MANAJEMEN
LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH
Purwoningsih
Haris / 01133056
Ekonomi
Syariah STAIN Watampone
Abstrak
: Kedua bank, konvensional dan syari'ah memiliki kewajiban untuk meyakinkan
pelanggan bahwa uang yang mereka simpan dijamin. Dengan demikian, dalam rangka
memberikan keamanan kepada pelanggan, bank harus memiliki manajemen likuiditas
yang memaksa bank untuk memenuhi kewajiban saat ini atau kewajiban masa depan
dalam hal penarikan atau penebusan aset kewajiban. Sehingga mampu memenuhi
kewajibannya, terutama kewajiban dana jangka pendek. Dari sudut aset,
likuiditas kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi uang tunai. Sementara
kewajiban adalah kemampuan untuk memenuhi pembiayaan perlu melalui peningkatan
kewajiban portofolio.
Ada
beberapa instrumen likuiditas yang dapat dijalankan oleh bank syari'ah dalam
rangka memenuhi kewajibannya, yaitu: pertama adalah SRR,ini adalah deposit
minimal bank komersial di rekening giro sebagaimana telah ditetapkan oleh Bank
Indonesia berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga, yang kedua
adalah yang disebut cliring yang dipahami sebagai suatu kegiatan yang telah
berlangsung sejak zaman perjanjian transaksional untuk penyelesaian perjanjian
tersebut (kesepakatan antara lembaga keuangan mengenai dengan akun hutang dalam
transaksi keuangan). Dalam rangka meningkatkan pengelolaan dana bank, yaitu
keuntungan dan kerugian dari pengelolaan dana, perlu Inter-Bank Pasar Uang.
Berdasarkan prinsip-prinsip syari'ah
untuk mengelola keuntungan dan kerugian dari dana secara efisien, maka dibutuhkan
Pasar Uang Antar Bank yang menggunakan investasi mudharabah untuk antar bank,
yang ketiga adalah instrumen sertifikat wadi'ah dari Bank Indonesia yang dapat
digunakan sebagai sarana penyimpanan dana jangka pendek, terutama bagi mereka
yang memiliki kelebihan likuiditas,dan keempat adalah pasar modal syari'ah yang
memiliki hubungan dengan korban dan perdagangan bursa saham, perusahaan publik
yang berkaitan dengan penerbitan bursa, dan lembaga dan profesi dari bursa
saham sesuai dengan syari'at ' ah prinsip.
Kata
Kunci :likiuditas, manajemen likuiditas,instrument likuiditas
PENDAHULUAN
Secara
umum tugas utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan. Kemudian dana yang telah terkumpul tersebut disalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit), serta memberikan jasa-jasa bank
lainnya. Untuk bisa menghimpun dana dari masyarakat, maka bank memiliki
keharusan untuk meyakinkan nasabah bahwa uang yang mereka titipkan dijamin
keamanannya. Dengan demikian, agar bisa memberikan keamanan kepada para
nasabah, maka bank tersebut haruslah likuid.
Manajemen
likuiditas merupakan bagian dari kerangka manajemen risiko industri keuangan
yang lebih besar, yang berhubungan dengan seluruh lembaga keuangan baik
konvensional maupun syariah. Kegagalan dalam manajemen risiko memiliki
konsekuensi yang mengerikan, termasuk kolapsnya bank dan pada gilirannya
menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan. Pada kenyataannya, sebagian besar
kegagalan bank disebabkan kesulitan mengelolamasalah-masalah likuiditasnya.
Ini
juga yang menjadi alasan mengapa regulator sangat menaruh perhatian dengan
posisi likuiditas suatu lembaga keuangan dan pemikiran regulato rsaat ini
berpusat pada seputar penguatan kerangka kerja likuiditas. Likuiditas merupakan
suatu hal yang sangat penting bagibank untuk dikelola karena akan berdampak
kepada profitabililitas serta keberlanjutan dan kelangsungan usaha suatu bank.
Begitu pentingnya likuiditas ini, sehingga ditetapkan sebagai salah satu risiko
yang harus dikelola dengan baik oleh bank.
Kajian
mengenai likuiditas di dunia perbankan, merupakan satu keharusan yang harus
dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan, praktisi keuangan, ataupun
pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya di bank. Pentingnya
penilaian atas likuiditas suatu bank, merupakan salah satu cara untuk bisa
menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang
sehat, dan tidak sehat. Salah satu penyebab kebangkrutan suatu bank adalah
karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Oleh karena
itu, likuiditas yang tersedia harus cukup sehingga tidak mengganggu kebutuhan
operasional.
PEMBAHASAN
Definisi
dan Konsep Manajemen Likuiditas
Ada
banyak cara yang bisa digunakan untuk menentukan kondisi suatu bank dikenal
dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari beberapa aspek:Pertama,
Capital, yakni penilaian terhadap kewajiban penyediaan modal minimum yang
dimiliki bank. Kedua, Kualitas Aset, yakni me- nilai jenis-jenis asset yang
dimiliki suatu bank.
Ketiga,
Kualitas Manajemen, yakni penilaian terhadap kualitas manusianyadalammengelola bank,
bisa dilihat dari segi pendidikan, peng- alaman para karyawannya, dan
lain-lain. Keempat, Earning, yakni penilaian terhadap kemampuan bank dalam
meningkatkan keuntungan. Kelima, Likuiditas, yakni penilaian atas kemampuan bank
untuk membayar semua utangnya, terutama utang jangka pendek yang kemudian akan
di bahas lebih lanjut dalam jurnal ini.[1]
Likuiditas
pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk
memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata
lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat
ditagih baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga.[2]
Sedangkan
manajemen likuiditas sendiri memiliki banyak pengertian, beberapa diantaranya
adalah menurut : [3]
Duane
B Graddy : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh
masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan ”
Oliver
G Wood : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan
kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau
kebutuhan jangka panjang ”.
Manajemen
likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat
likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera
harus di bayar[4]
Manajemen
likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat
likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera
harus di bayar.
Kajian
mengenai likuiditas di dunia perbankan, merupakan satu keharusan yang harus
dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan, praktisi keuangan, ataupun
pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya di bank. Pentingnya
penilaian atas likuiditas suatu bank merupakan salah satu cara untuk bisa
menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang
sehat, dan tidak sehat.[5]
Selain
itu menurut teori intermediasi keuangan, dua alasan yang paling penting
terhadap keberadaan lembaga keuangan, khususnya bank, adalah penyediaan
likuiditas dan jasa keuangan. Mengenai penyediaan likuiditas, bank menerima dana
dari deposan dan menyalurkannya ke sektor riil, dan pada saat yang sama
menyediakan likuiditas untuk setiap penarikan dana simpanan. Namun peran bank
dalam mentransformasikan simpanan jangka pendek menjadi pinjaman jangka
panjangmembuat mereka rentan secara inheren terhadap risiko likuiditas. Likuiditas
adalah kemampuan menjual asset dalam waktusingkat dengan kerugian yang paling
minimal. Asset-asset likuidadalah asset yang dipegang dalam bentuk tunai atau
yangdiinvestasikan dalam suatu instrumen yang dapat diubah menjadi bentuk tunai
seperti simpanan berupa giro, dan deposito.
Pengertian
likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis
secara umum. Darisudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah
seluruh asset menjadi kas/tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas
adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio
liabilitas. Risiko likuiditas muncul sebagai salah satu risiko yangpaling
penting dimana bank perlu menanganinya untuk menghindari kerugian jika tidak
dikelola dengan dengan baik. Risiko likuiditas didefinisikan secara luas
sebagai potensi kehilangan bagi bank yang muncul dari ketidak mampuan mereka
untuk memenuhi kewajiban atau untuk mendanai kenaikan asset saat jatuh tempo
tanpa menimbulkan biaya atau kerugian yang tidak dapat diterima .Risiko ini
terjadi ketika deposan secara kolektif memutuskan untuk menarik dana mereka
dalam jumlah yang lebih besar dari pada dana yang dimiliki bank, atau ketika
peminjam gagal untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada bank. Dengan kata lain,
risiko likuiditas terjadi dalam dua kasus. Pertama, muncul secara simetris
kepada debitur dalam hubungannya dengan bank, misalnya ketika bank memutuskan
untuk menghentikan kredit namun debitur tidak mampu membelinya. Kedua, muncul
dalam konteks hubungan bank dengan deposan, misalnya ketika deposan memutuskan
untuk menarik simpanan mereka tetapi pihak bank tidak mampu memenuhinya.
Tujuan
Manajemen Likuiditas
Tujuan
manajemen likuiditas adalah sebagai berikut:
1. Mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah
ditetapkan oleh bank sentral karena kalu tidak dipenuihi akan kena pinalti dari
Bank sentral.
2.
Memperkecil dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan
mengurangi profitabilitas bank.
3. Mencapai
likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflowdalam kondisi yang
sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman.
4.
memperkecil terjadinya idle fund (dana yang menganggur)[6]
Pengelolaan
Likuiditas pada Bank Syariah di Indonesia
Pengelolaan
likuiditas pada sebuah bank merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan.
Agar dapat berjalan secara optial dan menguntungkan memerlukan instrumen dalam
pasar keuangan, yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Di
Indonesia, untuk penempatan dan pemenuhan jangka pendek bagi perbankan Syariah
telah tersedia instrumen sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA)
berdasarkan fatwa DSN MUI No. 38/DSN-MUI/X/2002 dan merupakan satu-satunya
piranti yang digunakan dalam dalam operasional Pasar Keuangan Antarbank dengan
Prinsip Syariah (PUAS) dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). IMA
didefinisikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh bank syariah atau Unit
Usaha Syariah(UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di
PUAS dengan akad mudharabah.[7]Sebelum
aturan tersebut dikeluarkan, untuk mengatasi ketidakseimbangan likuiditas pada
pendirian awal bank Syariah, maka pemegang otoritas moneter pada tahun 1995
membantu mencari altrnatif yang tidak bertentangan denga prinsip Syariah, yaitu
dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Mudharabah.
Untuk
mengatasi kesukaran dana bila saat terjadi di bank Syariah, disebabkan arus
dana yang masuk lebih kecil berbanding arus dana yang keluar pada masa kliring
(pengiraan), maka Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS).
Untuk
pengelolaan likuiditas jangka panjang, dapat dilakukan dalam aktivitas pasar
modal Syariah yang baru dikembangkan pada Maret 2003. Dengan demikian, bank
Syariah telah dapat mengeluarkan obligasi Syariah dan dapat menjual sahamnya
atau menginvestasikan modalnya pada reksadana syariah[8]
1. Permasalahan
Likuiditas Bank
a. Pengertian
Likuiditas Bank
Likuiditas
dalam pengertian umum adalah berkenaan dengan posisi uang cadangan (tunai)
suatu perusahaan dan kemampuannya untuk membayarkan semua hutang yang telah
jatuh tempo tepat pada masanya. Jika dihubungkan dengan lembaga perbankan,
likuiditas dimaksudkan sebagai kemampuan bank pada saat untuk membayar hutang
jangka pendek dan sekitarnya diminta oleh penabung atau pihak-pihak yang
terkait dengannya. Oleh sebab itu, yang dimaksudkan dengan likuiditas disini
ialah kemudahan bank dalam mengubah aset menjadi uang tunai.
Dalam
pengelolaan dana, bank akan mengalami salah satu dari tiga hal, yaitu :
1) Posisi
seimbang (square), dimana persediaan dana sama dengan keperluan dana yang
tersedia.
2)
Posisi lebih (long), dimana persediaan dana lebih dari keperluan dana yang
tersedia.
3) Posisi
kurang (short), dimana persediaan dana kurang dari keperluan.
Apabila
bank mengalami kelebihan likuiditas, maka hal itu dianggap sebagai keuntungan
bank. Sebaliknya jika terjadi kekurangan, maka bank memerlukan bantuan untuk
menutupi kekurangan tersebut.
b. Mekanisme
Pengelolaan Likuiditas
Transaksi
pembayaran dalam aktivitas perbankan dilakukan mengikuti mekanisme
kliring (pengiraan) dengan membebankan giro bank yang terkait dengan Bank
Indonesia (BI). Apabila ketersediaan dana bank kurang dari Giro Wajib Minimum
(GWM) dalam pelaksanaannya, maka bank atau kantor cabang harus membayarnya.
Ketentuan mengenai kadar mata uang dan mekanisme GWM bagi Bank Umum Syariah,
kini telah ada pengaturan yang terpisah yaitu PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang
Giro Wajib Minimum dalam rupiah dalam valuta asing bgi bank umum yang
melaksanakan aktivitas usaha berdasarkan prinsip Syariah.
Bank
Syariah yang mengalami kekurangan dana boleh menerbitkan sertifikat Investasi
Mudharabah Abtarbank bank Syariah maupun bank konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PBI No. 2/8/PBI/2000, sertifikat
IMA ialah satu-satunya piranti yang boleh digunakan dalam operasional Pasar
Uang Abtarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Sedangkan untuk menjaga
kestabilan moneter bagi bank-bank Syariah melalui penerbitan Sertifikat Wadi’ah
Bank Indonesia (SWBI) yang berdasrkan pada prinsip wadi’ah (titipan) atau saat
ini diidtilahkan dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI Syariah).
2. Pasaran
Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)
Ketentuaan
mengenai PUAS diatur dalam PBI No. 2//8/PBI/2000 tentang Pasaran Uang Anarbank
bedasarkan prinsipSyariah pada tanggal 23 Pebruari 2000 jo PBI No.
7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang perubahan atas PBI No. 2/8/2000.
Disamping itu juga ada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) No. 37/DSN-MUI/X/2002 tanggal 23 Oktober 2002.
a. Pengertian
dan Tujuan PUAS
Pengertian
PUAS dalam fatwa DSN No. 37 ialah aktivitas transaksi keuangan jangka pendek
antar peserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Menurut PBI No.
2/8/PBI/2000, pengertian PUAS terlihat lebih khusus yaitu aktivitas investasi
jangka pendek dalam bentuk rupiah antara peserta pasar berdasarkan prinsip
mudharabah. Terdapat sedikit perbedaan pengertia PUAS dalam PBI No.
9/5/PBI/2007, sebagai pengganti PBI No. 2/8/PBI/2000 mengenai PUAS yaitu
aktivitas transaksi keuangan jangka pendek Antarbank berdasarkan prinsip
Syariah baik dalam bentuk rupiah maupun mata uang asing.
Dengan
adanya apola PUAS ini brarti persoalan likuiditas bank Syariah dapat diatasi
dalam bentuk investasi antara bank Syariah selagi dapat dihindari investasi
dana pada bank konvensional. Walaupun berdasrkan fatwa DSN, PUAS tidak
dibenarkan melaksanakan transaksi berdasarkan bunga, namun tidak masalah bagi
pihak bank konvensional untuk melakukan invetasi pada bank Syariah walaupun
hanya terbatas sebagai pemodal saja.[9]
Sesuatu
hal yang perlu dipersoalkan lebih jauh tentan kebolehan bank knvensional dalam
melakukan investasi pada bank Syariah, sebagaimana fatwa DSN, yaitu persoalan
sumber dana yang secara jelas (sharih) berasal dari pengolahan dana yang
bercampur dengan sistem bunga sedangkan bunga itu sudah jelas haram. Hal ini
menyebabkan terjadinya percampuran antara dana haram dengan halal yang dikelola
oleh bank Syariah.
b. Perbandingan
antara PUAS dan PUAK
Pasaran
Uang Antar bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) yang berlaku di Indonesia
dapat dibandingkn dengan Pasaran Uang Antarbank secara Konvensional (PUAK),
baik dari aspek persamaan maupun perbedaan antara keduanya.
1) Diantara
prinsip persamaan yang ada pada kedua-dua pasaran uang Antarbank tersebut,
ialah :
Keduanya
merupakan instrumen likuiditas yang berfungsi untuk memudahkan perbankan yang
mengalami kasus likuiditas, baik berupa kekurangan maupun kelebihan likuiditas.
Keduanya
sama-sama memiliki jangka masa paling lama 90 hari atau merupakan jenis
investasi jangka pendek.
Dapat
dipakaikan untuk pembayaran nota kredit, melalui kliring, bilyet giro BI atau
pemindahan dana secara elektronik.
2) Prinsip
perbedaan pada PUAS dan PUAK itu ialah :
Transaksi
PUAS tidak berdasarkan kepada suku bunga,melainkan bagi hasil, sedangkan pada
PUAK sepenuhnya berdasarkan kepada suku bunga.
Peserta
PUAS meliputi bank Syariah dan bank konvensional sedangkan peserta PUAK hanya
pada bank konvensional.
Piranti
yang digunakan PUAS ialah sertifikat IMA, sedangkan PUAK menggunakan promes
atau promissory notes (janji tertulis untuk menjelaskan semua hutang).
Sertifikat
IMA hanya dapat dialihkan sekali saja karena hanya berfungsisebagai tanda bukti
penyertaan saja. Sedangkan promes pada PUAK dapat dipindah tangan berulang kali
selagi belum jatuh tempo karena ia merupakan suatu negotable instrument.
Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Ketentuan
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) ini adalah berdasarkan kepada Peraturan
Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 yang telah diperbaharui dengan PBI No.
6/7/PBI/2004 mengenai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Fatwa DSN-MUI
No.36/DSN-MUI/X?2002 yang dikeluarkan pada 23 Oktober 2002.
Pengertian
tentang SWBI sebagai mana yang terdapat dalam PBI No. 2/9/PBI/2000 adalah
sertifikat yang di terbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip wadi’ah (pasal 1 ayat 4). Sedangkan yang di
maksud dengan wadiah ialah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan
pihak penerima titipan yang dipercayai untuk menjaga dana tersebut (pasal 1
ayat 3). Setelah di ubah menjadi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariah,
memakai akad Ju’alah.[10]
Tujuan
diterbitkan sertifikat ini adalah sebagai instrument kebijakan moneter dalam
mengatasi masalah kelebihan likuiditas pada bank yang beroperasi dengan prinsip
syariah. Beberapa karaktek sertifikat tersebut adalah seperti berikut :
a. Diterbitkan
oleh Bank Indonesia.
b.
Merupakan instrument kebijakan moneter dan sarana penitipan dana sementara.
c. Sebagai
tanda bukti penitipan dana jangka pendek.
d. Ada
bonus atas transaksi penitipan dana.
Persyaratan
SWBI yang di gariskan adalah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesi No. 36/DSN-MUI/X/2002 yaitu :
a.
Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrument moneter
berdasarkan prinsip Syariah yang dinamakan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) yang dapat dipergunakan oleh bank Syariah untuk mengatasi kelebihan
likuiditas.
b.
Akad yang digunakan untuk instrument SWBI ialah akad wadi’ah sebagai mana yang
di atur dalam fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Giro dan fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV/2000 mengenai tabungan.
c. Dalam
SWBI tidak dibenarkan imbalan yang di syaratkan kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat suka rela dari pihak Bank Indonesia.
d. SWBI
tidak boleh diperjual belikan[11]
Instrumen
Likuiditas Bank Syariah
Adapun
instrumen yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah :
1. Memiliki
Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu
dalam kas atau saldo yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam dunia
perbankan, primary reserve terdiri dari:
Giro
pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama
ini Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap
bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK)
untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama,
bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK
kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang
memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
2) Yang
memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan
dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
3) Yang
memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah
sebesar 3% dari DPK dalam rupiah. Sedangkan bagi yang memiliki rasio
pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang
memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan
GWM.[12]
b.
Kas pada valuta.
Alat
likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan
transaksi sehari-hari.
c.
Kliring
Di
dalam dunia perbankan terdapat istilah kliring yang sering kali kita dengar.
Ketika seseorang mentrasfer uang dari satu rekening bank ke rekening bank yang berbeda,
misalnya dari bank BCA ke bank Mandiri dan sebaliknya maka terjadilah proses
kliring.Kliring adalah suatu istilah dalam dunia perbankan dan ke- uangan yang
menunjukkan suatu aktivitas yang berjalansejak saat terjadinya kesepakatan
untuk suatu transaksi hingga selesainya pelak- sanaan kesepakatan tersebut.[13]
Kliring
dibutuhkan untuk mempercepat penyelesaian transaksi perdagangan yang
membutuhkan perlengkapan aset transaksi. Hal yang paling mudah dipahami dalam kliring
adalah kesepakatan antar lembaga keuangan mengenaihutangpiutangdalamsuatutransaksi
keuangan. Kliring melibatkan manajemen
dari paska perdagangan, pra penyelesaian eksposur kredit, untuk
memastikan bahwa transaksi dagang terselesaikan
sesuai dengan aturan pasar, walaupun pembeli maupun penjual menjadi
tidak mampu melaksanakan penyelesaian kesepakatannya. Yang termasuk dalam
proses kliring antara lain pelaporan/ pemantauan, marjin risiko, netting
transaksi dagang menjadi posisi tunggal, penanganan perpajakan dan penanganan kegagalan.[14]
Secara
umum kliring melibatkan lembaga keuangan yang memiliki permodalan yang kuat
yang dikenal dengan sebutan Mitra Pengimbang Sentral (MPS) atau dalam istilah asingnya
dikenal dengan central counterparty. MPS ini menjadi pihak dalam setiap
transaksi yang terjadi baik sebagai penjual maupun se- bagai pembeli. Dalam hal
terjadinya kegagalan penyelesaian atas suatu transaksi maka pelaku pasar
menanggung suatu risiko kredit yang distandarisasi dari MPS
d.
Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
Tujuan
dari alat likuid yang termasuk ke dalam kategori primary reserve (cadangan
primer) adalah:
a. Memenuhi
reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank
Indonesia.
b. Memenuhi
keperluan operasional bank sehari-hari.
c. Penyelesaian
kliring antar bank.
d. Memenuhi
kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.
Dapat
di katakana likuid apabila bank syariah dapat memelihara GWB di Bank Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat memelihara giro di Bank Koresponden
dengan besarnya berdasarkan saldo minimum, dapat memelihara sejumlak kas
secukupnya untuk memenuhi pengambilan uang tunai[15]
2. Memiliki
Secondary Reserve
Yaitu
cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam dalam bentuk
investasi jangka pendek.
Adapun
cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:
Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Peraturan
Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan
Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip
wadiah. Selama ini kebijakan moneter yang dila- kukan oleh Bank Indonesia dalam
rangka pe- ngendalian uang beredar ditempuh dengan pelaksanaan operasi pasar
terbuka yaitu me- nambah atau mengurangi jumlah uang beredar dimasyarakat melalui
bank-bank konvensional. Dengan makin berkembangnya bank-bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah maka pengendalian uang dapat diper-
luas melalui bank-bank tersebut.
Agar
pelaksanaan operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syari’ah dapat berjalan
dengan baik, maka diciptakanlah suatu piranti pengendalian uang beredar yang sesuai
dengan prinsip syari’ah dalam bentuk Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI).
Piranti tersebut dapat dijadikan sarana penitipan dana jangka pendek khususnya bagi
bank yang mengalami kelebihan likuiditas[16]
Jumlah
Dana dan Jangka Waktu
Jumlah
dana yang dapat dititipkan seku- rang-kurangnya Rp 500.000.000,- dan selebih- nya
dengan kelipatan Rp 50.000.000,-. Jangka waktu SWBI adalah satu minggu, dua minggu
dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
Tata
Cara penitipan Dana dan Penyelesaian Penitipan Dana Kegiatan penerimaan titipan
dana oleh Bank Indonesia dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00
WIB. Tata cara penitipan dilakukan sebagai berikut:
Bank
atau UUS mengajukan permohonan titipan dana sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan
melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS), faksimili, telepon atau
sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan
Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei 2008, Surat Berharga Syariah
Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing.
3. Mempunyai
akses ke pasar uang.
Pasar
uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar
modal syariah.
Pasar
Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar
Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka
pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta
asing.
Pasar
Modal Syariah
Instrument
di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta
Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan
berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary
reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan
dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah
membutuhkan dana jangka pendek[17]
Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)
FPJPS
merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank
Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan
tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka
pendek.
Tujuan
dari diberlakukan FPBJS ini, adalah untuk membantu Bank Syariah yang mengalami
kesulitan pendanaan jangka pendek, namun memenuhi persyaratan tingkat kesehatan
dan permodalan (illiquid but solvent).
LPS
Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
LPS
adalah badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan
tanggal 22 September 2004. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk
tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro
wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.[18]
PENUTUP
Dari
berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian
alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang
segera harus di bayar. Adapun tujuan manajemen likuiditas adalah sebagai
mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral
karena kalu tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral,memperkecil
dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang nganggur akan mengurangi
profitabilitas bank,mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam
kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan
pinjaman.
Didalam
menajemen likuiditas juga terdapat resiko-resiko, adapun untuk mengatasi resiko
tersebut ialah melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan
dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun
penarikan tunai,melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk
baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah,membuat analisa
sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan
pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi
dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini,selanjutnya
Bank menetapkan secondaryreserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank,menetapkan
kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan
fungsi ALCO (Asset &Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam
usahanya,danMeningkatkan atau menurunkan sumber dana tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Abdul Ekonomi Islam Analisis Mikro
dan Makro Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008
Bambang Rustam, Rianto Manajemen Risiko
Perbankan Indonesia ,Jakarta: Salemba Empat, 2013
Ghufron, Sofiniya Konsep dan
Implementasi Bank Syari’ah , Jakarta: Renaisan, 2005
Huda, Nurul & Mustafa Edwin
Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah ,Jakarta: Kencana, 2007
Karim, Adiwarman Bank Islam: Analisis
Fiqh dan Keuangan ,Jakarta: IIIT, 2003
Kasmir,
Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah,
Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005
Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan
Bank & Non Bank ,Bogor: Ghalia Indonesia, 2004
Sinungan, Muchdarsyah Manajemen Dana Bank
Syariah, Jakarta: Rineka Cipta, 1993
Sofiniyah, Konsep dan Implementasi bank
Syari’ah, Jakarta: Renaisans, 2005
Sunariyah, Pengantar Pasar Modal ,Yogyakarta:
UPP AMPYKPN, 2000
Sutojo, Siswanto Manajemen Terapan Bank, Jakarta; Binaman
Pressindo, 1997
Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah
Institute Bankir Indonesia, Bank Syari’ah:
Konsep, Produk Dan Implementasi Operasional, Jakarta:
Djambatan, 2003
Umam, Khaerul Manajemen Perbankan
Syariah ,Cet.1; Bandung: CV Pustaka Setia,2013
Wirdyaningsih dkk, Bank dan
Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana,2005
[3]Riyanto Bambang.Dasar-dasar
Pembelanjaan Perusahaan. (Yogyakarta: BPFE,2001). hal.25
[5] Muchdarsyah
Sinungan, Manajemen Dana Bank Syariah,
Edisi II (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm.114
[16]Tim
Pengembangan Perbankan Syari’ah Institute Bankir Indonesia, Bank Syari’ah:
Konsep, Produk Dan ImplementasiOperasional
(Jakarta: Djambatan, 2003),
hlm. 227
[17]Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank & Non
Bank (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm.178
[18] Nurul
Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi
Pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar