PENERAPAN
AKAD MUSYARAKAH PADA BANK SYARIAH
Oleh
:
WAHYUDDIN
Jurusan
Syariah Prodi Ekonomi Islam Stain Watampone
Abstrak
Akad musyarakah
merupakan akad kerja sama di antara pemilik modal yang mencampurkan modal
mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Agar tidak terjadi perselisihan di
kemudian hari maka kontrak perjanjian atau akad sebaiknya buat secara tertulis
dan yang lebih baiknya ada para saksi yang hadir dan Dalam musyarakah sama-sama
menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu baik yang sudah berjalan
maupun yang masih baru akan di jalankan. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan
modal tersebut dengan bagi hasil yang telah di sepakati bersama pada waktu akad
baik secara bertahap ataupun tunai. Setiap pemilik modal berhak turut serta
dalam menentukan kebijakan usaha yang di jalankan oleh pelaksanaan proyek dan
pemilik modal tidak boleh melakukan tindakan-tindakan seperti mengabungkan dana
proyeknya dengan harta pribadinya, menjalankan proyek musyarakah dengan pihalk
lain tanpa izin pemilik modal lainnya, setiap pemilik modal dapat dapat
mengalihkan penyertaannya oleh pihak lain, setiap pemilik modal di anggap mengakhiri
kerja sama apabila menarik diri dari perserikatan, meninggal dunia dan menjadi
tidak cakap hokum, biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu
proyek harus diketahui bersama, proyek yang akan di jalankan harus di sebutkan
dalam akad setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut dengan
bagi hasil sesuai dengan porsi kontribusi modal tersebut.
Kata
Kunci: Penerapan Akad Musyarakah
PENDAHULUAN
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan
bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan
sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada
seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun
direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal.
Faktor ketidakpastian adalah faktor yang sudah menjadi sunnatullah.
Total pembiayaan di perbankan syariah masih didominasi oleh jual-beli (murabahah)
sedangkan skim bagi hasil masih rendah.
Rendahnya pembiayaan bagi hasil (musyarakah)
jelas bukanlah kondisi ideal yang diinginkan, karena sektor riil dapat digerakkan melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil ini merupakan salah satu prinsip utama dalam kegiatan ekonomi
berbasis syariah.
Sebenarnya peluang bank syariah untuk meningkatkan kinerja dan usahanya ada
pada pengembangan produk pembiayaan bagi hasil, sekaligus sebagai tantangan
bagi bank syariah dalam meningkatkan efektivitas kinerjanya. Bank-bank syariah
seharusnya selain membuat strategi khusus agar porsi pembiayaan bagi hasil
meningkat juga harus disertai upaya-upaya peminimalisasian kendala-kendala yang
dihadapi.
Dalam tulisan ini, penulis menjabarkan tentang betapa
pentingnya tantangan dalam pengembangan perbankan syariah antara lain melalui
pengembangan produk pembiayaan khususnya musyarakah, jadi akan dilihat
Bagaimana transaksi skim musyarakah pada perbankan Syari’ah? Dan apakah
pelaksanaan transaksi skim musyarakah pada Bank Syari’ah tersebut telah
sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan secara teoritis sehingga dapat
diperoleh hasil seperti yang diharapkan?
Salah satu paradigma keberadaan bank syariah adalah dapat memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan ini bank
syariah memposisikan diri sebagai mitra bagi nasabah, sehingga hubugan bank
syariah ini tidak lagi antara kreditur dan debitur melainkan hubungan
kemitraan.
PEMBAHASAN
Pengertian Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata syarika yang berarti persekutuan.[1] Secara etimologi as-syarikah atau al-musyarakah mengndung
makna al-ikhtilāt wa al-imtijāz yaitu percampuran. Dalam lisan al-’Arab
disebutkan as-syirkah dan as-syarikah mengandung makna yang sama mukhalaṭatu
as-syarikaini (bercampur atau bergabungnya dua orang) untuk melalukan kerja
sama.[2]
Menurut ulama Malikiyah, Syirkah (musyarakah) adalah suatu izin
untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta
mereka. Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali diuraikan bahwa syirkah adalah hak
bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan syirkah yang berupa akad yang dilakukan
oleh orang-orang yang bekerjasama dengan modal dan keuntungan.[3]
Dikemukakan pula dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak,
maka semua pihak yang mengikat diri berhak bertindak hukum terhadap harta
syarikat itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai yang disepakati.[4]
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April
2000, bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha
terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui pembiayaan musyarakah
yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan kontrbusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Sedangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal
12 Mei 1999, pasal 28 butir b.2.b. sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6
bahwa penyaluran dana masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk musyarakah
yaitu akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal
untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai
dengan nisbah yang disepakati.[5]
Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[6]
Skim musyarakah berbeda dengan sistem bunga dari berbagai aspek. Dalam bank
konvensional, bank membiayai proyek dengan sistem bunga. Hubungan bank dengan resiko yang mungkin akan menimpa proyek dapat
dipastikan tidak ada. Tanggung jawab hanya dibebankan kepada nasabah. Artinya
jika proyek tidak memperoleh keuntungan, para peminjam tetap berkewajiban untuk
mengembalikan pokok pinjaman berikut bunga kepada pihak bank. Sedangkan dalam
musyarakah, semua tanggung jawab, keuntungan dan kerugian dibagi secara adil
kepada bank, investor dan para penabung sejalan dengan kaidah fiqh : keuntungan
dan kerugian didistribusikan sesuai dengan jumlah modal yang disertakan.
Landasan
Syariah
Dasar hukum syariah yang mendasari konsep musyarakah ini adalah Al-Qur’an
dan Hadits.[7]
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan
dasar akad transaksi syarikah, adalah:
a) Al Qur’an
قَالَ لَقَدۡ
ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ
ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا
فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤
24. Daud
berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat
b) Al-Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الْمِصِّيصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ عَنْ أَبِي
حَيَّانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ
اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا
صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (سنن أبي داود : ٢٩٣٦)
Telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Mishshishi], telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Az Zibriqan], dari [Abu Hayyan At
Taimi], dari [ayahnya] dari [Abu Hurairah] dan ia merafa'kannya. Ia berkata;
sesungguhnya Allah berfirman: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersekutu, selama tidak ada salah seorang diantara mereka yang berkhianat
kepada sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka aku keluar dari
keduanya." (Sunan Abu Daud : 2936)
Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan
bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar
hukumnya telah jelas dan tegas.
Landasan hukum positif tentang musyarakah ini diatur dalam
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 dengan aturan pelaksana Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, pasal 28 butir b.2.b.
sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6, juga terdapat dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000.
Pembiayaan musyarakah disahkan pada Februari 1996 dan sudah mulai
diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1998.
Rukun, Syarat dan ketentuan dalam Pembiayaan Musyarakah
Adapun rukun dari akad musyarakah
itu sendiri ada 4, yaitu:
1)
Pelaku terdiri dari para mitra
2)
Objek musyarakah berupa modal dan kerja
3)
Ijab qabul
4)
Nisbah keuntungan (bagi hasil)
Sedangkan syarat dan ketentuan dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 8 tentang
musyarakah adalah sebagai berikut:
a.
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
1)
Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
2)
Penerimaan
dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3)
Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
b.
Pihak-pihak
yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
1)
Kompeten
dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2)
Setiap mitra
harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja
sebagai wakil.
3)
Setiap mitra
memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
4)
Setiap mitra
memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing
dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan
memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan
yang disengaja.
5)
Seorang
mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk
kepentingannya sendiri.
c.
Obyek akad
(modal, kerja, keuntungan dan kerugian.
1)
Modal
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan
sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan
tunai dan disepakati oleh para mitra. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar
kesepakatan. Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan.
2)
Kerja
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.
Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan
dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan
wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus
dijelaskan dalam kontrak.
3)
Keuntungan
Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan
dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.Setiap
keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.
Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah
tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
4)
Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut
saham masing-masing dalam modal.
Dalam akad kerja sama musyarakah,
pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti
berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu
juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap
mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian
yang disepakati bersama.[8]
d.
Biaya
Operasional dan Persengketaan
1)
Biaya
operasional dibebankan pada modal bersama.
2)
Jika salah
satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Jenis
Musyarakah
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.
Musyarakah
permanen (syirkah
‘uqud) adalah musyarakah dengan
ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap
hingga akhir masa akad. Jenis ini terbagi
menjadi empat jenis, yaitu:
a)
Inan, yaitu
Usaha bersama (kongsi) dimana modal dan keahlian yang diberikan tidak sama.
b)
Mufawadhah,
yaitu Usaha bersama dimana modal dan keahlian yang diberikan sama jumlah dan
kualitasnya.
c)
Abdan, yaitu
Usaha komersial bersama ketika semua mitra usaha ambil bagian dalam memberikan jasa kepada
pelanggang.[9]
d) Wujuh, yaitu kerja sama dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu
tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama
mereka.[10]
2.
Musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha) adalah
musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap
kepada mitra sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad
mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.
Mekanisme Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah
‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah.
Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah
digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan
atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang
telah disepakati bersama.[11]
Adapun mekanismenya
yaitu:
1. Bank dan nasabah
masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan
dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
2. Nasabah bertindak
sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam
pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti
melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat
oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan;
3. Pembagian hasil
usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
4. Nisbah bagi hasil
yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali
atas dasar kesepakatan para pihak;
5. Pembiayaan atas
dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang,
serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan;
6. Dalam hal Pembiayaan
atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus
dinyatakan secara jelas jumlahnya;
7. Dalam hal Pembiayaan
atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang
tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan
dinyatakan secara jelas jumlahnya;
8. Jangka waktu
Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian
hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
9. Pengembalian
Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu
secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Pembiayaan, sesuai dengan
jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah;
10. Pembagian hasil
usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang
dapat dipertanggungjawabkan; dan
Bank dan nasabah menanggung kerugian
secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.
Aplikasi Dalam Perbankan
a)
Pembiayaan proyek
Al-Musyarakah
biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan Bank
sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu
selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah
disepakati oleh Bank
b)
Modal ventura
Pada lembaga
keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan
perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu Bank melakukan divestasi
atau menjual bagian sahamnya baik secara singkat maupun secara bertahap.
PENUTUP
Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan
bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar
hukumnya telah jelas dan tegas.
Secara umum,
musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah ‘Uqud dan Mutanaqisha.
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut
diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan
dalam perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal.
Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk
mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek
dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz
Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997).
Al-Munjid Fi
al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyrik,
1987), h. 384. lihat juga Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia al-Munawir,
(Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah keagamaan Pondok Pesantren
al-Munawwir Krapyak, 1984).
Ascarya, Akad dan Produk Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), Hal. 50
Asmuni, Aplikasi Musyarakah
Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan Islam, Jurnal
Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004.
Luqman, Sistem Pembiayaan
Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi
Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia, 2006.
M. Ali Hasan, Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah, lihat juga Muhamad, Sistem
& Prosedur Operasional Bank Syariah, Cet.1, (Yogyakarta: UII Press,
2000), h. 10. juga dalam Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit
Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank
Syariah…, h. 90. lihat juga Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).
Najamuddin, Aplikasi
Musyarakah dan Mudharabah dalam perbankan syariah, diakses dari:http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/aplikasi_musyarakah_dan_mudharab.pdf,
tanggal 27 Oktober 2013, 09:06.
Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007).
Tim Pengembangan Perbankan
Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001).
[1]Al-Munjid Fi
al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyrik, 1987), h. 384. lihat juga Ahmad Warson Munawir, Kamus
Bahasa Arab-Indonesia al-Munawir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku
Ilmiah keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 765
[2]Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap
Produk Perbankan Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004, h.
160
[3] Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1711
[5] Luqman, Sistem Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana
Universitas Islam Indonesia, 2006, h.44
[6] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah…, h. 90. lihat juga Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), h. 74
[7] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah…, h. 90-91. lihat juga
Muhamad, Sistem & Prosedur Operasional Bank Syariah, Cet.1,
(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 10. juga dalam Muhamad, Teknik Perhitungan
Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press,
2004), h. 27-28
[8] Najamuddin, Aplikasi Musyarakah
dan Mudharabah dalam perbankan syariah, diakses dari:http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/aplikasi_musyarakah_dan_mudharab.pdf, tanggal 27
Oktober 2013, 09:06.
[9] Ascarya, Akad dan Produk Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), Hal. 50
[10] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 164
[11] Tim Pengembangan Perbankan
Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar