Kamis, 26 Januari 2017

MENDEKATKAN POTENSI ZAKAT DENGAN REALISASI PENGUMPULAN DANA ZAKAT

MENDEKATKAN POTENSI ZAKAT DENGAN REALISASI PENGUMPULAN DANA ZAKAT

ABSTRAK
STAIN Watampone
Mendekatkan potensi zakat dengan realisasinya tidak serta-merta tercapai begitu saja, tapi perlu adanya senergi antara semua pihak yang berkaitan dengan hal tersebut, untuk itu penelitian ini membahas tentang strategi mendekatkan potensi zakat dan realisasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) mengapa terjadi kesenjangan antara potensi zakat dan realisasi pengumpulannya, (2) langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk mendekakan potensi zakat dan realisasi pengumpulannya.
Berdasarkan pada tujuan penelitian tersebut di atas, maka desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriftif kualitatif. Artinya penelitian yang dilakukan ini akan mengurai terjadinya kesenjangan antara potensi zakat dan realisasi pengumpulannya serta strategi atau langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk mendekatkan potensi zakat dan realisasi pengumpulannya dengan dukungan teori sebagai landasannya dengan metode observasi, wawancara langsung kepada responden, dan dekumen dalam pengumpulan data-data yang diperlukan. Untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan tersebut, maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik Content Analysis dan Descriptive Analysis dengan model analisis interaktif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kesenjangan antara potensi zakat dan realisasinya yaitu, mayarakat lebih cenderung membayar zakat langsung ke mustahik, imam mesjid, dan pesantren dibandingkan dengan mebayar zakat ke lembaga zakat, kemudian langah-langkah yang perlu dilakukan untuk mendekakan potensi zakat dan realisasi pengumpulannya yaitu, (1) Penguatan Regulasi Zakat, (2) Mengelola Zakat dengan Baik, (3) Meningkatkan Kepercayaan Publik, (4) Mendayagunakan Zakat, (5) Merevitalisasi Lembaga Zakat.

Kata Kunci: Pengumpulan, Potensi, Zakat, Realisasi




PENDAHULUAN

Kesejahteraan merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat dengan cara melakukan pembangunan diberbagai bidang utamanya dalam bidang ekonomi, Pembangunan ekonomi merupakan suatu keharusan jika suatu negara ingin meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi merupakan upaya sadar dan terarah dari suatu bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui pemanfaatan sumber daya yang ada.[1]
Sehingga keberhasilan pembangunan terkadang hanya dilihat dari pencapaian ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita saja. Namun dalam perspektif islam, pembangunan merupakan proses peningkatan kesejahteraan, baik materi maupun non-materi, yang seimbang dan berkesinambungan dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral islam.[2] Dengan demikian, pembangunan dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang, diantaranya tercermin dalam kesehatan masyarakat yang baik, tingkat pendidikan yang baik, pendapatan perkapita yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang merata, turunnya angka kemiskinan, serta terciptanya keadilan dan kemakmuran masyarakat. Karena kemiskinan akan membawa pada kehinaan yang dilarang dalam islam, dan menjadi sumber kejahatan dalam seluruh aspek kehidupan sosial-ekonomi.



PEMBAHASAN
Konsep Zakat
1.    Pengertian Zakat
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh (numu>w) dan bertambah (ziya>dah). jika diucapkan, zaka> al-za>r’, artinya adalah tanaman itu tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zaka>t al-nafa>qah, artinya nafkah tumbuh dan bertambah jika diberkati. Kata ini juga sering dikemukakan untuk makna tha>ha>rah (suci).[3] Sementara itu yang dijelaskan dalam Lisa>n Al-arab, الزكاة  berarti kebaikan, kelayakan, dan kemanfaatan.[4]
Selain itu makna zakat yang dikemukakan oleh Yu>suf al-Qarda>wi> bahwa zakat dalam bahasa Al-Quran dan As-Sunnah disebut juga dengan sedekah, sehingga Mawardi[5] mengatakan sedekah itu adalah zakat dan zakat itu adalah sedekah, berbeda nama namun satu pengertian.
Dikatakan zakat, karena ia menyucikan tanggungjawab melaksanakan kewajiban, menyucikan jiwa dari kotoran kikir dan tamak, dan mensucikan harta dari hak orang lain yang berada di dalamnya, sehingga barakahlah yang hidup dan penghidupan orang yang melaksanakannya. Karena baik dan terpuji budi pekertinya, dan kemudian menjadi barakah dan tumbuh berkembang ekonomi sosial. Dikatakan sedekah, karena mengeluarkan sebagian harta yang pada hakikatnya merupakan milik orang lain, merupakan bukti kebenaran iman orang yang berzakat dan bukti bahwa ia membenarkan agama dan hari kemudian.
Firman Allah swt. dalam QS. 9:104 disebutkan bahwa tidakkah mereka mengetahui bahwasannya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima sedekah, dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.[6] Jadi menurut ayat tersebut, zakat pada hakekatnya adalah menyerahterimakan harta benda kepada Allah swt. sebelum diterima oleh orang fakir dan orang yang berhak menerimanya. Zakat adalah proses pengoperan hak milik kepada Allah swt. Dengan demikian, zakat dapat didefinisikan mengeluarkan harta benda kepada Allah Ta’ala. Jadi, proses pengoperannya itulah yang disebut zakat, bukan harta yang diberikannya, dengan demikian dasar zakat yakni harta yang menjadi obyek zakat disebut dengan harta benda zakat. Subyek yang menerima zakat disebut dengan mustahi>q. Orang yang mempunyai harta benda yang mengeluarkan zakatnya disebur muzakki>. Sedangkan orang yang memungut atau mengurusi zakat disebut dengan a>mil zaka>t.
Sementara secara istilah, ulama mengemukkan pengertian zakat dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama. Pengertian-pengertian yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:
a)    Menurut Yu>suf al-Qarda>wi>, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak.[7]
b)   Menurut Wahbah al-Zuha>ili, zakat adalah zakat itu mensucikan orang yang mengeluarkannya dan akan menumbuhkan pahalanya.[8]
c)    Menurut Didin Hafidhuddin, zakat adalah ibadah maaliyah ijma’iyah yang memiliki posisi penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun pembangunan kesejahteraan umat.[9]
d)   Menurut Nuruddin Mhd. Ali, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak.[10]
e)    Sedangkan yang disebutkan dalam Undang-undang RI No. 23/ 2011, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat islam.[11]
Dari kesimpulan tersebut di atas, secara jelas dapat dipahami bahwa harta yang dimiliki oleh seorang muslim tidaklah bersifat absolut. Artinya, tidak ada kepemilikan aset kekayaan yang bersifat mutlak. Ada bagian/prosentase tertentu yang diatur oleh syariah sebagai milik orang lain, sehingga harus dialirkan dan didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Maka dalam perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat didefenisikan sebagai suatu tindakan mentransfer kekayaan dari golongan muslim kaya kepada golongan muslim tidak punya. Transfer kekayaan itu berarti transfer sumber-sumber daya ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis. Misalnya, seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakannya untuk berkonsumsi atau berproduksi.
Zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat dan menciptakan keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara lebih baik dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan demikian zakat sebagai salah satu instrumen mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.[12] Oleh karena itu, jika zakat itu disetujuai sebagai salah satu cara dari berbagai cara untuk program pemerataan, maka hal-hal yang harus ditentukan, antara lain:[13] (1) kesadaran dan kemauan muzakki>, (2) memiliki kekuatan hukum formal tentang zakat, dan (3) lembaga pengelolah zakat harus solid dan profesional.
2.    Tujuan Zakat
Tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin.[14]
Para cendekiawan muslim banyak yang menerangkan tentang tujuan-tujuan zakat, baik secara umum yang menyangkut tatanan ekonomi, sosial dan kenegaraan maupun secara khusus yang ditinjau dari tujuan-tujuan nash secara eksplisit, yaitu di antaranya:[15] (1) menyucikan harta dan jiwa muzakki, (2) mengangkat derajat fakir miskin, (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat islam dan manusia pada umumnya, (4) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama bagi yang memiliki harta, (5) membebaskan si penerima (mustahi>q) dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tenteram dan dapat meningkatkan kekhusyukan ibadat kepada Allah swt., (6) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial, (7) tujuan yang meliputui bidang moral, sosial, dan ekonomi: dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Sedangakan, dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat. Dan dibidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk pembendaharaan negara.
Sementara itu, tujuan zakat yang disebutkan dalam Undang-undang RI No. 23/2011, pengelolaan zakat bertujuan:[16] (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu zakat mampu menciptakan keadilan sosial dalam penanggulangan kemiskinan dan merupakan mekanisme distribusi kekayaan, sehingga terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat yang dapat pula dinikmati orang miskin.
3.    Hikmah Zakat
Dengan adanya zakat maka diharapkan akan dapat memberikan hikmah yang besar dalam kehidupan baik individu maupun sosial. Hikmah zakat adalah sebagai berikut:[17] (1) Mensyukuri karunia ilahi, (2) Menumbuhsuburkan harta, (3) Membersihkan diri dari sifat serkah, iri, kikir, dan dosa, (4) Melindungi mayarakat dari konflik sosial, (5) Menggerakkan aktivitas ekonomi, (6) Mengurangi jurang (gap) kaya miskin, (7) Menumbuhkan kasih sayang dan solidaritas sosial.
Jenis-jenis Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu, hukum zakat adalah wajib (fardlu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti salat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.
Para fuqaha menyebut zakat ini dengan zakat kepala, atau zakat perbudakan atau zakat badan[18].
Hikmah disyariatkan zakat fitrah terdiri dari dua hal, yaitu:[19]
a)    Bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kadangkala terjerumus pada perkataan dan perbuatan yang tidak berguna, padahal puasa yang sempurna itu adalah lidah dan anggota tubuh yang lainnya ikut berpuasa. Namun, manusia sebagai hamba yang dhaif tidak lepas dari hal-hal tersebut. Oleh karena itu, zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan bagaikan pembersih dari hal kotor yang demikian atau untuk menambal kekurangan.
b)   Bagi masyarakat, dapat menumbuhkan rasa kecintaan antara orang-orang miskin atau yang membutuhkan dengan orang-orang kaya. Maka tetaplah dengan hikmah syariat, mewajibkan sesuatu bagi pemenuhan kebutuhan orang miskin dan pencegahannya dari meminta-minta pada Hari Raya.
Dari hikmah syariat juga dapat ditetapkan tentang sedikitnya ukuran yang wajib dikeluarkan, yaitu yang mudah bagi orang-orang dari makanan pokoknya, sehingga bisa diharapkan semua orang bisa menunaikannya.[20]
1.    Zakat Ma>l (harta)
Selain zakat fitrah, terdapat pula zakat harta/ma>l yang perhitungannya didasarkan pada harta atau pendapatan yang diperoleh seseorang. Menurut bahasa harta adalah sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk dimiliki, memanfaatkannya, dan menyimpannya. Sementara secara syariat harta adalah segala sesuatu yang dikuasai dan dapat digunakan secara lazim. Perbedaan antara zakat fitrah (nafs) dengan zakat ma>l adalah zakat fitrah pokok persoalannya yang harus dizakati adalah diri atau jiwa bagi seorang muslim beserta diri orang lain yang menjadi tanggungannya, sedangkan dalam zakat ma>l, persoalan pokoknya terletak pada pemilikan harta kekayaan yang batasan dan segala ketentuannya diatur oleh syariat berdasarkan dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
a)    Zakat uang
Pada zaman Rasulullah manusia belum mengenal uang. Sahingga pada saat Rasulullah mewajibkan zakat, beliau memakai ukuran mata uang pada masa itu yaitu dinar (emas) dan dirham (perak) . Sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan kaum muslimim atas kewajiban zakat uang, maka mereka pun bersepakat atas ukuran kewajiban pengeluaran zakatnya.
Syariat Islam tidaklah mewajibkan zakat dalam semua bilangan daripada uang. Sedikit atau banyak. Tidaklah setiap masa, pendek atau panjang. Tidak atas setiap pemilik uang tanpa memandang tujuan dan kebutuhannya. Tapi mensyaratkan kewajiban zakat pada uang dengan syarat tertentu, seperti halnya pada syarat harta yang wajib dizakatkan yaitu:[21]
1.    Cukup nisab, syarat pertama adalah hendaklah uang itu mencapai nisab. Nisab seperti kita ketahui adalah batas minimal kekayaan menurut pandangan syariat. Kurang dari itu dianggap harta yang sedikit dan dimanfaatkan, dan pemilikya idak dianggap kaya. Kita ketahui dari halaman-halaman terdahulu ukuran nisab uang untuk sekarang ini. Dan kita telah memilih bahwa nisab uang adalah apa yang menyamakan nilai 85 gr emas, yang sama dengan 20 dinar,
2.    Waktu wajib mengeluarkan zakat, syarat kedua untuk mengeluarkan zakat adalah sampainya satu tahun (haul), ini berarti bahwa uang tidak dikeluarkan zakatnya kecuali dalam setahun. Maka dari itu setiap cukup waktu satu tahun, harta yang cukup nisab dan haul wajib dikeluarkan zakatnya,
3.    Bebas dari hutang, menjadi syarat bagi nisab uang yang diwajibkan zakatnya untuk bebas dar hutang yang menghilangkan nisab atau mengurangimya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan hutang yang dapat mencegah penunaian zakat,
4.    Kelebihan dari kebutuhan pokok, para fuqaha dari pihak mazhab Hanafi mensyaratkan nisab melebihi kebutuhan-kebutuhan primer[22] bagi pemiliknya.
b)   Hasil Pertanian (Tanaman-tanaman dan Buah-buahan)
Semua tanaman dan buah-buahan yang tumbuh di atas bumi ini merupakan karunia dan ciptaan Allah swt. untuk dipergunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena sebagai kesyukuran atas nikmat tersebut, maka wajar jika Allah mewajibkan zakat atas tanaman atau buah-buahan yang ada. Zakat tanaman atau buah-buahan yaitu 10%. Zakat ini berbeda dengan zakat yang lainnya, bahwa zakat ini tidak tergantung dengan waktu satu tahun, tapi setiap panen.[23]
c)    Zakat Hewan Ternak
Hewan yang ada di dunia sangat banyak, tetapi yang berguna bagi manusia hanya sebagian kecil. Ada diantaranya ynag plaing berguna yaitu: unta, sapi, kerbau, kambing dan biri-biri.[24]
Hewan ternak itu semuanya diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, antara lain untuk ditungganginyasebagi kendaraan, dimakan dagingnya, diminum susunya dan diambil kulit dan bulunya.[25] Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia bersyukur atas nikmat tersebut.
Realisasi konkrit dari syukur tersebut sebagai tuntunan Al-Qur’an dan hadist Nabi adalah zakat yang sesuai dengan batasan nisab dan besar yang telah ditetapkan untuk dapat dikeluarkan zakatnya.[26]
Nisab zakat ternak dihitung dari jumlah:[27]
1.    Nisab unta: minimal 5 ekor ke atas suadah wajib dikeluarkan zakatnya.
2.    Nisab sapi dan kerbau: minimal 30 ekor, 30-39 ekor sapi dikeluarkan 1 ekor umur 1 tahun, 40-59 ekor keluar 1 ekor umur 2 tahun,  60-69 ekor dikeluarkan 2 ekor umur 1 tahun, dan seterusnya setiap tambahan 30 ekor sapi, kadar zakatnya tambah 1 ekor sapi umur 2 tahun.
3.    Nisab kambing, biri-biri dan domba: minimal 40 ekor,  40-120 ekor keluar 1 ekor, 121-200 ekor dikeluarkan 2 ekor, 201-300 ekor dikeluarkan 3 ekor, dan seterusnya setiap tambahan 100 ekor, kadar zakatnya tambah 1 ekor..
d)   Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak merupakan logam galian yang berharga dan merupakan karunia Allah. Barang siapa memiliki satu nisab emas dan perak selama satu tahun penuh, maka ia berkewajiban mengeluarkan zakatnya bila syarat-syarat yang lain telah terpenuhi artinya bila ditengah-tengah tahun, yang satu nisab tidak dimiliki lagi atau berkurang tidak mencapai satu nisab lagi, karena dijual atau sebab lain, berarti kepemilikan yang satu tahun itu terputus. Menurut Ibnul Mundzir dalam Shiddieqy bahwa para ulama telah mengeluarkan ijma’, bahwa apabila ada 20 misqal atau 20 dinar harganya 200 dirham, sudah wajib zakat. Tegasnya nisab emas adalah 20 misqal atau 90 gram dalam satuan lain. Sedangkan zakat perak, wajib mengeluarkan zakatnya apabila berjumlah 1 auqiyah sama dengan 40 dirham, sehingga kalau 5 auqiyah sama dengan 200 dirham. Para ulama sepakat dalam menentukan nisab perak ini dalam 5 auqiyah.[28]
Adapun emas dan perak yang jika dipakai sebagai perhiasan bagi wanita, maka hukumnya menjadi lain, yang dalam hal ini para fuqaha bebeda paham.
e)    Zakat Barang Dagangan
Perdagangan merupakan salah satu bentuk usaha yang legal. Zakat perdagangan atau perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntuhkan untuk jual beli. Zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan maupun perserikatan. Segala jenis harta atau barang yang diperdagangkan[29]. Seseorang yang memiliki kekayaan perdagangan dan sudah berlalu setahun, dan nilainya sudah sampai senisab pada akhir tahun itu, semuanya itu wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dihitung dari modal dan keuntungan, dan telah memenuhi syarat-syaratnya. [30]
f)    Zakat Barang Temuan dan Hasil Tambang
Barang temuan yaitu berbagai macam harta benda yang disimpan oleh orang-orang dulu di dalam tanah, seperti emas, perak, tembaga, pundi-pundi berharga dan lain-lain. Para ahli fikih telah menetapkan bahwa orang yang menemukan benda-benda seperti itu diwajibkan langsung mengeluarkan zakatnya sebesar 1/5 bagian (20%), tanpa menunggu sampai satu tahun dan siapapun yang berhak menerimanya.[31]
2.    Zakat Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian. Penghasilan atau gaji yang mereka terima jika sampai nisab dan telah cukup setahun mereka miliki, mereka wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5%. Demikianlah penghasilan itu jika diukur dengan syarat nisab emas.[32]
Bila seseorang sudah mengeluarkan gaji, penghasilan atau sejenisnya pada waktu menerimanya maka tidak wajib zakat lagi pada waktu masa tempo tahun sampai sehingga tidak terjadi kewajiban mengeluarkan zakat dua kali pada satu kekayaan dalam satu tahun.[33]
Pengelolaan Zakat
1.    Potensi Zakat di Indonesia
Zakat merupakan potensi besar yang dimiliki negara-negara Muslim termasuk Indonesia, untuk menciptakan keadilan sosial, integrasi sosial serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat dan menciptakan keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan haknya secara lebih baik dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, zakat akan berfungsi sebagai salah satu instrumen mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Karena instrumen zakat secara jelas merupakan mekanisme distribusi kekayaan sehingga terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat, agar juga dinikmati orang miskin dan termarginalkan.[34]
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi zakat Indonesia adalah besar. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundatian (2005) menunjukkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun. di antara potensi tersebut, Rp.5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. jumlah dana sebesar dana tersebut, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. sementara itu, Public Interes Research and Advhocachy Center (PIRAC) mengungkapkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 9,09 trliun pada tahun 2007 potensi ini meningkat Rp 4,64 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya diduga sebesar Rp 4,45 triliun. sedangkan Beik (2007) membuat estimasi dengan mengasumsikan bahwa besar zakat yang dapat dikumpulkan adalah 2,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB) sehingga potensi zakat mencapai Rp 44,1 triliun.[35]
Namun dalam kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengelola zakat (BAZ dan LAZ) masih dibawah Rp. 1 triliun. Tentu saja dalam kondisi demikian maka peran optimum yang diharapkan dari instrumen zakat untuk redistribusi, alokasi dan stabilisasi perekonomian masih sulit diharapkan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendekatkan realisasi dan potensi yang ada, sekaligus mengoptimalisasi pengaruhnya bagi perekonomian nasional.[36]
2.    Milestones Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia
Secara prinsipil, pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh pemerintah maupun individu. Namun mayoritas ulama sepakat bahwa sebaiknya pengelolaan dana zakat ini dilakukan dan diatur oleh pemerintah. Dalam prakteknya di Indonesia, perkembangan pengelolaan zakat sangat dipengaruhi oleh pemerintah yang berkuasa serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat pada masing-masing periode pemerintahan tersebut. Misalnya di era Kolonial Belanda, pengelolaan zakat cenderung dihalangi oleh pemerintah Kolonial tersebut karena diduga dana zakat tersebut digunakan untuk membiayai perjuangan melawan pemerintahan Belanda. Sementara pada awal kemerdekaan Indonesia, pemerintah belum terlalu memperhatikan pengelolaan zakat dan sibuk dalam upaya mempertahankan kemerdekaan indonesia. Dengan demikian, pengelolaan zakat lebih banyak dilakukan secara individu oleh masyarakat muslim.[37]
Pada saat ini, era pemerintahan reformasi, pengelolaan zakat di indonesia ditandai dengan penguatan institusi zakat nasional, sebagaimana tercermin dalam berkembangnya wacana amandemen UU Pengelolaan Zakat No. 38/1999, serta sinergi yang dilakukan oleh berbagai lembaga dan badan amil zakat untuk mencapai tujuan bersama dalam apa yang dinamakan sebagai Gerakan Zakat Nasional.[38]
a)    Perkembangan Zakat di Era Pemerintahan Kolonial (Sebelum 1945) Tahap I Pengelolaan Zakat Secara Individu
Sejak Islam datang ke nusantara, zakat telah menjadi salah satu sumber dana untuk kepentingan perkembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan zakat tertama bagian sbilillah-nya, merupakan salah satu sumber dana perjuangan melawan pemerintah kolonial belanda. Ketika satu persatu tana air kita dikuasai oleh penjajah belanda, pemerintah kolonial itu mengeluarkan Bijblad no. 1892 tanggal 4 agustus 1993 yang berisi kebijaksanaan pemerintah belanda mengenai zakat. Awalnya alasan yang menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah klasik rezim jadinya Kolonial: mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh pegawai pribumi yang bekerja melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah belanda, tapi tidak diberi uang atau tunjangan untuk membiayai kehidupan mereka dan keluarganya. Lebih jauh lagi, untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu berbagai upayah diplomatis dan no-diplomatis atau militer dilakukan untuk mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, pada masa yang singkat ini praktis tidak ada perkembangan dalam hal penlolaan zakat di Indonesia.[39]
b)   Perkembangan Zakat di Era Pemerintahan Orde Lama (1945-1967) Tahap II Pengeolaan Zakat Secara Individu
Walaupun konstitusi sudah secara tidak langsung mengkomodasi pengelolaan zakat, dalam peraktenya sepanjang periode 1950-1960an ini perhatian pemerintah orde lama masih terfokus pada hal-hal yang diperlukan untuk memulihkan situasi ekonomi dan politik Indonesia. Hal ini bisa dimengerti mengingat kemerdakaan yang baru saja diperoleh dengan susah payah oleh bangsa Indonesia. Selain itu, banyak pula terjadi pemberontakan di tanah air ynmg baru merdeka ini yang sangat menyita perhatian pemerintah pusat. Adapula yang berpendapat bahwa memang pemerintah pada periode ini cenderung menganut paham sekuler yang memisahkan kehidupan kenegaraan dengan Keagamaan. Karena berbagai faktor itulah, pada masa pemerintahan orde lama belum banyak perkembangan yang berarti dalam hal pengelolaan zakat di tanah air.[40]
c)    Perkembangan Zakat di Era Orde Baru (1968-1998) Tahap Kesadaran
Kurang aspiratif dan optimalnya pengelolaan zakat yang dilakukan oleh negara menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif untuk mengelola zakat secara lebih produktif sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya. Salah satu Lembaga Amil Zakat yang paling awal didirikan oleh masyarakat adalah Dompet Dhuafa (DD) Republika yang didirikan oleh Harian Umum Republika tanggal 2 Juli 1993. Pada tanggal 7 Juli 1997 dilahirkan pula Forum Zakat (FOZ) sebagai wadah yang memayungi keberadaan LAZ untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan zakat. Untuk memaksimalkan pengelolaan dana ZIS, FOZ menjalin kerjasama antara istitusi pengelola zakat, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun non-pemerintah. FOZ diharapkan dapat mengatasi konflik yang mungkin terjadi diantara lenmbaga zakat dengan anggotanya. FOZ menyelenggarakan berbagai peletihan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan anggotanya.  Ke depan FOZ juga diharapkan untuk menjadi lembaga yang memiliki kekuatan untuk mengembangkan pengelolaan zakat di indonesia.[41]
d)   Perkembangan Zakat di Era Pemerintahan Transisi (1999-2000) Tahap Institusionalisasi Pengelolaan Zakat
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami serangkaian kritis ekonomi yang kemudian dianggap banyak pihak sebagai pemicu terjadinya reformasi dalam berbagai bidang kehidupan dan kenegaraan. Seiring dengan semakin besarnya kiprah lembaga-lembaga pengelolaan zakat, khususnya yang non-pemerintah, pemerintah juga semakin menyadari bahwa sudah saatnya dibuat institusi dan regulasi zakat di Indonesia. Pada tanggal 23 September Presiden B.J. Habibie mengesahkan Undang-undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk mendukung pelaksanaan Undang-undang tersebut, pemerintah yang diwakili Menteri Agama mengeluarkan Keputusan menteri Agama (KMA) RI No. 581/1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38/1999 (yang kemudian direvisi oleh KMA-RI No. 373/2003) dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masayarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291/2000 tentang Pengelolaan Teknis pengelolaan Zakat. Kehadiran perundang-undangan ini disambut gembira oleh umat Islam. Akan tetapi, berbagai kritik terhadap isi UU mengenai pengelolaan zakat tersebut juga banyak dilontarkan. Di antara isu-isu yang menjadi kritikan adalah sifat sukarela pembayaran zakat serta kurangnya harmonisasi dengan aturan perundang-undangan terkait lainnya, seperti aturan perpajakan. Walaupun demikian, pada tahap institusiolisasi ini perkembangan lembaga-lembaga amil zakat, khususnya LAZ tetap mengalami perkembangan yang pasti. BAZIS dan LAZ-LAZ baru terus bermunculan, sementara LAZ-LAZ besar terus melakukan ekspansi ke seluruh pelosok Indonesia.[42]
e)    Perkembangan Zakat di Era Pemerintahan Reformasi (2001-sekarang) Tahap Penguatan Institusi dan Sinergi
Di tahun 2006, beberapa even penting terjadi dan mewarnai dunia perzakatan nasional dan internasional. Pada tanggal 13-15 maret 2006, di adakan perhelatan zakat antar bangsa di Kuala Lumpur Malaysia. Konferensi ini dihadiri tidak kurang dari 200 orang dari berbagai institusi pengelola zakat di Asia Tenggara dan melahirkan Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT). DZAT merupakan wadah penghimpunan par tokoh dan pelaku zakat di Asia Tenggara yang bertujuan untuk menjadi rujukan dalam memutuskan seputar permasalahan zakat, baik dalam hal fikih dan mnajemen pengelolaan zakat ditingkat Regional.
Terinspirasi oleh DZAT,  di tanah air gebrakan juga terjadi dalam dunia zakat di Indonesia di tahun 2006 tersebut. BAZNAS, yang merupakan ujung tombak pengumpulan dana zakat oleh pemerintah, mengadakan sinergi dengan Dompet Duafa Repoblika yang merupakan LAZ terbesar saat itu. Namun setahun kemudian, karena berbagai faktor sinergi ini tidak dilanjutkan menariknya, semenjak awal tahun 2008 wacana  penyatuan dan sinergi antara BAZ dan LAZ kembali mengemuka. Dalam wacana ini, Departemen Agama berpendapat bahwa sebaiknya LAZ disatukan kedalam tubuh BAZNAS dan bertindak sebagai UPZ (unit pengumpul zakat). Sedangkan fungsi penyaluran zakat akan dijalankan langsung oleh kantor pusat. tujuanya dalah agar distribusi zakat dapat dilakukan secara merata. Akan tetapi, pihak pengelola LAZ merasa bahwa ide tersebut belum saatnya dilakukan saat ini. Pemerintah, khususnya Departemen Agama dinilai belum siap untuk menyatukan pengelolaan zakat secara Nasional. Ide tersebut sebaiknya dilakukan apabila pemerintah telah membentuk kementerian zakat dan wakaf tersendiri. Selain itu diharpkan sistem pengelolaan yang diterapkan pemerintah dimasa yang akan datang adalah sistem koordinatif  dan bukanya sistem komando. Saat ini, wacana ini masih terus berkembang dalam bentuk yang lebih formal yakni usulan amandemen UU pengelolaan zakat oleh poemerintah dan berbagai unsur masyarakat di tanah air.[43] 
3.    Lembaga Amil Zakat
a)    Pengertian Amil
Secara bahasa kata amil berarti wakil, agen, kuasa dan langganan. Kata ini berasal dari kata ‘a>mil, yang berarti pekerja, tukang dan pengatur pekerjaan. Pengertian amil dalam artinya yang sekarang bermula pada Nabi Muhammad saw. Nabi saw. menggunakan istilah tersebut bagi orang-orang yang ditunjuk olehnya sebagai petugas yang mengumpulkan dan menyalurkan sedekah dan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya.[44] Sedangkan menurut istilah, amil adalah orang atau badan hukum (panitia) yang mengurus zakat dan sedekah dengan cara mengumpulkan, mencatat, dan menyalurkannya kepada mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam.[45]
b)   Amil Zakat dalam Konteks Perundang-undangan
Amil zakat sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan perundang-undangan zakat di Indonesia adalah dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.[46]
Untuk melakukan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara




PENUTUP

Penyebab terjadinya kesenjangan antara potensi zakat dengan realisasi pengumpulannya yaitu mayarakat lebih cenderung membayar zakat langsung ke mustahik, imam mesjid, dan pesantren dibandingkan dengan mebayar zakat ke lembaga zakat. Demikian halnya pada sisi penyaluran zakat juga sangat sedikit karena dana zakat yang dikelolah oleh lembaga zakat juga zakat sedikit dan jauh dari potensi yang ada.
Langkah-langkah yang digunakan untuk mendekatkan potensi zakat dengan realisasi pengumpulannya yaitu: (1) Penguatan Regulasi Zakat, (2) Mengelola Zakat dengan Baik, (3) Meningkatkan Kepercayaan Publik, (4) Mendayagunakan Zakat, (5) Merevitalisasi Lembaga Zakat.











DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Cet. X (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2003),
Hafizh Anshari, (at.al), Ensiklopedi Islam, (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997)
Hikmat Kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Cet. I; Jakarta: QultumMedia, 2008
Lihat Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat pada Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 ayat 2.
Ridwan Mas'ud dan Muhammad, Zakat & Kemiskinan: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat,  Yogyakarta: UII Press, 2005
Sofyan S. Harahap, “Manajemen Zakat yang Profesional Pasca Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999”, Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol.VI No. 22 April-Juni 2007
Wahbah al-Zuha>ili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Beirut: Da>r al-Fikr, 1997
Yu>suf al-Qarda>wi>, Fiqh az-Zaka>t, Beirut Libanon: Mua>ssasa>t ar-Risa>lah, 1994
Garry Nugraha Winoto, “Pengaruh Dana Zakat Produktif Terhadap Keuntungan Usaha Mustahik Penerima Zakat”, Skripsi,  Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang , 2011, Tidak Diterbitkan,
Mustafa Edwin Nasution, dkk. (Ed.), “Indonesia Zakat and Development Report 2009”, Laporan Tahunan, 2009,



[1]Garry Nugraha Winoto, “Pengaruh Dana Zakat Produktif Terhadap Keuntungan Usaha Mustahik Penerima Zakat”, Skripsi,  Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang , 2011, Tidak Diterbitkan, h. 1
[2]Mustafa Edwin Nasution, dkk. (Ed.), “Indonesia Zakat and Development Report 2009”, Laporan Tahunan, 2009, h. 22
[3]Wahbah al-Zuha>ili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), Juz III, h. 1788
[4]Ibnu Mandzu>r, Lisa>n Al-arab, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), Juz I, h. 549
[5]Imam al-Mawardi, Meninggal 450 H, Al-ahkam as-sultaniah  
[6]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Cet. X (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2003), hlm. 162.
[7]Yu>suf al-Qarda>wi>, op.cit, h. 53/I
[8]Wahbah al-Zuha>ili>, loc. cit 
[9]Didin Hafidhuddin, op.cit., h.3
[10]Nuruddin Mhd. Ali, op.cit., h. 6
[11]Lihat Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat pada Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 ayat 2.
[12]Mustafa Edwin Nasution, op.cit.,  h. 104
[13]Ridwan Mas'ud dan Muhammad, Zakat & Kemiskinan: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Cet. I (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 63.
[14]Hikmat Kurnia dan A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Cet. I; Jakarta: QultumMedia, 2008), h. 9 
[15]Ibid., h. 9-10
[16]Lihat Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat pada Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 3 ayat 1.
[17]Sofyan S. Harahap, “Manajemen Zakat yang Profesional Pasca Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999”, Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol.VI No. 22 April-Juni 2007, h. 23-24
[18] Zakat Badan yaitu zakat untuk pribadi, bukan badan yang merupakan lawan dari jiwa dan nyawa. Ibid.
[19]Ibid., h. 925-926.
[20]Ibid., h. 926.
[21]Ibid., h. 270-272.
[22]Kebutuhan Primer yang dinukilkan dari Ibnu Malik yaitu yang pada hakikatnya dapat menghilangkan eksistensi manusia, seperti sandang, papan dan pangan, termasuk hutang. Ibid., h. 272.
[23]Ibid., h. 340.
[24]Ibid., h. 167.
[25]Ibid., h. 168.
[26]Ibid.
[27]Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 59.
[28]Yu>suf al-Qarda>wi, op.cit., h. 190-192.
[29]Barang yang diperdagangkan yaitu segala sesuatu yang dibeli atau dijual dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Ibid., h. 298.
[30]Ibid., h. 267-168.
[31]Ibid., h. 410.
[32]Ibid., h. 460.
[33]Ibid., h. 486.
[34]Mustafa Edwin Nasution, op. cit., h. 104
[35]Ibid, h. 104-105
[36]Mustafa Edwin Nasution, loc.cit
[37]Ibid., h. 3
[38]Ibid
[39]Ibid, h. 4
[40]Ibid, h. 4-5
[41]Ibid, h. 5-7
[42]Ibid, h. 8-10
[43]Ibid, h. 10-12
[44]Hafizh Anshari, (at.al), Ensiklopedi Islam, (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), h. 134
[45]Ibid
[46]Lihat, Penjelasan (Umum) Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar