Kamis, 26 Januari 2017

PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARIAH

PRODUK DAN JASA PERBANKAN SYARIAH
Oleh:
LISDAMAYANTI
Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Syariah STAIN Watampone

ABSTRAK
Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perabankan yang dikembangkan berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut atau meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan untuk melakukan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misalnya perjudian). Bank syariah memiliki peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus units) dengan unit-unit yang lain yang mengalami kekurangan dana (defisit units). Melalui bank, kelebihan tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan, baik dalam bentuk produk maupun jasa sehingga memberi manfaat kepada kedua belah pihak. Secara umum, produk maupun jasa yang dimaksud dalam bank syariah adalah produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (financing), serta jasa (service).
Kata kunci: Perbankan Syariah, Produk Perbankan, Jasa Perbankan
ABSTRACT
Banking of Moslem law or banking of Islam system of banking developed pursuant to Islam Moslem law. Effort forming of this system is constituted by prohibition order in Islam to collect or borrow with flower or so-called with lap and also the prohibition order to do invesment to the effort which categorized is illicit (for example gambling). Bank Moslem law have role as medium institute (intermediary) between natural economic units of excess of fund ( surplus of units) with natural other units lacking of fund ( deficit of units). Through bank, the excess can be channelled to proper partiess, good in the form of service and also product so that give benefit to both parties. In general, such service and also product in Moslem law bank is fund gathering product (funding), product channeling of fund (financing), and also service (service).
Keyword: Banking Of Moslem Law, Product Banking, Service Banking
PENDAHULUAN
Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perabankan yang dikembangkan berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut atau meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan untuk melakukan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram ( misal usaha perjudian) dimana hal ini tidak dapat dijamin dalam sistem perbankan konvensional.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Adapun Bank syariah adalah bank yang dalam menjalankan operasinya dengan sistem hukum islam (syariah). Fungsinya sama dengan bank konvensional yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan jasa keuangan lainnya, tetapi yang membedakan adalah cara operasi, produk, kesepakatan, dan sistemnya.
Berkembangnya bank-bank syariah di Indonesia dimulai sejak awal tahun 1990-an. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalah Indonesia. Berdiri tahun 1992, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukunagan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Meskipun bank syariah telah berdiri sejak awal tahun 1990-an, namun keberadaanya masih kurang diminati masyarakat pada umumnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap produk atau jasa yang ditawarkan dari bank-bank syariah tersebut dan atau kurangnya sosialisasi dari produk dan jasa tersebut. Padahal dalam kaitanya dengan produk dan jasa, ada perbedaan yang menyolok antara prinsip-prinsip pada produk dan jasa bank syariah dengan prinsip dalam produk dan jasa bank konvensional. Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai produk dan jasa bank syariah.



PEMBAHASAN
Penghimpunan Dana (Funding)
Sebagaimana pada lembaga bank secara umum, dalam penghimpunan dana bank syariah mempraktikkan produk tabungan dan giro (saving and current accounts) dan deposito (investment accounts).[1] Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Wadi’ah dan Mudharabah.
1. Tabungan
Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008, tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.[2]
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000, tabungan terdiri atas dua jenis, yaitu:
a)      tabungan yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yang berupa tabungan berdasarkan perhitungan bunga.
b)      tabungan yang dibenarkan secara prinsip syariah yang berupa tabungan berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
2. Deposito
Deposito menurut Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang bertentangan dengan prinsip syariah, yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS).[3]
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000, deposito terdiri atas dua jenis. Pertama, deposito yang tidak yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah, yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, deposito yang dibenarkan secara syariah, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
3. Giro
Giro menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, saranan perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.[4]
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan bahwa giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Giro ada dua jenis. Pertama, giro yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, giro yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.
Adapun prinsip operasional syariah dalam penghimpunan dana, adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah ( الوديعة ) berarti meninggalkan (ترك ), titipan atau kepercayaan ( الامانة ). Para ahli sepakat, wadi’ah hanyalah amanah tidak dengan dipertanggungkan ( لامضمونة ).[5] Prinsip Wadi’ah yang diterapkan adalah wadi ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam   wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.[6]
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perban­kan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak seba­gai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
2. Prinsip Mudharabah
Mudaharabah ( المضاربة ) bisa disebut dengan al-qiradh ( القراض ) yang berarti potongan (al-qath’u), karena pemilik modal memotong apabila hartanya untuk diperdagangkan dengan sebagian keuntungannya.[7] Dalam bahasa sederhana, mudharabah merupakan akad kerjasama antara dua pihak, satu pihak memberikan modal kepada lainnya untuk berniaga. Kemudian keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan yang telah disepakati.
Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpanan bertindak sebagai shahibul mal dan bank sebagai mudharib. Dana ini digunakan bank untuk melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah. Jika terjadi kerugian maka bank bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.[8]
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/h-mudharabah.jpg?w=614&h=342
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu:
1. Mudharabah Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda­sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.[9]
2. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restrict­ed investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat­-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disya­ratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu­nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.[10]

3. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber­tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan an­tara pemilik dana dengan pelaksana usaha.[11] Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pe­laksana usahanya.
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/i-mdrbh-mqydh.jpg?w=614&h=401
3. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, bia­sanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini ti­dak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan un­tuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluar­kan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melaku­kan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
Penyaluran Dana (Financing)
Secara garis besar produk penyaluran dana kepada masayarakat adalah berupa pembiayaan didasarkan pada akad jual beli yang menghasilkan produk murabahah, salam, dan istishna; berdasarkan pada akad sewa-menyewa yang menghasilkan produk berupa ijarah dan ijarah muntahiya bitamlik (ijarah wa iqtina); berdasarkan akad bagi hasil yang menghasilkan produk mudharabah, musyarakah, muzzaroah, dan muzaqah; dan berdasarkan pada akad pinjaman yang bersifat sosial (tabarru) berupa qardh dan qardh al hasan.[12]
1. Prinsip Jual Beli
(a) Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah adalah penyediaan dana atau tagihan oleh bank syariah untuk transaksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah margin/keuntungan berdasarkan kesepakatan dengan nasabah yang harus membayar sesuai dengan akad.[13] Dalam proses pembiayaan, bank syariah membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya, dimana bank membeli barang yang diperlukan oleh nasabah atas nama bank sendiri sebelum menjual barang tersebut kepada nasabah sebesar harga jual yaitu berupa harga pokok barang ditambah keuntungan.
(b) Pembiayaan Salam
Salam merupakan bentuk jual beli barang dengan cara pemesanan berdasarkan persyaratan dan kriteria tertentu sesuai kesepakatan serta pembayaran tunai terlebih dahulu secara kontan. Pembiayaan salam adalah penyediaan dana atau tagihan untuk transaksi jual beli barang melalui pesanan (kepada nasabah produsen) yang dibayar dimuka secara tunai oleh bank berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan nasabah pembiayaan yang harus melunasi hutang atau kewajibannya sesuai dengan akad. Dalam menjalankan akad salam, pihak bank terlebih dahulu harus bernegosiasi dengan calon nasabah pembiayaan melalui akad salam pertama.
(c) Pembiayaan Istishna
Menurut jumhur ulama fuqaha, bai’ al-istishna merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam. Produk istishna  menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran.[14]
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/c-istishna.jpg?w=614&h=452
2. Prinsip Sewa (Ijarah)
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwadhu (ganti). Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Ijarah berarti lease contract dan juga hire contract. Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah lease contract di mana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment) kepada salah satu nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge).[15]
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/d-sewa1.jpg?w=614
Adapun ijarah muntahiya bi at-tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si pembeli. Menurut Kamus Ekonomi Syariah, ijarah muntahiya bi at-tamlik adalah ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk menjadi kepemilikan kepada penyewa.[16]
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/d-sewa2.jpg?w=614
3. Prinsip Bagi Hasil
(a) Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah kerja sama usaha antara pihak pemilik dana (shahibul maal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana atau modal.[17] Pembiayaan Mudharabah adalah penyediaan dana oleh bank untuk modal usaha berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan nasabah sebagai pihak yang diwajibkan untuk melakukan setelmen atas investasi dimaksud sesuai ketentuan akad.
Al-Mudharabah juga dapat diartikan sebagai akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).[18] Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/f-mudharabah.jpg?w=614&h=302
(b) Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran. Para ahli fikih mendefinisikan sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam modal maupun keuntungan.[19] Musyarakah merupakan kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati sbelumnya, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.[20]
Terdapat dua jenis al-musyarakah, yaitu: a) Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih; dan b) Musyarakah akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.[21]
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/e-musyarakah.jpg?w=614&h=325
Adapun pengelompokan syirkah yang lebih spesifik lagi, antara lain:
1) Syirkah Al-Milk
Syirkah Al-Milk (Non Contractual Partnership) yaitu kerja sama dalam kepemilikan atas suatu usaha dengan cara bersepakat untuk sharing dana atau modal sebagai tanda bukti memiliki usaha tersebut tanpa didahului dengan kontrak kerja sama formal antara pihak yang bekerjasama.
2) Syirkah Al-Uqud (Syirkah Transaksional)
Syirkah Uqud (disebut juga Contractual Partnership) yaitu akad kerja sama untuk melakukan suatu proyek atau usaha bisnis dengan memberikan sharing, baik dana maupun tenaga yang dilalui dengan mengadakan kontrak kesepakatan atau persetujuan yang diperjanjikan bersama di antara mereka yang bekerja sama ini.[22]
Syirkah Al-Uqud diklasifikasikan menjadi:
a)      Syirkah Al-‘Inan, yaitu akad kerja sama antara dua orang atau lebih dimana setiap pihak memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja serta sepakat untuk berbagi keuntungan atau kerugian, dimana porsi masing-masing pihak (baik dalam dana, kerja, atau bagi hasil) tidak harus sama.
b)      Syirkah Al-Mufawadah, adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih dimana masing-masing pihak memberikan kontibusi yang sama tentang dana, partispasi kerja, dan berbagi keuntungan/kerugian dalam jumlah yang sama.
c)      Syirkah A’maal disebut juga dengan syirkah abdan, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang/lebih yang memiliki profesi sama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan tersebut.
d)     Syirkah Wujuh, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang/lebih yang sama-sama memiliki keahlian dalam bisnis tanpa modal/uang. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan hasilnya mereka saling berbagi keuntungan/kerugian berdasarkan kontribusi jaminan kepada penyuplai.[23]
e)      Syirkah Mudharabah, merupakan kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih yang mana satu pihak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana 100% untuk keperluan usaha, dan pihak lain tidak menyerahkan modal dan hanya sebagai pengelola atas usaha yang dijalankan, disebut mudharib.[24]
4. Akad Pinjam-Meminjam yang Bersifat Sosial
Salah satu produk perbankan syariah yang lebih mengarah kepada misi sosial ini adalah qardh. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam fikih klasik, al-qardh dikategorikan dalam akad taawuniah yaitu akad yang berdasarkan prinsip tolong-menolong.
Qardh termasuk produk pembiayaan yang disediakan oleh bank dengan ketentuan bank tidak boleh mengambil keuntungan berapapun darinya dan hanya diberikan pada saat keadaan emergency. Bank terbatas hanya dapat memungut biaya administrasi dari nasabah. Nasabah hanya berkewajiban membayar pokoknya saja, dan untuk jenis qardh al-hasan pada dasarnya nasabah apabila memang dalam keadaan tidak mampu tidak perlu mengembalikannya.
5. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya di­perlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mem­permudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diboleh­kan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan un­tuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini seke­dar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Akad pelengkap tersebut, di antaranya: Hiwalah (alih utang-piutang), Rahn (gadai), Qardh, Wakalah (perwakilan), dan Kafalah (garansi bank).
Prinsip Jasa (Fee-Based Service)
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
(a) Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah Islam merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.[25] Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada factoring (anjak piutang), post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
https://fathirghaisan.files.wordpress.com/2012/01/g-hiwalah.jpg?w=614&h=372
Hanafi membedakan  hiwalah menjadi dua jenis, yaitu:
1)      Hiwalah mutlaqah, yaitu seseorang memindahkan hutangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan hutang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain kalau muhal ala’ih tidak punya hutang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak.
2)      Hiwalah muqayyadah, seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.[26]
Dalam mengaplikasikan akad hiwalah pada produk perbankan syariah ini paling tidak terdapat tiga pihak yang diantaranya diikat dengan perjannian. Ketiga pihak tersebut, yaitu bank sebagai faktor (muhal ‘aliah), nasabah selaku klien (muhil), dan pihak yang mempunyai hutang kepada nasabah (customer).
(b) Kafalah
Kafalah ialah menjadikan seseorang sebagai penjamin (kafil) dalam pelunasan atau pembayaran (hutang) yang menjadi tanggungjawab orang lain. Dengan kata lain kafalah berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang menjadi tanggungannya.[27] Jaminan yang diberikan oleh orang lain selaku pihak ketiga ini dikenal dengan istilah borgtocht atau personal guaranty.[28] Dalam praktiknya penanggungan hutang ini dapat dilaksanakan perorangan, ataupun oleh institusi perbankan (bank guaranty).
Aplikasi kafalah pada perbankan berdasarkan kepada jenis kafalah tersebut, diantaranya:
1)      Al-Kafalah bi al-nafs yaitu akad yang memberi jaminan kepada individu, misal, seorang nasabah yang mendapat pembiayaan dari bank dengan jaminan nama baik dan ketokohan (pemuka masyarakat). Walaupun bank secara fisik tidak memegang sesuatu apapun, tetapi bank berharap penjamin tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2)      Al-Kafalah bi al-mal, ialah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
3)      Al-Kafalah bi al-taslim, jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas barang yang disewa, pada saat berakhirnya masa penyewaan. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabah dalam kerja sama dengan perusahaan penyedia jasa penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran oleh bank dapat berupa deposito atau tabungan dan bank dapat membebankan upah kepada nasabah.
4)      Al-kafalah al-munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi masanya untuk kepentingan atau tujuan tertentu. Salah satu bentuk al-kafalah al-munjazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds yaitu jaminan yang dikeluarkan oleh bank, karena permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga (pemilik projek) sebagai mitra kerja. Permintaan jaminan disebabkan kekhawatiran nasabah terhadap mitra kerja apabila ia ingkar janji dalam menyelesaikan sesuai dengan perjanjian. Hal ini biasa dilakukan oleh perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akadnya.
5)      Al-kafalah al-ma’allaqah, yaitu jaminan yang merupakan penyederhanaan dari al-kafalah al-munjazah baik oleh industri perbankan maupun perusahaan asuransi.[29]
(c) Wakalah
Istilah wakalah menurut bahasa berarti menyerahkan dan menjaga. Pengertian wakalah menurut syara’ berarti menyerahkan kekuasaan kepada orang lain untuk dikerjakan.[30] Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Pemberian kuasa (wakalah) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang (kekuasaan) kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan, dan orang lain tersebut menerimanya, dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi kuasa. Dalam perbankan, nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.
Dalam fiqih berdasarkan ruang lingkupnya, wakalah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2)      Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3)      Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al-muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al-mutlaqah.[31]
(d) Gadai
Rahn menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga bisa diartikan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semuanya atau sebagian. Dengan kata lain rahn adalah akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.
Barang gadai berada dalam kekuasaan pemberi jaminan sampai seluruh hutang dibayarkan. Jika hutang telah diselesaikan oleh pemberi jaminan, maka barang gadai dapat lepas. Orang yang menggadaikan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan barang gadai, baik melalui pemakaian, penggunaan tempat, sewa, peminjaman, dan sebagainya tanpa seizin pihak yang meminjamkan uang. Demikian juga dengan pihak yang meminjamkan uang tidak dapat memiliki barang itu tanpa seizin pihak yang menggadaikan. [32] Pihak yang menggadaikan tidak memiliki hak jual dan hibah atas barang gadai.
Rahn yang ada di dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk salah satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum rahn merupakan produk utama.
(e) Sharf
Secara harfiah sharf diartikan sebagai penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Adapun secara istilah sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing), dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya). Pendapat lain mengatakan bahwa Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.
Aplikasi dalam lembaga keuangan: sharf dilakukan dalam dua macam, pertama dalam bentuk bank notes (uang kertas fisik); yang kedua, melalui transfer.[33] Akad sharf dipraktikkan oleh bank syariah dalam produk jasa berupa tukar-menukar mata uang asing dengan mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan mendapatkan imbalan berupa selisih antara kurs jual dan kurs beli yang ada, ditambah dengan biaya-biaya administrasi yang besarnya ditentukan sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan.
(f) Al-Joalah
Bentuk jasa pelayanan ini tidak disebutkan dalam ketentuan PBI, baik untuk Bank Umum Syariah ataupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Namun, dalam PBI tersebut tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kegiatan usaha lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syariah.
Al-Joalah, yaitu jasa pelayanan pesanan/permintaan tertentu dari nasabah, misalnya untuk memesan tiket pesawat atau barang dengan menggunakan kartu debit atau kredit/cek/transfer. Atas jasa pelayanan ini bank memperoleh fee.[34]  
(g) ljarah
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.



PENUTUP
Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa bank syariah adalah bank yang dalam menjalankan operasinya dengan sistem hukum islam (syariah). Fungsinya sama dengan bank konvensional yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan jasa keuangan lainnya, tetapi yang membedakan adalah cara operasi, produk, kesepakatan, dan sistemnya. Adapun produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penghimpunan Dana, meliputi: tabungan, giro, dan deposito dengan prinsip wadi’ah dan mudharabah; (II) Produk Penyaluran Dana, meliputi: prinsip jual beli (murabahah, salam, dan istishna), prinsip sewa (ijarah), prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), akad pinjam-meminjam yang bersifat sosial (qardh dan qardhul hasan), dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi­kan perbankan kepada nasabahnya, meliputi: hiwalah, kafalah, wakalah, gadai, sharf, al-joalah, dan ijarah.



DAFTAR PUSTAKA
Al Arif, M. Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012).
Alma, Buchari dan Donni Juni Priansa. Manajemen Bisnis Syariah (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2009).
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. 2: Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2009).
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Cet. III; Jakarta: AlvaBet, 2000).
at-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan (Cet. I; Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004).
Dahlan, Ahmad. Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2012).
http://fathirghaisan.wordpress.com/tag/produk-perbankan-syariah/html.
Huda, Nurul dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Edisi 1 (Cet. III; Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).
Hulwati, Ekonomi Islam: Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia Edisi Revisi ([t. Cet.]; Ciputat: Ciputat Press Jakarta, 2009).
Ismail, Perbankan Syariah Edisi 1 (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2011).
Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Ed. 3 (t. Cet.; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007).
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah Edisi 1 (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2012).
Muhammad, Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi Kedua (Cet. II; Yogyakarta: SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN YKPN, 2011).
Muslich, Bisnis Syariah: Perspektif Mu’amalah dan Manajemen (Cet. I; Yogyakarta: UPP Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2007).
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi 4 (Cet. II; Yogyakarta: EKONISIA, 2012).
Susanto, Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2008).
Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Edisi 1 (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2007).




[1] Ahmad Dahlan, Bank Syariah: Teoritik, Praktik, Kritik (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2012), h. 124.
[2] M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 133
[3] Ibid, h. 134.
[4] Ibid, h. 135.
[5] Ahmad Dahlan, Loc. Cit.
[6] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan Ed. 3 ([t. Cet.]; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 107-108.
[7] Ahmad Dahlan, Op. Cit, h. 128.
[8] Muhammad, Manajemen Bank Syariah Edisi Revisi Kedua (Cet. II; Yogyakarta: SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN YKPN, 2011), h. 92.
[9] Ibid.
[10] Adiwarman Karim, Op. Cit, h. 110
[11] Ibid, h. 111.
[12] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. 2: Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2009), h. 105.
[13] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2008), h. 290.
[14] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi 4 (Cet. II; Yogyakarta: EKONISIA, 2012), h. 74.
[15] Heri Sudarsono, Op. Cit, h. 75.
[16] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah Edisi 1 (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2012), h. 255.
[17] Burhanuddin Susanto, Op. Cit, h. 302.
[18] Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2009), h. 10.
[19] Ibid, h. 11.
[20] Burhanuddin Susanto, Op. Cit, h. 306.
[21] Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, Loc. Cit.
[22]  Muslich, Bisnis Syariah: Perspektif Mu’amalah dan Manajemen (Cet. I; Yogyakarta: UPP Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2007), h. 107-110.
[23] Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Edisi 1 (Cet. III; Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 69-70.
[24] Ismail, Perbankan Syariah Edisi 1 (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2011), h. 179.
[25] Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit, h. 153.
[26] Ibid, h. 153-154.
[27] Burhanuddin Susanto, Op. Cit, h. 275.
[28] Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit, h. 158.
[29] Hulwati, Ekonomi Islam: Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia Edisi Revisi ([t. Cet.]; Ciputat: Ciputat Press Jakarta, 2009), h. 111-112.
[30] Burhanuddin Susanto, Op. Cit, h. 274.
[31] Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit, h. 163.
[32] Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar, dan Tujuan (Cet. I; Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), h. 265-266.
[33]  Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek (Cet. III; Jakarta: AlvaBet, 2000), h. 200.
[34] Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Edisi 1 (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2007), h. 137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar