikatakan terletak di atas pundak
mereka. Begitu Dewan Pengawas
Syariah menyatakan lembaga yang diawasinya sudah berjalan berdasarkan syariah, maka setiap penyimpangan yang
terjadi terhadap kepatuhan
syariah menjadi tanggung jawab mereka, tidak saja di dunia, namun juga di akhirat kelak. Begitu pula sebaliknya,
manakala Dewan Pengawas Syariah menyatakan
bahwa terdapat penyimpangan terhadap kepatuhan syariah lembaga yang mereka awasi, padahal tidak, maka tingkat
kepercayaan masyarakat
pada lembaga keuangan syariah tersebut dapatlah hancur. Peran strategis yang diemban Dewan Pengawas Syariah antara
lain selain telah diurai di atas, adalah sebagai garda terdepan dalam menjaga
kesyari’ahan sebuah lembaga
keuangan/ekonomi/ publik yang berlabel syariah. Dengan demikian perlu diperhatikan kinerja dan peran Dewan Pengawas
Syariah ini dalam melakukan
pengawasan di Lembaga Keuangan Syariah. Hal ini agar prinsip syariah yang melekat dan menjadi tongggak pendirian
Lembaga Keuangan Syariah
dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk mencapai hal ini perlu pembenahan dan kesadaran yang tinggi dari masyarakat,
pemerintah dan orang-orang yang
berhubungan langsung dengan kegiatan tersebut. Mulai dari cara kerja, aturan sampai kepatuhan terhadap peraturan yang
telah dibuat. Dengan demikian,
tidak disangsikan lagi kegiatan yang berlandaskan prinsip syariah ini akan berjalan lancar dan mengalami kemajuan pesat.[29]
1. Menumbuhkembangkan penerapan
nilai–nilai syariah dalam kegiatan perekonomian
;
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis–jenis
kegiatan keuangan;
3. Mengeluarkan fatwa atu produk
keuangan syariah;
4. Mengawasi penerapan fatwa yang
telah dikeluarkan.
Adapun fungsi dari Dewan Syariah Nasional adalah :
1. Mengawasi produk–produk lembaga
keuangan syariah agar sesuai dengan syariah;
2. Meneliti dan memberi fatwa bagi
produk–produk yang dikembangkan lembaga
keuangan syariah;
3. Memberikan rekomendasi para ulama
yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas
Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah;
4. Memberi teguran kepada lembaga
keuangan syariah jika terjadi penyimpangan dari garis panduan yang telah ditetapkan.
Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah
Sejalan
dengan perkembangan lembaga–lembaga keuangan syariah, ulama semakin tertuntut untuk turut serta dalam memberikan
masukan untuk turut serta dalam
memberikan masukan untuk kemajuan lambaga tersebut. Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) membentuk Dewan
Syariah Nasional (DSN) yang dianggap sebagai langkah efisien untuk mengkoordinasi ulama dalam menanggapi isu–isu yang
berhubungan dengan masalah
ekonomi atau keuangan. Di samping itu, Dewan Syariah Nasional diharapkan berfungsi sebagai pendorong penerapan
ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
Oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional berperan serta secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia dalam
bidang ekonomi dan keuangan.[31]
Sebelum
membahas keanggotaan Dewan Pengawas Syariah, ada baiknya dibahas terlebih dahulu mengenai keanggotaan DSN
sebagai lembaga yang membentuk
Dewan Pengawas Syariah. Secara umum, susunan pengurus DSN dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengurus yang
bersifat umum dan Badan Pelaksana
Harian. Pengurus DSN yang bersifat umum terdiri atas : ketua, dua orang wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan
anggota. Pengurus umum Dewan
Syariah Nasional periode 2000 – 2005 terdiri atas 26 orang yang terdiri atas 26 orang yang terdiri ats 1 orang ketua, 2 orang
wakil ketua, 1 orang sekretaris,
1 orang wakil sekretaris, dan 21 orang anggota. Badan Pelaksana Harian DSN terdiri atas: ketua, wakil ketua,
sekretaris, wakil sekretaris, bendahara,
dan anggota. Badan Pelaksana Harian periode 2000–2005 terdiri atas 13 orang yang terdiri atas : 1 orang ketua, 1 orang
wakil ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang
wakil sekretaris, 1 orang bendahara, dan 8 orang anggota. Perbedaan antara susunan Pengurus Umum dengan Badan Pelaksana
Harian hanya ada satu wakil ketua;
dan dalam Pengurus tidak ada bendahara, sedangkan dalam Badan Pelaksana Harian terdapat bendahara.[32]
Ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa Dewan Syariah Nasional terdiri dari Pengurus Pleno (56 orang) dan Badan Pelaksana
Harian (17 orang). Ketua DSN–MUI
dijabat ex Officio Ketua Umum MUI dan sekretaris DSN–MUI dijabat Ex Officio Sekretaris Umum MUI. Adapun
keanggotaan Dewan Syariah Nasional
diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas Islam, Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan praktisi
perekonomian syariah yang memenuhi
kriteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional yang mana keanggotaan baru Dewan Syariah
Nasional ditetapkan oleh Rapat Pleno
DSN–MUI. Rapat Dewan Syariah Nasional MUI terdiri dari Rapat Pleno dan Rapat BPH. Anggota Dewan Syariah Nasional
terdiri atas tiga unsure yaitu ulama,
pakar (ekonomi syariah), dan praktisi perbankan syariah. Keanggotaan ulama, pakar, dan praktisi perbankan
syariah dalam DSN, ditunjuk dan diangkat
oleh MUI dengan masa bakti yang sama dengan periode masa bakti pengrusan UI Pusat (5 tahun).[33]
Mekanisme
kerja DSN berkaitan dengan DPS adalah :[34]
1. Dewan Pengawas Syariah melakukan
pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan
syariah yang berada di bawah pengawasan nya;
2. Dewan Pengawas Syariah
berkewajiban mengajukan usul–usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga
keuangan syariah kepada pimpinan
lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional;
3. Dewan Pengawas Syariah melaporkan
perkembangan produk dan operasional lembaga
keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang – kurangnya dua kali dalam satu tahun
anggaran; dan
4. Dewan Pengawas Syariah merumuskan
permasalahan–permasalahan yang memerlukan
pembahasan Dewan Syariah Nasional.
Struktur Dewan Pengawas Syariah.[35]
1. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah
dalam struktur perusahaan berada setingkat
dengan fungsi komisaris sebagai pengawas direksi.
2. Jika fungsi komisaris adalah
pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen,
maka Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan kepada manajemen dalam kaitan dengan implementasi sistem dan
produk-produk agar tetap sesuai
dengan syariah Islam.
3. Bertanggung jawab atas pembinaan
akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem
pembinaan ke-Islaman yang telah diprogramkan setiap tahunnya.
4. Ikut mengawasi pelanggaran
nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan tersebut..
5. Bertanggung jawab atas seleksi
syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro Syariah
Prosedur
Penetapan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syariah ( LKS-LBS) adalah
sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan syariah
mengajukan permohonan penempatan Dewan Pengawas
Syariah kepada Dewan Syariah Nasional melalui sekretariat Dewan Syariah Nasional. Permohonan tersebut dapat disertai
nama calon Dewan Pengawas
Syariah atau meminta calon kepada Dewan Syariah Nasional.
2. Permohonan tersebut dibahas dalam
rapat BPH DSN- MUI
3. Apabila diperlukan diadakan
silaturahim antara BPH DSN-MUI dengan calon Dewan Pengawas Syariah untuk mengenal lebih jauh
kepribadian dan kepantasannya
4. Hasil
rapat BPH DSN-MUI dilaporkan kepada pimpinan DSN–MUI
5. Pimpinan
DSN-MUI menetapkan nama–nama yang diangkat sebagai Dewan Pengawas Syariah.
Dalam
Keputusan DSN–MUI No : 03 Tahun 2000 disebutkan tentang keanggotaan Dewan Pengawas Syariah yaitu:[36]
1.Setiap lembaga keuangan syariah
harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota Dewan Pengawas Syariah.
2. Salah satu dari jumlah tersebut
ditetapkan sebagai ketua
3. Masa tugas anggota Dewan Pengawas
Syariah adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami pergantian antar waktu apabila meninggal
dunia, minta berhenti, diusulkan
oleh lambaga keuangan syariah yang bersangkutan, atau telah merusak citra DSN. Selanjutnya disebutkan bahwa syarat menjadi Anggota
Dewan Pengawas Syariah adalah :[37]
1. Memiliki akhlaq karimah
2. Memiliki kompetensi kepakaran
dalam bidang syariah muamalah dan pengetahuan
di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum.
3. Memiliki komitmen untuk
mengembangkan keuangan berdasarkan syariah.
4. Memiliki kelayakan sebagai
pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari Dewan Syariah Nasional.
Dewan
Pengawas Syariah dilarang mempunyai jabatan rangkap dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Dapat menjadi anggota Dewan
Pengawas Syariah di satu perbankan syari'ah dan
satu lembaga keuangan syari'ah lainnya.
2. Mengingat keterbatasan jumlah
tenaga yang dapat menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah, seseorang dapat diangkat sebagai
anggota Dewan Pengawas
Syariah sebanyak-banyaknya pada dua perbankan syari'ah dan dua lembaga keuangan syari'ah lainnya.
3. Dalam hal perangkapan dimaksud
terjadi sebelum adanya ketentuan ini, yang
bersangkutan dapat menyesuaikan atau menunggu berakhirnya masa tugas .
Penulis
mencoba melakukan penilaian berdasarkan 6 (enam) dimensi yang diperkenalkan DR. M Akhyar Adnan, MBA, Ak. Dalam
seminar nasional Dewan.[38]
1.Mempunyai kompetensi atau
kemampuan dalam bentuk keahlian yang dihasilkan
lewat pendidikkan formal sesuai profesi tersebut. (Setidaknya dalam ilmu fiqh muamalat, operasional bank, pengawasan
(akuntansi/auditing), menguasai
administrasi umum). Dari kreteria pertama ini dapat kita analisis bahwa anggota Dewan Pengawas Syariah secara umum
mempunyai latar belakang
syari’ah khususnya dan keagamaan pada umumnya. Belum dapat dapat diketahui secara jelas sejauh mana seorang
anggota Dewan Pengawas Syariah yang
semata-mata memiliki latar belakang pengetahuan agama, sudah dipersiapkan, atau mempersiapkan diri dengan
pengetahuan pendukung lainnya, seperti
manajemen, operasi perbankan dan auditing. Yang ideal tentunya, memang harus ada sekolah (STEI SEBI sebagai lembaga
yang khusus pada pengembangan
ekonomi syariah diharapkan dapat memainkan peranan ini) atau pendidikkan khusus yang dapat memberikan otoritas
keilmuan dan ketrampilan, atau
sedikitnya semacam sertifikasi, semisal halnya dalam profesi akuntan publik.
2 Adanya tuntutan bahwa seorang
professional berkerja penuh waktu (full time). Tidak bisa disebut seorang professional, bila yang
bersangkutan bekerja sambilan
atau paruh waktu.Cukup banyak contoh yang dapat terlihat kasat mata bahwasanya sebagian besar (atau mungkin seluruhnya)
anggota Dewan Pengawas
Syariah yang sekarang ada hanya bekerja paruh waktu. Karena mereka yang sebagian besar saat ini menjadi anggota
Dewan Pengawas Syariah adalah
mereka sudah bekerja secara permanen di tempat lain, dalam posisi kunci yang juga super sibuk, entah sebagai dosen,
tenaga ahli, konsultan, da’i yang selalu
berkeliling memberi ceramah, dsb. Dengan
kondisi seperti ini, bagaimana
mungkin mereka dapat menekuni pekerjaan pengawasan dengan optimal kalau selain tidak
mempunyai bekal ketrampilan cukup, pekerjaan pengawasan tersebut dikerjakan secara paruh waktu,
atau dalam waktu yang tidak
menentu.
3. Mempunyai
dan menjadi anggota asosiasi profesi. Sebagai
profesional sudah selayaknya ada asosiasi profesi yang menaungi profesi tersebut, semisal akuntan menjadi anggota
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
insinyur harus menjadi anggota PII, dsb. Sejauh penulis amati belum ada sama sekali wacana untuk membentuk adanya profesi baru
yang semata-mata dapat
mengingat anggotanya dalam batasan profesi kepengawasan Lembaga Keuangan Syariah. Dengan adanya asosiasi profesi Dewan
Pengawas Syariah, maka
asosiasi ini dapat menjadi wadah guna meningkatkan kompentensi dan membuat kode etik profesi sehingga kepercayaan
masyarakat pada Dewan Pengawas Syariah
dapat terjaga.
4) Mempunyai komitmen untuk
meningkatkan ilmu dan ketrampilan, baik melalui media asosiasi profesi (bila nantinya ada) ataupun
melalui media lain. Hal ini
dapat dilakukan melalui jasa yang umumnya diberikan oleh ikatan profesi. Oleh karena itu adanya ikatan profesi
pengawas syari’ah menurut
penulis mutlak ada khususnya di Indonesia dimana
pendidikan khusus profesi Ini belum
berkembang dengan baik.
5) Memiliki, memahami dan
mempraktikkan etik profesi (akhaqul karimah) Ini merupakan hal yang sangat penting, karena seorang
profesional harus selalu dapat
menjunjung tinggi etika dan integritas, khususnya yang memang sudah diatur oleh asosiasi profesinya sendiri. Melalui etika
yang terjaga inilah citra profesionalitasnya
akan terjaga dengan baik, sehingga yang bersangkutan mempunyai martabat terhormat dimata siapapun.
6) Menerima kompensasi yang memadai Sebagai konsekuensi memiliki kelima dimensi
profesional diatas, dimana profesi
Dewan Pengawas Syariah memerlukan tidak hanya kemauan keras dan ketersediaan waktu, tetapi juga dukungan finansial
yang signifikan. Wajar jika mendapat
kompensasi yang sepadan. Secara umum dari keenam aspek indikator profesionalitas ini, mungkin poin ke enam
ini yang telah terpenuhi, yaitu adanya
kompensasi yang memadai.
Hak Dan Kewajiban Dewan Pengawas
Syariah
Hak Dewan
Pengawas Syariah antara lain:
1. Honorium/uang transport yang
pantas
2. Ruang kerja/ruang rapat yang
memadai
3. Mengetahui secara mendalam
ketentuan syariah yang di jalankan di Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan
4. Mengetahui dan mengkritisi
rencana operasional (bisnis plan)
Lembaga Keuangan
Syariah yang bersangkutan
Kewajiban Dewan Pengawas Syariah:[39]
1. Menghadiri rapat–rapat rutin
Dewan Pengawas Syariah
2. Memberikan bimbingan dan pertimbangan
syariah kepada Lembaga Keuangan Syariah yang
bersangkutan
3. Memberikan nasihat dan koreksi
kepada Lembaga Keuangan Syariah bila ditemukan
penyimpangan yang tidak sesuai syariah.
4. Memberikan opini syariah kepada
Lembaga Keuangan Syariah yang bersangkutan.
5. Melaporkan hasil kerjanya secara
berkala kepada DSN – MUI.
6. Mengikuti fatwa–fatwa DSN.
Kewajiban
bukan hanya berasal dari Dewan Pengawas Syariah saja, sebaliknya Lembaga Keuangan Syariah dalam hal ini
perbankan syariah juga mempunyai kewajiban
terhadap Dewan Pengawas Syariah yaitu:[40]
1. Menyediakan ruang kerja dan
fasilitas lain yang diperlukan.
2. Membantu kelancaran tugas Dewan
Pengawas Syariah.
Rapat–rapat Dewan Pengawas Syariah
antara lain
1. Rapat Dewan Pengawas Syariah
diselenggarakan di kantor Lembaga Keuangan
Syariah pada waktu/jadwal yang telah disepakati bersama (dua bulanan, satu bulanan, setengah bulanan, mingguan,
atau sewaktu–waktu diperlukan
).
2. Rapat–rapat Dewan Pengawas
Syariah diikuti oleh seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah beserta pimpinan atau staf Lembaga
Keuangan Syariah yang
ditunjuk.
3. Rapat–rapat Dewan Pengawas
Syariah membahas masalah yang berkaitan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional, rencana kerja
baru, opini syariah, rencana
usulan fatwa.
Opini syariah adalah pendapat kolektif dari Dewan
Pengawas Syariah yang telah dibahas
secara cermat dan mendalam mengenai kedudukan/ketentuan syari yang
berkaitan dengan produk atau aktifitan Lembaga
Keuangan Syariah. Opini syariah
dapat dijadikan pedoman sementara sebelum adanya fatwa
Dewan Syariah Nasional
mengenai masalah tersebut. Opini ini bersifat sementara yang dapat dibenarkan dan
dijadikan landasan pelaksanaan produk lembaga keuangan, sampai keluarnya fatwa dari adanya Dewan Syariah Nasional.
Sedangkan pengusulan fatwa baru
dapat dilakukan Dewan Pengawas Syariah, baik sendiri maupun bersama–sama dengan pimpinan Lembaga Keuangan Syariah,
dapat mengajukan usulan
kepada Dewan Syariah Nasional untuk mengekuarkan fatwa yang berkaitan dengan produk atau kegiatan Lembaga Keuangan
Syariah melalui BPH DSN. Usulan
tersebut untuk selanjutnya diformulasikan secara baik untuk dibahas dalam rapat pleno DSN–MUI.
PENUTUP
Perbankan syariah adalah suatu alternatif pelaksanaan
syariat Islam yang menguntungkan. Dan di dalamnya terdapat aturan berdasarkan syariat
Islam, dalam hal
ini berlaku UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Di dalamnya terdapat Badan Pengawas yang diberi nama
Dewan Penawas Syariah (DPS).Dewan
Pengawas Syariah adalah suatu fungsi dalam organisasi bank syariah yang secara internal merupakan badan pengawas
syariah,dan secara eksternal
dapat menjaga serta meningkatkan kepercayaan masyarakat,dan penempatannya atas persetujuan dewan syariah nasional.
1. Dalam UU No.21 Tahun 2008 tepatnya dalam pasal 12 ayat
1 jelas dikatakan bahwa Dewan Pengawas Syariah wajib dbentuk di Bank
Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS. Hal ini tentunya memiliki alasan yang kuat, dimana keberadaan Dewan Pengawas Syariah
itu benar–benar dibutuhkan.
Tugas utama dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) sendiri adalah memastikan pemenuhan atas kepatuhan pada prinsip
syari’ah di perbankan syariah agar
terlaksana dengan baik. Dengan demikian diharapkan tujuan utama dibentuknya perbankan syariah dapat tercapai. Keanggotaan
Dewan Pengawas Syariah,
Syarat Anggota Dewan Pengawas Syariah, Tugas dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah, Prosedur Penetapan
Anggota Dewan Pengawas Syariah,
Kewajiban Lembaga Keuangan Syari’ah terhadap Dewan Pengawas Syariah, Kewajiban Anggota Dewan Pengawas Syariah dan
Perangkapan Keanggotaan
Dewan Pengawas Syariah jelas diatur dalam Keputusan DSN- MUI No. 03 tahun 2005 tentang petunjuk pelaksanaan
penetapan anggota Dewan
Pengawas Syariah pada lembaga keuangan syariah. Dan di dalamnya juga dinyatakan bahwa keberadaan Dewan Pengawas
Syariah mutlak diperlukan.
Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan perbankan syariah adalah sangat menyenangkan sekaligus menyedihkan. Maksudnya
keberadaan perbankan
syariah yang telah dinantikan dan hadir dengan UU tersendiri adalah merupakan hal yang sangat membanggakan
sekaligus memenuhi kebutuhan
sebagian kalangan yang ingin menabung dengan tetap menjaga syariat Islam, sedangkan optimalisasi pelaksanaan
prinsip syariah tersebut baik dari pihak–pihak
yang berkaitan langsung dengan perbankan syariah tersebut maupun masyarakat relatif sangat jauh
dari harapan. Sehingga dengan keberadaan
Dewan Pengawas Syariah ini diharapkan akan tercipta kondisi yang benar–benar murni syariah. Dan merupakan langkah
awal serta tonggak membangun
perbankan syariah yang dikatakan sehat.
2. Dewan Pengawas Syariah sendiri
adalah lembaga bentukan atau perwakilan dari Dewan Syariah Nasional atas perintah dari MUI. Di
setiap lembaga keuangan
syaiah harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota Dewan
Pengawas Syariah. Salah satu dari jumlah tersebut
ditetapkan sebagai ketua. Masa tugas
anggota Dewan Pengawas Syariah adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami
pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh lembaga keuangan syariah yang
bersangkutan atau telah merusak
citra DSN. Adapun
prosedur penentuan keanggotaan Dewan Pengawas Syariah ini jelas diatur dalam Keputusan DSN–MUI No. 03 Tahun 2005
yaitu :Lembaga keuangan
syari'ah mengajukan permohonan penempatan anggota Dewan Pengawas Syariah kepada DSN. Permohonan tersebut dapat
disertai usulan nama calon
Dewan Pengawas Syariah, permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH-DSN, Hasil rapat BPH-DSN kemudian dilaporkan
kepada pimpinan DSN,
Pimpinan DSN menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah. Sedangkan yang menjadi syarat
menjadi anggota Dewan
Pengawas Syariah antara lain: Memiliki akhlaq karimah, Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syari’ah mu’amalah dan
pengetahuan di bidang
perbankan dan/atau keuangan secara umum., Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syari’ah., Memiliki
kelayakan sebagai pengawas
syari’ah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari DSN. Dewan Pengawas
Syariah juga dilarang memiliki jabatan rangkap dan harus memenuhi ketentuan yaitu : Pada prinsipnya, seseorang hanya
dapat menjadi anggota Dewan
Pengawas Syariah di satu perbankan syari'ah dan satu lembaga keuangan syari'ah lainnya, mengingat keterbatasan
jumlah tenaga yang dapat menjadi
anggota Dewan Pengawas Syariah, seseorang dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah sebanyak-banyaknya pada
dua perbankan syari'ah dan
dua lembaga keuangan syari'ah lainnya, dalam hal perangkapan dimaksud terjadi sebelum adanya ketentuan ini, yang
bersangkutan dapat menyesuaikan
atau menunggu berakhirnya masa tugas.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M.
Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke
Praktik. Jakarta : Gema Insani Press,2001.
Dewi, Gemala. Aspek – Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia. Jakarta : Kencana, 2007.
http://agustianto.niriah.com/2008/04/25/optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-2/, diakses
tanggal 21 Januari 2017.
http://agustianto.niriah.com/2008/12/21/dps-dan-manajemen-risiko-bank-syariah/,
diakses tanggal 21 Januari 2017.
http://pa-kendal.ptsemarang.net,
diakses tanggal 21 Januari 2017.
Ilmi, Makhalul SM. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah. Yogyakarta :
UII Press, 2002.
Mubarok, Jaih . Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia. Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Muhammad
Akhyar Adnan, DPS Bank Syaria’ah Kekuatan
Atau Kelemahan?, Makalah Seminar Nasional “Menuju Profesionalisme DPS
Dalam Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelenggara ECSID dan BANK
INDONESIA, Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII.
Muhammad
Akhyar Adnan, Menuju DPS Perbankan Yang
Profesional, Makalah Seminar Nasional “ Menuju Profesionalisme DPS Dalam
Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelengara ECSID dan BANK INDONESIA,
Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII.
Saeed,
Abdullah..Menyoal Bank Syariah.Jakarta
: Paramadina, 2004.
Sudarsono, Heri.
Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta : Ekonisia, 2005.
Supriyatno, Eko. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005..
UU No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Wibowo, Edy dan Widodo,
Untung Hendy. Mengapa Memilih Bank Syariah?.Bogor :
Ghalia Indonesia, 2005.
[1] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Dalam Perbankan Dan
Perasuransian Syariah di Indonesia (
Jakarta: Kencana, 2007) , hal. 51.
[5] Syafi”I
Antonio, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani Pres, 2001). hal. 43.
[6] http://agustianto.niriah.com/2008/04/25/optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-1/,
diakses tanggal 21 Januari 2017
[10] Eko
Suprayino, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Kovensional,
(Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005), hal. 9.
[20] http://agustianto.niriah.com/2008/12/21/dps-dan-manajemen-risiko-bank-syariah/, diakses tanggal 21 Januari 2017.
[24] Edy Wibowo
dan Untung Hendy, Mengapa Memilih Bank
Syariah?, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2005), hal. 33.
[29] Muhammad Akhyar Adnan, DPS Bank Syaria’ah Kekuatan Atau Kelemahan?, Makalah Seminar Nasional “Menuju Profesionalisme DPS Dalam Upaya Menjaga
Gerakan Ekonomi Islami”, penyelenggara ECSID dan BANK INDONESIA, Yogyakarta, 7
Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII
[30] A. Wirman Syafei, Optimalisasi Pengawasan Dewan Syariah
Nasional, Media Indonesia, Rabu, 11 Desember 2002. Dikutip dari Gemala
Dewi. hal.103.
[31] Jaih Mubarok, Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy ,2004), hal.11.
[35] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta : Ekonisia, cetakan ketiga, 2005),
hal.27.
[36] Makhalul
Ilmi SM. Teori dan Praktek Lembaga Mikro
Keuangan Syariah. (Yogyakarta : UII Press, 2002), hal. 50.
[38] Muhammad
Akhyar Adnan, Menuju DPS Perbankan yang
Profesional, Makalah Seminar Nasional “Menuju Profesionalisme DPS Dalam
Upaya Menjaga Gerakan Ekonomi Islami”, penyelenggara ECSID dan BANK INDONESIA,
Yogyakarta, 7 Mei 2005 Fakultas Ekonomi UII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar