PENYALURAN
PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
(Manajemen
Dana Bank Syariah)
WILDAYANTI
Jurusan
Syariah Prodi Ekonomi Syariah
ABSTRAK
Jurnal ini mengemukakan tentang analisis kualitatif Penyaluran Pembiayaan
Bank Syariah dengan fokus masalah yaitu bagaimana mekanisme penyaluran
pembiayaan dan perolehan yang dicapai serta kendala yang dihadapi oleh Bank
Syariah.Tujuan jurnal ini adalah memperoleh data tentang bagaimana mekanisme
penyaluran pembiayaan, bagaimana perolehan yang mereka capai serta kendala yang
terkait didalamnya.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan mekanisme pembiayaan yang mereka
lakukan sudah sesuai dengan prosuder yang ada yaitu berdasarkan peraturan dan
ketentuan yang sudah di tetapkan oleh Bank Syariah yaitu setiap nasabah yang
datang ke bank untuk meminta pembiayaan harus memenuhi semua persyaratan dari
Bank serta Kantor Cabang Bank Syariah, namun pada akad pembiayaan modal kerja
dan ivestasi mereka menggunakan akad murabahah tentu hal ini tidak sesuai
dengan prinsip syariah yang menggunakan akad mudharabah.
Hal ini di karenakan adanya perubahan sistem dari Kantor Cabang Bank
Syariah, banyaknya nasabah yang tidak bisa memenuhi persyaratan yang sudah
ditetapkan oleh bank, serta tenaga kerja dari SDM yang masih kurang.
Pendahuluan
Pengembangan atau peningkatan penginvestasian
aset-aset kekayaan merupakan salah satu prinsip Islam dan pilar ekonomi Islam.
Peningkatan investasi berarti penggairahan roda perekonomian ikut berperan
dalam menstimulasi mobilitas perdagangan. Oleh sebab itu, Islam sangat
menganjurkan perdagangan.
Rasulullah juga melaknat para pemakan riba
sebagaimana hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jabir R.A:[1]
ن
ع ه ز ظ ل اللََّّ صلى الله عليه وسلم آ ك م ان سث ب م كه كب رج شب دٌ ق ب ل مٌْ ظ اء - -
Perdagangan adalah jalan mendapatkan keuntungan yang
legal, dalam kitab al-Umm, Imam Syafi‟i menjelaskan “hukum setiap transaksi
jual beli adalah mubâh (diperbolehkan)”.[2]
Sedangkan riba atau bunga adalah haram, sebab uang tidak bisa melahirkan uang.
Pemasukan yang didapatkan melalui bisnis riba adalah haram, karena didapatkan
tanpa usaha dan kerja. Riba adalah kezaliman dan pengeksploitasian bahkan lebih
dari itu, Islam mengharamkan segala bentuk perbuatan dan usaha yang keji.[3]
Untuk menghindari praktek riba yang dilarang oleh
Allah SWT maka lahirlah bank Islam yang di Indonesia disebut bank syariah. Bank
syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi
di sektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli serta memberikan pelayanan
jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah.[4]
Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 tanggal
10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah “badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit (pembiayaan) dan bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.[5]
Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk
mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara
yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan
mobilisasi dana merupakan hal penting karena islam secara tegas mengutuk
penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka
mencapai tujuan sosial.[6]
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa
pembiayaan ini dapat dikatakan menjadi aspek terpenting diperbankan karena
dengan adanya produk-produk pembiayaan maka semua dana nasabah yang mereka
percayakan di bank untuk disimpan dan dikelola dengan baik akan berjalan dengan
lancar sesuai harapan nasabah yang ingin mendapatkan bagi hasil yang besar dari
bank. Karena itulah penulis merasa tertarik untuk mencoba meneliti hal tersebut
lebih mendalam dan menuangkannya dalam sebuah Jurnal dengan judul : “Penyaluran
Pembiayaan Bank Syariah”.
Pengertian Bank Syariah
Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998,
pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiataan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya (pasal 1 angka 1). Sedangkan yang dimaksud dengan bank ialah
berupa badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan untuk meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak (pasal 1 angka 2).[7]
Ditinjau dari sudut pandang hukum, ruang lingkup
pengertian perbankan itu masih bersifat umum sehingga belum sampai pada
kesimpulan apakah jenis kegiatan usaha yang dilakukan di lembaga perbankan
tersebut halal atau haram. Karena itu untuk menjamin kehalalan kegiatan usaha
perbankan, maka dalam operasionalnya harus menggunakan prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian lembaga perbankan yang kegiatan usahanya berdasarkan pada
prinsip-prinsip syariah maka dapat dikatakan sebagai perbankan syariah.
Sejarah Bank Syariah
Alasan mendasar lahirnya bank syariah sebenarnya
lebih berkaitan dengan masalah keyakinan berupa unsur riba, ketidakadilan dan
moralitas dalam melakukan usaha. Penerapan bunga sebagai landasan operasional
perbankan yang ada sebelumnya (bank konvensional) dianggap sebagai bentuk
transaksi riba yang dalam agama Islam jelas-jelas dilarang. Bunga diyakini
mengandung unsur riba karena dalam sistem bunga terdapat unsur ketidakadilan
Karena pemilik dana mewajibkan peminjam dana untuk membayar lebih dari pada
yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mengalami keuntungan atau
kerugian.[8]
Aktivitas perbankan telah dimulai sejak zaman
Rasulullah. Nabi Muhammad SAW sebelum diutus menjadi rasul telah dikenal
sebagai Al-Amien, artinya orang yang terpercaya. Karena kejujuran itulah Nabi
Muhammad dipercaya untuk menyimpan segala macam titipan (deposit). Begitu
amanah nya beliau dalam menjaga deposit tersebut, sehingga pada saat terakhir
pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau melantik Ali bin Abi Thalib r.a.
untuk mengembalikan segala deposit itu kepada pemiliknya.[9]
Tindakan Rasulullah tersebut ternyata dikembangkan
lebih lanjut sebagaimana dicontohkan oleh sahabat beliau, Zubair bin Awwam,
yang tidak pernah mau menerima uang dari semua orang dalam bentuk deposit
(simpanan/titipan). Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.
Abdullah bin Zubair menceritakan bahwa bila ada orang datang membawa uang untuk
disimpan pada ayahnya, maka ayahnya takut deposit uang itu akan hilang.
Tindakan Zubair ini menunjukkan dua hal yang dapat ditarik hikmahnya yang
pertama, dengan mengambil uang tersebut sebagai pinjaman beliau mempunyai hak
untuk menggunakannya; yang kedua, jika uang itu dalam bentuk pinjaman maka
Zubair berkewajiban untuk mengembalikannya dengan utuh seperti semula.
Dengan demikian, ada dua macam praktek simpanan yang
diterapkan pada masa awal Islam, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad
dhamanah. Munculnya variasi ini adalah karena perkembangan wacana dari
pemanfaatan tipe simpanan tersebut yang di masa Rasulullah mempunyai konsep
awal yaitu sebagai suatu amanah, lalu bergeser menjadi konsep pinjaman
sebagaimana yang dicontohkan oleh Zubair bin Awwam.
Peran dan Fungsi Bank
Syariah
Peran bank syariah sama seperti bank pada umumnya,
bank syariah juga memiliki peran yang strategis dalam kegiatan pembangunan.
Diantara peran strategis itu antara lain adalah :[10]
1.
Merupakan
lembaga keuangan yang sangat penting dalam menjalankan kegiatan perekonomian
dan perdagangan.
2.
Menjadi tempat
penyimpanan dana yang aman bagi prusahaan, badan-badan pemerintahan dan swasta,
maupun perorangan.
3.
Melayani
kegiatan perkreditan dan berbagai jasa keuangan yang dapat melayani kebutuhan
pembiayaan serta melancarkan pelaksanaan sistem pembiayaan bagi semua sektor
perekonomian.
4.
Melancarkan
arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
5.
Sebagai
pemasok dari sebagian uang yang beredar yang dipergunakan sebagai alat tukar
atau pembayaran sehingga diharapkan dapat mendukung berjalannya kebijakan
moneter.
Fungsi bank syariah juga sama seperti bank pada
umumnya yang memiliki fungsi atau kegunaan yang sangat penting. Diantara
fungsi-fungsi itu antara lain:
1.
Memobilisasi
tabungan masyarakat baik domestik maupun asing.
2.
Menyalurkan dana
tersebut secara efektif ke kegiatan-kegiatan usaha yang produktif dan
menguntungkan secara finansial, dengan tetap memperhatikan kegiatan usaha
tersebut tidak termasuk yang dilarang oleh syariah.
3.
Melakukan
fungsi regulator, turut mengatur mekanis penyaluran dana ke masyarakat sesuai
kebijakan BI, sehingga dapat mengendalikan aktivitas moneter yang sehat dan
terhindar dari inflasi.
4.
Menjembatani
keperluan pemanfaatan dana dari pemilik modal dan pihak yang memerlukan,
sehingga uang dapat berfungsi untuk melancarkan perekonomian khususnya dan
pembangunan umumnya.
5.
Menjaga amanah
yang dipercayakan kepadanya sebagailembaga keuangan yang berdasarkan prinsip
syariah.
Jenis
dan Kegiatan Usaha Bank Syariah
Bank syariah
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Perbedaan pokok antara keduanya adalah bahwa bank pembiayaan rakyat syariah
adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran, sementara bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam
kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan
hal tersebut tampak bahwa bank pembiayaan rakyat syariah tidak diperkenankan
menerbitkan rekening giro, ikut dalam kegiatan kliring, inkaso, penerbitan
surat sanggup, dan jasa dibidang lalu lintas pembayaran lainnya.[11]
Risiko-risiko
Bank Syariah
Meskipun
manajer bank berusaha untuk menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya, secara
simultan mereka harus juga memperhatikan adanya kemungkinan resiko yang timbul
menyertai keputusan-keputusan manajemen tentang struktur aset dan
liabilitasnya. Secara spesifik risiko-risiko yang akan menyebabkan
bervariasinya tingkat keuntungan bank meliputi:
1.
Risiko
Likuiditas
Bank harus
memenuhi kebutuhan akan likuiditas bila nasabah menarik dananya. Untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas itu maka bank harus memelihara likuiditas aset atau
menciptakan likuiditas dengan cara meminjam dana. Pengukuran risiko likuiditas
cukup kompleks. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset
dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang
dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka risiko likuiditasnya bisa
jadi rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat-surat berharga membatasi
pendapatan, karena bank dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi
dari pada pembiayaan.
2.
Risiko Kredit
(Credit Risk)
Risiko kredit
berhubungan dengan menurunnya pendapatan yang dapat merupakan akibat dari
kerugian atas kredit (jual beli tangguh) atau kegagalan tagihan atas surat-surat
berharga. Bank dapat mengendalikan risiko kredit melalui pelaksanaan kegiatan
usaha yang konservatif, meskipun terhadap bidang-bidang yang menjanjikan
tingkat keuntungan sangat menarik.
3.
Risiko Modal
(Capital Risk)
Unsur lain
dari risiko yang berhubungan dengan perbankan adalah risiko modal (capital
risk) yang merefleksikan tingkat leverage yang dipakai oleh bank. Salah satu
fungsi modal adalah melindungi para penyimpan dana terhadap kerugian yang
terjadi pada bank. Jumlah modal yang dibutuhkan untuk melindungi para penyimpan
dana berhubungan dengan kualitas dan risiko dari asset bank.
Asset bank
dapat diklasifikasikan sebagai asset yang kurang berisiko atau asset berisiko.
Asset berisiko pada umumnya termasuk, tapi tidak terbatas, pada investasi atau
pembiayaan yang tidak dijamin oleh pemerintah. Sedangkan aset yang kurang
berisiko termasuk, tapi tidak terbatas, pada surat-surat berharga pemerintah
atau investasi dan pembiayaan yang dijamin oleh pemerintah.
Pengertian
Pembiayaan
Pembiayaan
selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Untuk itu, sebelum masuk pengertian
pembiayaan, perlu diketahui apa itu bisnis. Bisnis adalah aktivitas yang
mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa,
perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Pelaku bisnis dalam menjalankan
bisnisnya sangat membutuhkan sumber modal. Jika pelaku tidak memiliki modal
secara cukup, maka ia akan berhubungan dengan pihak lain, seperti bank untuk
mendapat suntuikan dana, dengan melakukan pembiayaan.
Adapun yang
dimaksud dengan pembiayaan, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga.[12]
Dan pembiayaan juga dapat diartikan dengan penyediaan dana atau tagihan[13]
dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan.
Tujuan
Pembiayaan
Sehubungan
dengan aktivitas bank syariah, maka pembiayaan merupakan sember pendapatan bank
syariah. Oleh karena itu, tujuan pembiayaan yang dilaksanakan bank syariah
adalah untuk memenuhi kepentingan stakeholder, yakni:
1.
Pemilik
Dari sumber pendapatan, para pemilik mengharapkan
akan memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2.
Pegawai
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh
kesejahteraan dari bank yang dikelolanya.
3.
Masyarakat
a.
Pemilik dana
Sebagaimana
pemilik dana, mereka mengharapkan dari dana yang diinvestasikan akan diperoleh
bagi hasil.
b.
Debitur yang
bersangkutan
Para debitur,
dengan menyediakan dana baginya, mereka terbantu guna menjalankan usahanya
(sector produktif) atau terbantu untuk mengadakan barang yang diinginkannya
(pembiayaan konsumtif).
c.
Masyarakat
umumnya atau konsumen
Mereka dapat memperoleh barang-barang yang
dibutuhkannya.
4.
Pemerintah
Akibat penyediaan pembiayaan, pemerintah terbantu
dalam pembiayaan pembangunan Negara, disamping itu akan diperoleh pajak (berupa
pajak
penghasilan
atau keuntungan yang diperoleh bank dan juga perusahaan-perusahaan).
5.
Bank
Bagi bank yang bersangkutan, hasil dari penyaluran
pembiayaan, diharapkan bank dapat meneruskan dan mengembangkan usaha agar tetap
bertahan dan meluas jaringan usahanya, sehingga semakin banyak masyarakat yang
dapat dilayaninya.
Dalam
pelaksanaan pembiayaan, bank syariah harus memenuhi aspek syariah yaitu dalam
setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah, bank syariah harus tetap
berpedoman pada syariat Islam (antara lain tidak mengandung unsur, maisir,
gharar, dan riba serta bidang usahanya harus halal).
Aspek ekonomi,
berarti disamping mempertimbangkan hal-hal syariah bank syariah tetap
mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi bank syariah maupun bagi
nasabah bank syariah.
Unsur-unsur
Pembiayaan
Pembiayaan
pada dasarnya diberikan atas dasar kepercayaan. Hal ini berarti prestasi yang
diberikan benar-benar harus diyakini dapat dikembalikan oleh penerima
pembiayaan sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati bersama.
Berdasarkan hal diatas, unsur-unsur dalam pembiayaan bank syariah adalah:[14]
Kelayakan Penyaluran Pembiayaan
Bank syariah
harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima
fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah
menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas tersebut. Di dalam
penjelasan pasal tersebut dinyatakan tentang itikad baik dari nasabah penerima
fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank
syariah. Kemampuan berkaitan dengan keadaan nasabah penerima fasilitas,
sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank
syariah.
Sehubungan
dengan upaya untuk memperoleh keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon
nasabah penerima fasilitas dalam melunasi seluruh kewajiban pada waktunya maka
bank syariah wajib melakukan penilaian 5C25 (character, capacity, capital,
condition, collateral) yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan,
dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas. Penjelasan tersebut
menyebutkan bahwa yang dimaksud penilaian seksama adalah sebagai berikut:[15]
1.
Penilaian
watak calon nasabah penerima fasilitas, terutama didasarkan kepada hubungan
yang telah terjalin antara bank syariah dan nasabah yang bersangkutan atau
informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga bank
syariah dapat menyimpulkan bahwa nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan
jujur, beritikad baik dan tidak menyulitkan bank syariah dikemudian hari.
2.
Penilaian
kemampuan calon nasabah penerima faslitas, terutama bank harus meneliti tentang
kehlian nasabah dalam bidang usahanya atau kemampuan menejemen calon nasabah.
Sehingga bank syariah yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang
yang tepat.
3.
Penilaian
terhadap modal yang dimiliki calon nasabah, terutama bank syariah harus melakukan
analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang
telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan dating sehingga dapat
diketahui kemampuan permodalan calon nasabah yang bersangkutan.
4.
Dalam
melakukan penilaian terhadap agunan, bank syariah harus menilai barang proyek
atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan
barang lain, surat berharga atau garansi resiko yang ditambahkan sebagai
aguanan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah penerima
fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan tersebut dapat
digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari bank syariah yang
bersangkutan.
5.
Penilaian
terhadap proyek usaha calon nasabah penerima fasilitas, bank syariah terutama
harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik didalam maupun diluar
negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang, sehingga dapat
diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang
akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.
Seperti juga
dalam perbankan konvensional, perbankan syariah menetapkan syarat-syarat umum
untuk sebuah pembiayaan seperti:[16]
a.
Surat
permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang memuat (antara lain)
gambaran umum usaha,rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana penggunaan
dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
b.
Legalitas
usaha, seperti identitas diri, akta pendirian usaha, surat izin umum
perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
c.
Laporan keuangan,
seperti neraca dan laporan rugi laba, data persediaan terakhir, data penjualan,
dan fotocopy rekening bank.
Jenis-jenis
Pembiayaan
Ada beberapa
jenis-jenis pembiayaan yaitu:[17]
1.
Pembiayaan
Modal Kerja Syariah
Secara umum yang dimaksud dengan pembiayaan modal kerja (PMK) syariah
adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk
membiayai kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Jangka waktu pembiayaan modal kerja maksimum 1 tahun dan dapat diperpanjang sesuai
kebutuhan.
2.
Pembiayaan
Investasi Syariah
Yang dimaksud
dengan investasi adalah penanaman dana dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan di kemudian hari. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiayaan
investasi adalah pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang untuk pembelian
barang-barang modal yang diperlukan untuk:
a.
Pendirian
proyek baru adalah pendirian atau pembangunan proyek dalam rangka usaha baru.
b.
Rehabilitasi
adalah penggantian peralatan lama yang sudah rusak dengan peralatan baru yang
lebih baik.
c.
Modernisasi
adalah penggantian menyeluruh peralatan lama dengan peralatan baru yang tingkat
teknologinya lebih baik.
d.
Ekspansi
adalah penambahan peralatan yang telah ada dengan peralatan baru dengan
teknologi sama atau lebih tinggi.
e.
Relokasi
proyek yang sudah ada adalah pemindahan lokasi proyek secara keseluruhan.
3.
Pembiayaan
Konsumtif Syariah
Secara
definitif, konsumsi adalah kebutuhan individual meliputi kebutuhan baik barang
maupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha. Dengan demikian yang
dimaksud pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang diberikan untuk
tujuan diluar usaha dan umumnya bersifat perorangan.
Semua itu
dilakukan oleh bank dengan sedikit imbalan (kepada bank) dari pihak yang
bertransaksi. Bank telah memberikan pelayanan begitu banyak untuk orang-orang
yang sibuk, bank melepaskannya dari berbagai kesulitan. Bank juga membantunya
membayarkan berbagai pembiayaan yang memberatkannya (kalau harus dibayar
sendiri). Sebagai wakil, bank berhak menerima upah sesuai dengan kontribusinya
untuk nasabah.[18]
Akad
pembiayaan juga sebagai salah satu syarat dalam melakukan pembiayaan di Bank
Syariah sebagai persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
(nasabah). Untuk sahnya suatu akad pembiayaan harus memenuhi syarat dan rukun
akad.[19]
Sehubungan dengan sahnya
suatu akad pembiayaan, perlu juga diperhatikan ketentuan aturan bea materai.
Untuk lampiran-lampiran dari akad pembiayaan perlu dibubuhi materai temple dan
ditandatangani diatasnya setelah diberi tanggal yang sesuai dengan tanggal
penandatanganan. Tanda tangan para pihak sebagai bukti dari persetujuan para
pihak untuk bertanggung jawab di kemudian hari atas segala akibat sesuatu yang
telah disetujui.
Penutup
Pembiayaan
selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Untuk itu, sebelum masuk pengertian
pembiayaan, perlu diketahui apa itu bisnis. Bisnis adalah aktivitas yang
mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa,
perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Pelaku bisnis dalam menjalankan
bisnisnya sangat membutuhkan sumber modal. Jika pelaku tidak memiliki modal
secara cukup, maka ia akan berhubungan dengan pihak lain, seperti bank untuk
mendapat suntuikan dana, dengan melakukan pembiayaan.
Bank syariah
harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima
fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah
menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas tersebut. Di dalam
penjelasan pasal tersebut dinyatakan tentang itikad baik dari nasabah penerima
fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank
syariah. Kemampuan berkaitan dengan keadaan nasabah penerima fasilitas,
sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank
syariah.
Daftar
Pustaka
Imam Abi Husain
Muslim bin Al-hajj Al-qusairi Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Darul
Fikr, 1993. Juz 2.
Ahmad Nahrawi
Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i, terj. Usman
Sya‟roni, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008.
Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-kattani
Jakarta: Gema Insani, 2011, jilid 7.
Adi Warman
Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, Damaskus: Dar āl-fikr,
1428H/2007M).
Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2011.
Burhanuddin
Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indoneia, Yogyakarta: UII Press,
2008).
Sulham dan Ely
Siswanto, Menejemen Bank Konvensional dan Syariah, Malang: UIN-Malang
Press, 2008).
Zainul Arifin, Dasar-Dasar
Menejemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006).
Ma‟ruf Abdullah,
Hukum Perbankan dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, Banjarmasin:
Antasari Press, 2006).
Abdul Ghofur
Anshori, Hukum Perbankan Syariah UU NO. 21 Tahun 2008), Bandung: PT
Refika Aditama, 2009.
Muhammad, Manajemen pembiayaan Bank
Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005.
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank
Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2012.
Veithzal Rivai, Islamic
Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk
Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, ed.1, Jakarta:
RajaGrafindo Persada,2008.
Jundiani, Pengaturan
Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press,2009.
Muhammad Syafi‟i
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema insani, 2001.
Adi Warman
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Damaskus: Dar āl-fikr,
1428H/2007M.
Musthafa Dib
Al-bugha, buku pintar transaksi syariah, ter. Fakhri Gafur, Damaskus:
Darul Mustafa, 2009).
Veithzal Rivai, Islamic
Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk
Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa.
[1]Imam Abi Husain Muslim bin Al-hajj
Al-qusairi Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Fikr, 1993). Juz 2. hal. 47
[2]Ahmad Nahrawi Abdus Salam
al-Indunisi, Ensiklopedia Imam
Syafi’i, terj. Usman Sya‟roni, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008), hal. 258
[3]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam
Wa Adilatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-kattani (Jakarta: Gema Insani, 2011),
jilid 7, hal.104.
[4]Adi Warman Karim, Bank Islam
Analisi Fiqih dan Keuangan, (Cet. 10; Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M), hal.
30.
[5]Kasmir, Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya, (Cet.7; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 25.
[7]Burhanuddin Susanto, Hukum
Perbankan Syariah di Indoneia, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hal. 17.
[8]Sulham dan Ely Siswanto, Menejemen
Bank Konvensional dan Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal.
125-126.
[9]Zainul Arifin, Dasar-Dasar
Menejemen Bank Syariah, (Cet.6; Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), hal. 3-4.
[10]Ma‟ruf Abdullah, Hukum Perbankan
dan Perkembangan Bank Syariah di Indonesia, (Banjarmasin: Antasari Press,
2006), hal. 103.
[11]Abdul Ghofur Anshori, Hukum
Perbankan Syariah (UU NO. 21 Tahun 2008), (Bandung: PT Refika Aditama,
2009), Hal. 36.
[14]Veithzal Rivai, Islamic
Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk
Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, ed.1,(Cet.2 ; Jakarta: RajaGrafindo Persada,2008), hal.4-5.
[15]Jundiani, Pengaturan Hukum
Perbankan Syariah di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press,2009), hal.
125-126.
[16]Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: gema insani, 2001), hal. 171.
[17]Adi Warman Karim, Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan, (Damaskus:
Dar āl-fikr, 1428H/2007M), hal. 231-254.
[18]Musthafa Dib Al-bugha, buku
pintar transaksi syariah, ter. Fakhri Gafur, (Damaskus: Darul Mustafa,
2009), hal. 73.
[19]Veithzal Rivai, Islamic
Finansial Management: teori, konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis Untuk
Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, hal. 90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar