PRODUK
DAN JASA PERBANKAN SYARIAH
Oleh:
LISDAMAYANTI
Jurusan
Syariah Prodi Ekonomi Syariah STAIN Watampone
ABSTRAK
Perbankan
syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perabankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam agama Islam untuk memungut atau meminjam dengan bunga atau yang disebut
dengan riba serta larangan untuk melakukan investasi untuk usaha-usaha yang
dikategorikan haram (misalnya perjudian). Bank syariah memiliki peran sebagai
lembaga perantara (intermediary) antara unit-unit ekonomi yang mengalami
kelebihan dana (surplus units) dengan unit-unit yang lain yang mengalami
kekurangan dana (defisit units). Melalui bank, kelebihan tersebut dapat
disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan, baik dalam bentuk produk maupun
jasa sehingga memberi manfaat kepada kedua belah pihak. Secara umum, produk
maupun jasa yang dimaksud dalam bank syariah adalah produk penghimpunan dana (funding),
produk penyaluran dana (financing), serta jasa (service).
Kata kunci: Perbankan Syariah, Produk Perbankan, Jasa Perbankan
ABSTRACT
Banking of Moslem law or banking of Islam system of banking
developed pursuant to Islam Moslem law. Effort forming of this system is
constituted by prohibition order in Islam to collect or borrow with flower or
so-called with lap and also the prohibition order to do invesment to the effort
which categorized is illicit (for example gambling). Bank Moslem law have role
as medium institute (intermediary) between natural economic units of
excess of fund ( surplus of units) with natural other units lacking of
fund ( deficit of units). Through bank, the excess can be channelled to
proper partiess, good in the form of service and also product so that give benefit
to both parties. In general, such service and also product in Moslem law bank
is fund gathering product (funding), product channeling of fund (financing),
and also service (service).
Keyword: Banking Of Moslem Law, Product Banking, Service Banking
PENDAHULUAN
Perbankan
syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perabankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan
dalam agama islam untuk memungut atau meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan
riba serta larangan untuk melakukan investasi untuk usaha-usaha yang
dikategorikan haram ( misal usaha perjudian) dimana hal ini tidak dapat dijamin
dalam sistem perbankan konvensional.
Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Adapun Bank
syariah adalah bank yang dalam menjalankan operasinya dengan sistem hukum islam
(syariah). Fungsinya sama dengan bank konvensional yaitu menerima simpanan
uang, meminjamkan uang dan jasa keuangan lainnya, tetapi yang membedakan adalah
cara operasi, produk, kesepakatan, dan sistemnya.
Berkembangnya
bank-bank syariah di Indonesia dimulai sejak awal tahun 1990-an. Di Indonesia
pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalah Indonesia. Berdiri tahun 1992,
bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta
dukunagan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa
pengusaha muslim. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur
dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
Meskipun
bank syariah telah berdiri sejak awal tahun 1990-an, namun keberadaanya masih
kurang diminati masyarakat pada umumnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap produk atau jasa yang ditawarkan dari
bank-bank syariah tersebut dan atau kurangnya sosialisasi dari produk dan jasa
tersebut. Padahal dalam kaitanya dengan produk dan jasa, ada perbedaan yang
menyolok antara prinsip-prinsip pada produk dan jasa bank syariah dengan
prinsip dalam produk dan jasa bank konvensional. Tulisan ini akan mencoba
membahas mengenai produk dan jasa bank syariah.
PEMBAHASAN
Penghimpunan Dana
(Funding)
Sebagaimana
pada lembaga bank secara umum, dalam penghimpunan dana bank syariah
mempraktikkan produk tabungan dan giro (saving and current accounts) dan
deposito (investment accounts).[1] Prinsip operasional
syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Wadi’ah
dan Mudharabah.
1.
Tabungan
Menurut
Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008, tabungan adalah simpanan
berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan mudharabah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya
dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi
tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.[2]
Dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000, tabungan terdiri atas dua
jenis, yaitu:
a) tabungan yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yang
berupa tabungan berdasarkan perhitungan bunga.
b) tabungan yang dibenarkan secara prinsip syariah yang berupa
tabungan berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
2.
Deposito
Deposito
menurut Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 adalah investasi dana
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang bertentangan dengan
prinsip syariah, yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah (UUS).[3]
Dalam
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000, deposito terdiri atas dua
jenis. Pertama, deposito yang tidak yang tidak dibenarkan secara prinsip
syariah, yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, deposito
yang dibenarkan secara syariah, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
3.
Giro
Giro
menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 adalah simpanan
berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, saranan perintah pembayaran lainnya, atau dengan
perintah pemindahbukuan.[4]
Dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan bahwa giro adalah
simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek,
bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
Giro ada dua jenis. Pertama, giro yang tidak dibenarkan secara syariah,
yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, giro yang
dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip mudharabah dan
wadi’ah.
Adapun
prinsip operasional syariah dalam penghimpunan dana, adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip Wadi’ah
Secara
bahasa wadi’ah ( الوديعة ) berarti meninggalkan (ترك ), titipan atau kepercayaan ( الامانة ).
Para ahli sepakat, wadi’ah hanyalah amanah tidak dengan dipertanggungkan
( لامضمونة
).[5]
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi ah yad dhamanah yang
diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda
dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah,
pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.
Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank)
bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan
harta titipan tersebut.[6]
Karena wadi’ah
yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad
dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah
bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang
dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima
titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
2.
Prinsip Mudharabah
Mudaharabah
( المضاربة ) bisa disebut dengan al-qiradh ( القراض )
yang berarti potongan (al-qath’u), karena pemilik modal memotong apabila
hartanya untuk diperdagangkan dengan sebagian keuntungannya.[7]
Dalam bahasa sederhana, mudharabah merupakan akad kerjasama antara dua
pihak, satu pihak memberikan modal kepada lainnya untuk berniaga. Kemudian
keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan yang telah disepakati.
Aplikasi
prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpanan bertindak sebagai shahibul
mal dan bank sebagai mudharib. Dana ini digunakan bank untuk
melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah. Jika terjadi
kerugian maka bank bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.[8]
Berdasarkan
kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah
terbagi tiga yaitu:
1. Mudharabah
Mutlaqah
Penerapan
mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga
terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan
deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi
bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.[9]
2. Mudharabah
Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah
ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik
dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank.
Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan
dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.[10]
3. Mudharabah
Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah
langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger)
yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha.[11]
Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh
bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.
3. Akad
Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya diperlukan juga akad
pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun
ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada
bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso
dan transfer uang.
Penyaluran Dana (Financing)
Secara
garis besar produk penyaluran dana kepada masayarakat adalah berupa pembiayaan
didasarkan pada akad jual beli yang menghasilkan produk murabahah, salam, dan
istishna; berdasarkan pada akad sewa-menyewa yang menghasilkan produk
berupa ijarah dan ijarah muntahiya bitamlik (ijarah wa iqtina); berdasarkan
akad bagi hasil yang menghasilkan produk mudharabah, musyarakah, muzzaroah, dan
muzaqah; dan berdasarkan pada akad pinjaman yang bersifat sosial (tabarru)
berupa qardh dan qardh al hasan.[12]
1. Prinsip Jual Beli
(a)
Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan
murabahah adalah penyediaan dana atau tagihan oleh bank syariah untuk
transaksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah margin/keuntungan
berdasarkan kesepakatan dengan nasabah yang harus membayar sesuai dengan akad.[13]
Dalam proses pembiayaan, bank syariah membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya, dimana bank membeli
barang yang diperlukan oleh nasabah atas nama bank sendiri sebelum menjual
barang tersebut kepada nasabah sebesar harga jual yaitu berupa harga pokok
barang ditambah keuntungan.
(b)
Pembiayaan Salam
Salam
merupakan bentuk jual beli barang dengan cara pemesanan berdasarkan persyaratan
dan kriteria tertentu sesuai kesepakatan serta pembayaran tunai terlebih dahulu
secara kontan. Pembiayaan salam adalah penyediaan dana atau tagihan untuk
transaksi jual beli barang melalui pesanan (kepada nasabah produsen) yang
dibayar dimuka secara tunai oleh bank berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
dengan nasabah pembiayaan yang harus melunasi hutang atau kewajibannya sesuai
dengan akad. Dalam menjalankan akad salam, pihak bank terlebih dahulu harus
bernegosiasi dengan calon nasabah pembiayaan melalui akad salam pertama.
(c) Pembiayaan
Istishna
Menurut jumhur
ulama fuqaha, bai’ al-istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’
as-salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’
as-salam. Produk istishna menyerupai
produk salam, namun dalam istishna pembayaran dapat dilakukan
oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran.[14]
2. Prinsip Sewa (Ijarah)
Al-Ijarah
berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwadhu
(ganti). Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang
dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Ijarah berarti
lease contract dan juga hire contract. Dalam konteks perbankan
syariah, ijarah adalah lease contract di mana suatu bank atau
lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment) kepada salah satu
nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti
sebelumnya (fixed charge).[15]
Adapun ijarah
muntahiya bi at-tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual
beli dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barang di tangan si pembeli. Menurut Kamus Ekonomi Syariah, ijarah muntahiya
bi at-tamlik adalah ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak
yang menyewakan untuk menjadi kepemilikan kepada penyewa.[16]
3. Prinsip Bagi Hasil
(a)
Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah
adalah kerja sama usaha antara pihak pemilik dana (shahibul
maal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan
dibagi sesuai nisbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung
pemilik dana atau modal.[17]
Pembiayaan Mudharabah adalah penyediaan dana oleh bank untuk modal usaha
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan nasabah sebagai pihak yang
diwajibkan untuk melakukan setelmen atas investasi dimaksud sesuai ketentuan
akad.
Al-Mudharabah
juga dapat diartikan sebagai akad kerjasama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).[18]
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
(b) Pembiayaan
Musyarakah
Musyarakah
berasal dari kata syirkah yang berarti
percampuran. Para ahli fikih mendefinisikan sebagai akad antara orang-orang
yang berserikat dalam modal maupun keuntungan.[19]
Musyarakah merupakan kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati sbelumnya,
sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang
disertakan dalam usaha.[20]
Terdapat
dua jenis al-musyarakah, yaitu: a) Musyarakah pemilikan, tercipta
karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu
aset oleh dua orang atau lebih; dan b) Musyarakah akad, tercipta dengan
cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari
mereka memberikan modal musyarakah.[21]
Adapun
pengelompokan syirkah yang lebih spesifik lagi, antara lain:
1) Syirkah
Al-Milk
Syirkah
Al-Milk (Non Contractual Partnership) yaitu
kerja sama dalam kepemilikan atas suatu usaha dengan cara bersepakat untuk sharing
dana atau modal sebagai tanda bukti memiliki usaha tersebut tanpa didahului
dengan kontrak kerja sama formal antara pihak yang bekerjasama.
2) Syirkah
Al-Uqud (Syirkah Transaksional)
Syirkah
Uqud (disebut juga Contractual Partnership) yaitu
akad kerja sama untuk melakukan suatu proyek atau usaha bisnis dengan
memberikan sharing, baik dana maupun tenaga yang dilalui dengan mengadakan
kontrak kesepakatan atau persetujuan yang diperjanjikan bersama di antara
mereka yang bekerja sama ini.[22]
Syirkah
Al-Uqud diklasifikasikan menjadi:
a)
Syirkah Al-‘Inan, yaitu akad kerja sama antara dua orang atau lebih dimana setiap pihak
memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja serta sepakat untuk
berbagi keuntungan atau kerugian, dimana porsi masing-masing pihak (baik dalam
dana, kerja, atau bagi hasil) tidak harus sama.
b)
Syirkah Al-Mufawadah, adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing
pihak memberikan kontibusi yang sama tentang dana, partispasi kerja, dan
berbagi keuntungan/kerugian dalam jumlah yang sama.
c)
Syirkah A’maal disebut juga dengan syirkah abdan, yaitu kontrak kerja sama antara
dua orang/lebih yang memiliki profesi sama untuk menerima pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut.
d)
Syirkah Wujuh, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang/lebih yang sama-sama memiliki
keahlian dalam bisnis tanpa modal/uang. Mereka membeli barang secara kredit
dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan hasilnya
mereka saling berbagi keuntungan/kerugian berdasarkan kontribusi jaminan kepada
penyuplai.[23]
e)
Syirkah Mudharabah, merupakan kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih yang mana satu pihak
sebagai shahibul maal yang menyediakan dana 100% untuk keperluan usaha,
dan pihak lain tidak menyerahkan modal dan hanya sebagai pengelola atas usaha
yang dijalankan, disebut mudharib.[24]
4. Akad Pinjam-Meminjam yang
Bersifat Sosial
Salah
satu produk perbankan syariah yang lebih mengarah kepada misi sosial ini adalah
qardh. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan. Dalam fikih klasik, al-qardh dikategorikan dalam akad taawuniah
yaitu akad yang berdasarkan prinsip tolong-menolong.
Qardh termasuk produk pembiayaan yang disediakan oleh bank dengan ketentuan bank
tidak boleh mengambil keuntungan berapapun darinya dan hanya diberikan pada
saat keadaan emergency. Bank terbatas hanya dapat memungut biaya
administrasi dari nasabah. Nasabah hanya berkewajiban membayar pokoknya saja,
dan untuk jenis qardh al-hasan pada dasarnya nasabah apabila memang
dalam keadaan tidak mampu tidak perlu mengembalikannya.
5. Akad Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Akad
pelengkap tersebut, di antaranya: Hiwalah (alih utang-piutang), Rahn (gadai),
Qardh, Wakalah (perwakilan), dan Kafalah (garansi bank).
Prinsip Jasa (Fee-Based Service)
Bank
syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan
mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara
lain berupa :
(a) Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang
wajib menanggungnya. Dalam istilah Islam merupakan pemindahan beban hutang dari
muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau
orang yang berkewajiban membayar hutang.[25]
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada factoring (anjak
piutang), post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih
tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
Hanafi
membedakan hiwalah menjadi dua
jenis, yaitu:
1)
Hiwalah mutlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada orang lain dan tidak
mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain
kalau muhal ala’ih tidak punya hutang kepada muhil, maka hal ini
sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak.
2)
Hiwalah muqayyadah, seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya.
Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para
ulama.[26]
Dalam
mengaplikasikan akad hiwalah pada produk perbankan syariah ini paling
tidak terdapat tiga pihak yang diantaranya diikat dengan perjannian. Ketiga
pihak tersebut, yaitu bank sebagai faktor (muhal ‘aliah), nasabah selaku
klien (muhil), dan pihak yang mempunyai hutang kepada nasabah (customer).
(b) Kafalah
Kafalah ialah menjadikan seseorang sebagai penjamin (kafil) dalam pelunasan
atau pembayaran (hutang) yang menjadi tanggungjawab orang lain. Dengan kata
lain kafalah berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang menjadi
tanggungannya.[27] Jaminan yang diberikan
oleh orang lain selaku pihak ketiga ini dikenal dengan istilah borgtocht atau
personal guaranty.[28]
Dalam praktiknya penanggungan hutang ini dapat dilaksanakan perorangan,
ataupun oleh institusi perbankan (bank guaranty).
Aplikasi
kafalah pada perbankan berdasarkan kepada jenis kafalah tersebut,
diantaranya:
1)
Al-Kafalah bi al-nafs yaitu akad yang memberi jaminan kepada individu, misal, seorang nasabah
yang mendapat pembiayaan dari bank dengan jaminan nama baik dan ketokohan
(pemuka masyarakat). Walaupun bank secara fisik tidak memegang sesuatu apapun,
tetapi bank berharap penjamin tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika
nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2)
Al-Kafalah bi al-mal, ialah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
3)
Al-Kafalah bi
al-taslim, jenis kafalah ini biasa
dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa, pada saat
berakhirnya masa penyewaan. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh
bank untuk kepentingan nasabah dalam kerja sama dengan perusahaan penyedia jasa
penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran oleh bank dapat berupa
deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan upah kepada nasabah.
4)
Al-kafalah al-munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi masanya untuk kepentingan atau
tujuan tertentu. Salah satu bentuk al-kafalah al-munjazah adalah
pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds yaitu jaminan yang
dikeluarkan oleh bank, karena permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak
ketiga (pemilik projek) sebagai mitra kerja. Permintaan jaminan disebabkan
kekhawatiran nasabah terhadap mitra kerja apabila ia ingkar janji dalam
menyelesaikan sesuai dengan perjanjian. Hal ini biasa dilakukan oleh perbankan
dan hal ini sesuai dengan bentuk akadnya.
5)
Al-kafalah
al-ma’allaqah, yaitu jaminan yang merupakan
penyederhanaan dari al-kafalah al-munjazah baik oleh industri perbankan
maupun perusahaan asuransi.[29]
(c) Wakalah
Istilah wakalah
menurut bahasa berarti menyerahkan dan menjaga. Pengertian wakalah menurut
syara’ berarti menyerahkan kekuasaan kepada orang lain untuk dikerjakan.[30]
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap
orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya
sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan pekerjaan kepada
orang lain untuk mewakili dirinya.
Pemberian
kuasa (wakalah) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian
dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang (kekuasaan)
kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan, dan orang
lain tersebut menerimanya, dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi
kuasa. Dalam perbankan, nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili
dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.
Dalam fiqih
berdasarkan ruang lingkupnya, wakalah dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
1)
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala
urusan.
2)
Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan
tertentu.
3)
Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al-muqayyadah tetapi lebih sederhana
dari al-mutlaqah.[31]
(d)
Gadai
Rahn menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang
memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga bisa diartikan menjadikan barang
yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan hutang,
sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semuanya atau
sebagian. Dengan kata lain rahn adalah akad berupa menggadaikan barang
dari satu pihak ke pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.
Barang
gadai berada dalam kekuasaan pemberi jaminan sampai seluruh hutang dibayarkan.
Jika hutang telah diselesaikan oleh pemberi jaminan, maka barang gadai dapat
lepas. Orang yang menggadaikan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan barang
gadai, baik melalui pemakaian, penggunaan tempat, sewa, peminjaman, dan
sebagainya tanpa seizin pihak yang meminjamkan uang. Demikian juga dengan pihak
yang meminjamkan uang tidak dapat memiliki barang itu tanpa seizin pihak yang
menggadaikan. [32] Pihak yang menggadaikan
tidak memiliki hak jual dan hibah atas barang gadai.
Rahn yang ada di dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai menahan asset
nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang dikucurkan oleh pihak
bank. Rahn termasuk salah satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam
konteks perusahaan umum rahn merupakan produk utama.
(e) Sharf
Secara
harfiah sharf diartikan sebagai penambahan, penukaran, penghindaran,
pemalingan, atau transaksi jual beli. Adapun secara istilah sharf adalah
perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli
mata uang asing (valuta asing), dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang
yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis
(misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya). Pendapat lain mengatakan bahwa Sharf
adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta
asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau
dengan mata uang asing lainnya.
Aplikasi
dalam lembaga keuangan: sharf dilakukan dalam dua macam, pertama dalam
bentuk bank notes (uang kertas fisik); yang kedua, melalui
transfer.[33] Akad sharf dipraktikkan
oleh bank syariah dalam produk jasa berupa tukar-menukar mata uang asing dengan
mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan
mendapatkan imbalan berupa selisih antara kurs jual dan kurs beli yang ada,
ditambah dengan biaya-biaya administrasi yang besarnya ditentukan sesuai dengan
kebijakan bank yang bersangkutan.
(f) Al-Joalah
Bentuk
jasa pelayanan ini tidak disebutkan dalam ketentuan PBI, baik untuk Bank Umum
Syariah ataupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Namun, dalam PBI tersebut
tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kegiatan usaha lainnya sepanjang
tidak bertentangan dengan syariah.
Al-Joalah,
yaitu jasa pelayanan pesanan/permintaan tertentu dari
nasabah, misalnya untuk memesan tiket pesawat atau barang dengan menggunakan
kartu debit atau kredit/cek/transfer. Atas jasa pelayanan ini bank memperoleh fee.[34]
(g) ljarah
Jenis
kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box)
dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat
imbalan sewa dari jasa tersebut.
PENUTUP
Dari
uraian sebelumnya diketahui bahwa bank syariah adalah bank yang dalam
menjalankan operasinya dengan sistem hukum islam (syariah). Fungsinya sama
dengan bank konvensional yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan
jasa keuangan lainnya, tetapi yang membedakan adalah cara operasi, produk,
kesepakatan, dan sistemnya. Adapun produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk
Penghimpunan Dana, meliputi: tabungan, giro, dan deposito dengan prinsip wadi’ah
dan mudharabah; (II) Produk Penyaluran Dana, meliputi: prinsip jual
beli (murabahah, salam, dan istishna), prinsip sewa (ijarah), prinsip
bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), akad pinjam-meminjam yang
bersifat sosial (qardh dan qardhul hasan), dan (III) Produk yang
berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya, meliputi: hiwalah,
kafalah, wakalah, gadai, sharf, al-joalah, dan ijarah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
Arif, M. Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
(Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012).
Alma,
Buchari dan Donni Juni Priansa. Manajemen Bisnis Syariah (Cet. I; Bandung:
Alfabeta, 2009).
Anshori,
Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. 2: Yogyakarta; Gajah
Mada University Press, 2009).
Arifin,
Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Cet.
III; Jakarta: AlvaBet, 2000).
at-Tariqi,
Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan (Cet.
I; Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004).
Dahlan,
Ahmad. Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik (Cet. I; Yogyakarta:
Teras, 2012).
http://fathirghaisan.wordpress.com/tag/produk-perbankan-syariah/html.
Huda,
Nurul dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis Edisi 1 (Cet. III; Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).
Hulwati,
Ekonomi Islam: Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di
Pasar Modal Indonesia dan Malaysia Edisi Revisi ([t. Cet.]; Ciputat:
Ciputat Press Jakarta, 2009).
Ismail,
Perbankan Syariah Edisi 1 (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2011).
Karim,
Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Ed. 3 (t.
Cet.; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007).
Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah Edisi 1 (Cet. I; Jakarta: Kencana,
2012).
Muhammad,
Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi Kedua (Cet. II; Yogyakarta: SEKOLAH
TINGGI ILMU MANAJEMEN YKPN, 2011).
Muslich,
Bisnis Syariah: Perspektif Mu’amalah dan Manajemen (Cet. I; Yogyakarta:
UPP Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2007).
Sudarsono,
Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi 4
(Cet. II; Yogyakarta: EKONISIA, 2012).
Susanto,
Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta:
UII Press Yogyakarta, 2008).
Wirdyaningsih,
dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Edisi 1 (Cet. III; Jakarta:
Kencana, 2007).
[1] Ahmad
Dahlan, Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik (Cet. I; Yogyakarta:
Teras, 2012), h. 124.
[2] M. Nur
Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis (Cet.
I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 133
[3] Ibid, h.
134.
[4] Ibid, h.
135.
[5] Ahmad
Dahlan, Loc. Cit.
[6] Adiwarman
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Ed. 3 ([t. Cet.];
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 107-108.
[7] Ahmad
Dahlan, Op. Cit, h. 128.
[8] Muhammad, Manajemen
Bank Syariah Edisi Revisi Kedua (Cet. II; Yogyakarta: SEKOLAH TINGGI ILMU
MANAJEMEN YKPN, 2011), h. 92.
[9] Ibid.
[10] Adiwarman
Karim, Op. Cit, h. 110
[11] Ibid, h.
111.
[12] Abdul
Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. 2: Yogyakarta;
Gajah Mada University Press, 2009), h. 105.
[13]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. I;
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2008), h. 290.
[14] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi
Edisi 4 (Cet. II; Yogyakarta: EKONISIA, 2012), h. 74.
[15] Heri
Sudarsono, Op. Cit, h. 75.
[16] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah Edisi 1 (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2012), h.
255.
[17]
Burhanuddin Susanto, Op. Cit, h. 302.
[18] Buchari
Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Cet. I; Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 10.
[19] Ibid, h.
11.
[20] Burhanuddin
Susanto, Op. Cit, h. 306.
[21] Buchari
Alma dan Donni Juni Priansa, Loc. Cit.
[22] Muslich, Bisnis Syariah: Perspektif
Mu’amalah dan Manajemen (Cet. I; Yogyakarta: UPP Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN, 2007), h. 107-110.
[23] Nurul Huda
dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Edisi
1 (Cet. III; Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 69-70.
[24] Ismail, Perbankan
Syariah Edisi 1 (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2011), h. 179.
[25] Abdul
Ghofur Anshori, Op. Cit, h. 153.
[26] Ibid, h.
153-154.
[27] Burhanuddin
Susanto, Op. Cit, h. 275.
[28] Abdul
Ghofur Anshori, Op. Cit, h. 158.
[29] Hulwati, Ekonomi
Islam: Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar Modal
Indonesia dan Malaysia Edisi Revisi ([t. Cet.]; Ciputat: Ciputat Press
Jakarta, 2009), h. 111-112.
[30] Burhanuddin
Susanto, Op. Cit, h. 274.
[31] Abdul
Ghofur Anshori, Op. Cit, h. 163.
[32] Abdullah
Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan (Cet.
I; Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), h. 265-266.
[33] Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah:
Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Cet. III; Jakarta: AlvaBet, 2000),
h. 200.
[34]
Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Edisi 1 (Cet.
III; Jakarta: Kencana, 2007), h. 137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar