Kamis, 26 Januari 2017

PENYALURAN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH

PENYALURAN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
(Manajemen Dana Bank Syariah)
WILDAYANTI

Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Syariah

ABSTRAK

Jurnal ini mengemukakan tentang analisis kualitatif Penyaluran Pembiayaan Bank Syariah dengan fokus masalah yaitu bagaimana mekanisme penyaluran pembiayaan dan perolehan yang dicapai serta kendala yang dihadapi oleh Bank Syariah.Tujuan jurnal ini adalah memperoleh data tentang bagaimana mekanisme penyaluran pembiayaan, bagaimana perolehan yang mereka capai serta kendala yang terkait didalamnya.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan mekanisme pembiayaan yang mereka lakukan sudah sesuai dengan prosuder yang ada yaitu berdasarkan peraturan dan ketentuan yang sudah di tetapkan oleh Bank Syariah yaitu setiap nasabah yang datang ke bank untuk meminta pembiayaan harus memenuhi semua persyaratan dari Bank serta Kantor Cabang Bank Syariah, namun pada akad pembiayaan modal kerja dan ivestasi mereka menggunakan akad murabahah tentu hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah yang menggunakan akad mudharabah.
Hal ini di karenakan adanya perubahan sistem dari Kantor Cabang Bank Syariah, banyaknya nasabah yang tidak bisa memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan oleh bank, serta tenaga kerja dari SDM yang masih kurang.
Pendahuluan
Pengembangan atau peningkatan penginvestasian aset-aset kekayaan merupakan salah satu prinsip Islam dan pilar ekonomi Islam. Peningkatan investasi berarti penggairahan roda perekonomian ikut berperan dalam menstimulasi mobilitas perdagangan. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan perdagangan.
Rasulullah juga melaknat para pemakan riba sebagaimana hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jabir R.A:[1]
ن ع ه ز ظ ل اللََّّ صلى الله عليه وسلم آ ك م ان سث ب م كه كب رج شب دٌ ق ب ل مٌْ ظ اء - -
Perdagangan adalah jalan mendapatkan keuntungan yang legal, dalam kitab al-Umm, Imam Syafi‟i menjelaskan “hukum setiap transaksi jual beli adalah mubâh (diperbolehkan)”.[2] Sedangkan riba atau bunga adalah haram, sebab uang tidak bisa melahirkan uang. Pemasukan yang didapatkan melalui bisnis riba adalah haram, karena didapatkan tanpa usaha dan kerja. Riba adalah kezaliman dan pengeksploitasian bahkan lebih dari itu, Islam mengharamkan segala bentuk perbuatan dan usaha yang keji.[3]

Untuk menghindari praktek riba yang dilarang oleh Allah SWT maka lahirlah bank Islam yang di Indonesia disebut bank syariah. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli serta memberikan pelayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah.[4]
Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit (pembiayaan) dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.[5]
Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena islam secara tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial.[6]
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pembiayaan ini dapat dikatakan menjadi aspek terpenting diperbankan karena dengan adanya produk-produk pembiayaan maka semua dana nasabah yang mereka percayakan di bank untuk disimpan dan dikelola dengan baik akan berjalan dengan lancar sesuai harapan nasabah yang ingin mendapatkan bagi hasil yang besar dari bank. Karena itulah penulis merasa tertarik untuk mencoba meneliti hal tersebut lebih mendalam dan menuangkannya dalam sebuah Jurnal dengan judul : “Penyaluran Pembiayaan Bank Syariah”.
Pengertian Bank Syariah
Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiataan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (pasal 1 angka 1). Sedangkan yang dimaksud dengan bank ialah berupa badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (pasal 1 angka 2).[7]
Ditinjau dari sudut pandang hukum, ruang lingkup pengertian perbankan itu masih bersifat umum sehingga belum sampai pada kesimpulan apakah jenis kegiatan usaha yang dilakukan di lembaga perbankan tersebut halal atau haram. Karena itu untuk menjamin kehalalan kegiatan usaha perbankan, maka dalam operasionalnya harus menggunakan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian lembaga perbankan yang kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah maka dapat dikatakan sebagai perbankan syariah.
Sejarah Bank Syariah
Alasan mendasar lahirnya bank syariah sebenarnya lebih berkaitan dengan masalah keyakinan berupa unsur riba, ketidakadilan dan moralitas dalam melakukan usaha. Penerapan bunga sebagai landasan operasional perbankan yang ada sebelumnya (bank konvensional) dianggap sebagai bentuk transaksi riba yang dalam agama Islam jelas-jelas dilarang. Bunga diyakini mengandung unsur riba karena dalam sistem bunga terdapat unsur ketidakadilan Karena pemilik dana mewajibkan peminjam dana untuk membayar lebih dari pada yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mengalami keuntungan atau kerugian.[8]
Aktivitas perbankan telah dimulai sejak zaman Rasulullah. Nabi Muhammad SAW sebelum diutus menjadi rasul telah dikenal sebagai Al-Amien, artinya orang yang terpercaya. Karena kejujuran itulah Nabi Muhammad dipercaya untuk menyimpan segala macam titipan (deposit). Begitu amanah nya beliau dalam menjaga deposit tersebut, sehingga pada saat terakhir pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau melantik Ali bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan segala deposit itu kepada pemiliknya.[9]
Tindakan Rasulullah tersebut ternyata dikembangkan lebih lanjut sebagaimana dicontohkan oleh sahabat beliau, Zubair bin Awwam, yang tidak pernah mau menerima uang dari semua orang dalam bentuk deposit (simpanan/titipan). Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Abdullah bin Zubair menceritakan bahwa bila ada orang datang membawa uang untuk disimpan pada ayahnya, maka ayahnya takut deposit uang itu akan hilang. Tindakan Zubair ini menunjukkan dua hal yang dapat ditarik hikmahnya yang pertama, dengan mengambil uang tersebut sebagai pinjaman beliau mempunyai hak untuk menggunakannya; yang kedua, jika uang itu dalam bentuk pinjaman maka Zubair berkewajiban untuk mengembalikannya dengan utuh seperti semula.
Dengan demikian, ada dua macam praktek simpanan yang diterapkan pada masa awal Islam, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Munculnya variasi ini adalah karena perkembangan wacana dari pemanfaatan tipe simpanan tersebut yang di masa Rasulullah mempunyai konsep awal yaitu sebagai suatu amanah, lalu bergeser menjadi konsep pinjaman sebagaimana yang dicontohkan oleh Zubair bin Awwam.
Peran dan Fungsi Bank Syariah
Peran bank syariah sama seperti bank pada umumnya, bank syariah juga memiliki peran yang strategis dalam kegiatan pembangunan. Diantara peran strategis itu antara lain adalah :[10]
1.    Merupakan lembaga keuangan yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian dan perdagangan.
2.    Menjadi tempat penyimpanan dana yang aman bagi prusahaan, badan-badan pemerintahan dan swasta, maupun perorangan.
3.    Melayani kegiatan perkreditan dan berbagai jasa keuangan yang dapat melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan pelaksanaan sistem pembiayaan bagi semua sektor perekonomian.
4.    Melancarkan arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
5.    Sebagai pemasok dari sebagian uang yang beredar yang dipergunakan sebagai alat tukar atau pembayaran sehingga diharapkan dapat mendukung berjalannya kebijakan moneter.
Fungsi bank syariah juga sama seperti bank pada umumnya yang memiliki fungsi atau kegunaan yang sangat penting. Diantara fungsi-fungsi itu antara lain:
1.    Memobilisasi tabungan masyarakat baik domestik maupun asing.
2.    Menyalurkan dana tersebut secara efektif ke kegiatan-kegiatan usaha yang produktif dan menguntungkan secara finansial, dengan tetap memperhatikan kegiatan usaha tersebut tidak termasuk yang dilarang oleh syariah.
3.    Melakukan fungsi regulator, turut mengatur mekanis penyaluran dana ke masyarakat sesuai kebijakan BI, sehingga dapat mengendalikan aktivitas moneter yang sehat dan terhindar dari inflasi.
4.    Menjembatani keperluan pemanfaatan dana dari pemilik modal dan pihak yang memerlukan, sehingga uang dapat berfungsi untuk melancarkan perekonomian khususnya dan pembangunan umumnya.
5.    Menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya sebagailembaga keuangan yang berdasarkan prinsip syariah.
Jenis dan Kegiatan Usaha Bank Syariah
Bank syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perbedaan pokok antara keduanya adalah bahwa bank pembiayaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sementara bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa bank pembiayaan rakyat syariah tidak diperkenankan menerbitkan rekening giro, ikut dalam kegiatan kliring, inkaso, penerbitan surat sanggup, dan jasa dibidang lalu lintas pembayaran lainnya.[11]
Risiko-risiko Bank Syariah
Meskipun manajer bank berusaha untuk menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya, secara simultan mereka harus juga memperhatikan adanya kemungkinan resiko yang timbul menyertai keputusan-keputusan manajemen tentang struktur aset dan liabilitasnya. Secara spesifik risiko-risiko yang akan menyebabkan bervariasinya tingkat keuntungan bank meliputi:
1.    Risiko Likuiditas
Bank harus memenuhi kebutuhan akan likuiditas bila nasabah menarik dananya. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas itu maka bank harus memelihara likuiditas aset atau menciptakan likuiditas dengan cara meminjam dana. Pengukuran risiko likuiditas cukup kompleks. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka risiko likuiditasnya bisa jadi rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat-surat berharga membatasi pendapatan, karena bank dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dari pada pembiayaan.
2.    Risiko Kredit (Credit Risk)
Risiko kredit berhubungan dengan menurunnya pendapatan yang dapat merupakan akibat dari kerugian atas kredit (jual beli tangguh) atau kegagalan tagihan atas surat-surat berharga. Bank dapat mengendalikan risiko kredit melalui pelaksanaan kegiatan usaha yang konservatif, meskipun terhadap bidang-bidang yang menjanjikan tingkat keuntungan sangat menarik.
3.    Risiko Modal (Capital Risk)
Unsur lain dari risiko yang berhubungan dengan perbankan adalah risiko modal (capital risk) yang merefleksikan tingkat leverage yang dipakai oleh bank. Salah satu fungsi modal adalah melindungi para penyimpan dana terhadap kerugian yang terjadi pada bank. Jumlah modal yang dibutuhkan untuk melindungi para penyimpan dana berhubungan dengan kualitas dan risiko dari asset bank.
Asset bank dapat diklasifikasikan sebagai asset yang kurang berisiko atau asset berisiko. Asset berisiko pada umumnya termasuk, tapi tidak terbatas, pada investasi atau pembiayaan yang tidak dijamin oleh pemerintah. Sedangkan aset yang kurang berisiko termasuk, tapi tidak terbatas, pada surat-surat berharga pemerintah atau investasi dan pembiayaan yang dijamin oleh pemerintah.
Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Untuk itu, sebelum masuk pengertian pembiayaan, perlu diketahui apa itu bisnis. Bisnis adalah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya sangat membutuhkan sumber modal. Jika pelaku tidak memiliki modal secara cukup, maka ia akan berhubungan dengan pihak lain, seperti bank untuk mendapat suntuikan dana, dengan melakukan pembiayaan.
Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga.[12] Dan pembiayaan juga dapat diartikan dengan penyediaan dana atau tagihan[13] dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Tujuan Pembiayaan
Sehubungan dengan aktivitas bank syariah, maka pembiayaan merupakan sember pendapatan bank syariah. Oleh karena itu, tujuan pembiayaan yang dilaksanakan bank syariah adalah untuk memenuhi kepentingan stakeholder, yakni:
1.      Pemilik
Dari sumber pendapatan, para pemilik mengharapkan akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2.      Pegawai
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank yang dikelolanya.
3.      Masyarakat
a.    Pemilik dana
Sebagaimana pemilik dana, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil.
b.    Debitur yang bersangkutan
Para debitur, dengan menyediakan dana baginya, mereka terbantu guna menjalankan usahanya (sector produktif) atau terbantu untuk mengadakan barang yang diinginkannya (pembiayaan konsumtif).
c.    Masyarakat umumnya atau konsumen
Mereka dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkannya.
4.    Pemerintah
Akibat penyediaan pembiayaan, pemerintah terbantu dalam pembiayaan pembangunan Negara, disamping itu akan diperoleh pajak (berupa pajak
penghasilan atau keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-perusahaan).
5.      Bank
Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran pembiayaan, diharapkan bank dapat meneruskan dan mengembangkan usaha agar tetap bertahan dan meluas jaringan usahanya, sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat dilayaninya.
Dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syariah harus memenuhi aspek syariah yaitu dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah, bank syariah harus tetap berpedoman pada syariat Islam (antara lain tidak mengandung unsur, maisir, gharar, dan riba serta bidang usahanya harus halal).
Aspek ekonomi, berarti disamping mempertimbangkan hal-hal syariah bank syariah tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi bank syariah maupun bagi nasabah bank syariah.
Unsur-unsur Pembiayaan
Pembiayaan pada dasarnya diberikan atas dasar kepercayaan. Hal ini berarti prestasi yang diberikan benar-benar harus diyakini dapat dikembalikan oleh penerima pembiayaan sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Berdasarkan hal diatas, unsur-unsur dalam pembiayaan bank syariah adalah:[14]
Kelayakan Penyaluran Pembiayaan
Bank syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas tersebut. Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan tentang itikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah. Kemampuan berkaitan dengan keadaan nasabah penerima fasilitas, sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah.
Sehubungan dengan upaya untuk memperoleh keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas dalam melunasi seluruh kewajiban pada waktunya maka bank syariah wajib melakukan penilaian 5C25 (character, capacity, capital, condition, collateral) yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. Penjelasan tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud penilaian seksama adalah sebagai berikut:[15]
1.    Penilaian watak calon nasabah penerima fasilitas, terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank syariah dan nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga bank syariah dapat menyimpulkan bahwa nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beritikad baik dan tidak menyulitkan bank syariah dikemudian hari.
2.    Penilaian kemampuan calon nasabah penerima faslitas, terutama bank harus meneliti tentang kehlian nasabah dalam bidang usahanya atau kemampuan menejemen calon nasabah. Sehingga bank syariah yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.
3.    Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah, terutama bank syariah harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan dating sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah yang bersangkutan.
4.    Dalam melakukan penilaian terhadap agunan, bank syariah harus menilai barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi resiko yang ditambahkan sebagai aguanan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari bank syariah yang bersangkutan.
5.    Penilaian terhadap proyek usaha calon nasabah penerima fasilitas, bank syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik didalam maupun diluar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang, sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.
Seperti juga dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan syarat-syarat umum untuk sebuah pembiayaan seperti:[16]
a.    Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat (antara lain) gambaran umum usaha,rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
b.    Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
c.    Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotocopy rekening bank.
Jenis-jenis Pembiayaan
Ada beberapa jenis-jenis pembiayaan yaitu:[17]
1.    Pembiayaan Modal Kerja Syariah
Secara umum yang dimaksud dengan pembiayaan modal kerja (PMK) syariah adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Jangka waktu pembiayaan modal kerja maksimum 1 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.
2.    Pembiayaan Investasi Syariah
Yang dimaksud dengan investasi adalah penanaman dana dengan maksud untuk memperoleh keuntungan di kemudian hari. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiayaan investasi adalah pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian barang-barang modal yang diperlukan untuk:
a.    Pendirian proyek baru adalah pendirian atau pembangunan proyek dalam rangka usaha baru.
b.    Rehabilitasi adalah penggantian peralatan lama yang sudah rusak dengan peralatan baru yang lebih baik.
c.    Modernisasi adalah penggantian menyeluruh peralatan lama dengan peralatan baru yang tingkat teknologinya lebih baik.
d.   Ekspansi adalah penambahan peralatan yang telah ada dengan peralatan baru dengan teknologi sama atau lebih tinggi.
e.    Relokasi proyek yang sudah ada adalah pemindahan lokasi proyek secara keseluruhan.
3.    Pembiayaan Konsumtif Syariah
Secara definitif, konsumsi adalah kebutuhan individual meliputi kebutuhan baik barang maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha. Dengan demikian yang dimaksud pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan diluar usaha dan umumnya bersifat perorangan.
Semua itu dilakukan oleh bank dengan sedikit imbalan (kepada bank) dari pihak yang bertransaksi. Bank telah memberikan pelayanan begitu banyak untuk orang-orang yang sibuk, bank melepaskannya dari berbagai kesulitan. Bank juga membantunya membayarkan berbagai pembiayaan yang memberatkannya (kalau harus dibayar sendiri). Sebagai wakil, bank berhak menerima upah sesuai dengan kontribusinya untuk nasabah.[18]
Akad pembiayaan juga sebagai salah satu syarat dalam melakukan pembiayaan di Bank Syariah sebagai persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain (nasabah). Untuk sahnya suatu akad pembiayaan harus memenuhi syarat dan rukun akad.[19]
Sehubungan dengan sahnya suatu akad pembiayaan, perlu juga diperhatikan ketentuan aturan bea materai. Untuk lampiran-lampiran dari akad pembiayaan perlu dibubuhi materai temple dan ditandatangani diatasnya setelah diberi tanggal yang sesuai dengan tanggal penandatanganan. Tanda tangan para pihak sebagai bukti dari persetujuan para pihak untuk bertanggung jawab di kemudian hari atas segala akibat sesuatu yang telah disetujui.



Penutup
Pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Untuk itu, sebelum masuk pengertian pembiayaan, perlu diketahui apa itu bisnis. Bisnis adalah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya sangat membutuhkan sumber modal. Jika pelaku tidak memiliki modal secara cukup, maka ia akan berhubungan dengan pihak lain, seperti bank untuk mendapat suntuikan dana, dengan melakukan pembiayaan.
Bank syariah harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas tersebut. Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan tentang itikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah. Kemampuan berkaitan dengan keadaan nasabah penerima fasilitas, sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah.






Daftar Pustaka

Imam Abi Husain Muslim bin Al-hajj Al-qusairi Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Darul Fikr, 1993. Juz 2.
Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i, terj. Usman Sya‟roni, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-kattani Jakarta: Gema Insani, 2011, jilid 7.
Adi Warman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M).
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2011.
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indoneia, Yogyakarta: UII Press, 2008).
Sulham dan Ely Siswanto, Menejemen Bank Konvensional dan Syariah, Malang: UIN-Malang Press, 2008).
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menejemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006).
Ma‟ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, Banjarmasin: Antasari Press, 2006).
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah UU NO. 21 Tahun 2008), Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Muhammad, Manajemen pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005.
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2012.
Veithzal Rivai, Islamic Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, ed.1, Jakarta: RajaGrafindo Persada,2008.
Jundiani, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press,2009.
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema insani, 2001.
Adi Warman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M.
Musthafa Dib Al-bugha, buku pintar transaksi syariah, ter. Fakhri Gafur, Damaskus: Darul Mustafa, 2009).
Veithzal Rivai, Islamic Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa.



[1]Imam Abi Husain Muslim bin Al-hajj Al-qusairi Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Fikr, 1993). Juz 2. hal. 47

[2]Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i, terj. Usman Sya‟roni, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008), hal. 258

[3]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-kattani (Jakarta: Gema Insani, 2011), jilid 7, hal.104.
[4]Adi Warman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, (Cet. 10; Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M), hal. 30.

[5]Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Cet.7; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 25.

[6]Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Cet.3; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2011), hal.112.
[7]Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indoneia, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hal. 17.
[8]Sulham dan Ely Siswanto, Menejemen Bank Konvensional dan Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 125-126.
[9]Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menejemen Bank Syariah, (Cet.6; Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), hal. 3-4.
[10]Ma‟ruf Abdullah, Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press, 2006), hal. 103.
[11]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU NO. 21 Tahun 2008), (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), Hal. 36.  
[12]Muhammad, Manajemen pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hal. 17.

[13]Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2012), hal. 78.

[14]Veithzal Rivai, Islamic Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, ed.1,(Cet.2 ; Jakarta: RajaGrafindo Persada,2008), hal.4-5.

[15]Jundiani, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press,2009), hal. 125-126.
[16]Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: gema insani, 2001), hal. 171.

[17]Adi Warman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M), hal. 231-254.
[18]Musthafa Dib Al-bugha, buku pintar transaksi syariah, ter. Fakhri Gafur, (Damaskus: Darul Mustafa, 2009), hal. 73.

[19]Veithzal Rivai, Islamic Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, hal. 90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar