Kamis, 26 Januari 2017

MANAJEMEN LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH

MANAJEMEN LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH
Purwoningsih Haris / 01133056
Ekonomi Syariah STAIN Watampone

Abstrak : Kedua bank, konvensional dan syari'ah memiliki kewajiban untuk meyakinkan pelanggan bahwa uang yang mereka simpan dijamin. Dengan demikian, dalam rangka memberikan keamanan kepada pelanggan, bank harus memiliki manajemen likuiditas yang memaksa bank untuk memenuhi kewajiban saat ini atau kewajiban masa depan dalam hal penarikan atau penebusan aset kewajiban. Sehingga mampu memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban dana jangka pendek. Dari sudut aset, likuiditas kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi uang tunai. Sementara kewajiban adalah kemampuan untuk memenuhi pembiayaan perlu melalui peningkatan kewajiban portofolio.
Ada beberapa instrumen likuiditas yang dapat dijalankan oleh bank syari'ah dalam rangka memenuhi kewajibannya, yaitu: pertama adalah SRR,ini adalah deposit minimal bank komersial di rekening giro sebagaimana telah ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga, yang kedua adalah yang disebut cliring yang dipahami sebagai suatu kegiatan yang telah berlangsung sejak zaman perjanjian transaksional untuk penyelesaian perjanjian tersebut (kesepakatan antara lembaga keuangan mengenai dengan akun hutang dalam transaksi keuangan). Dalam rangka meningkatkan pengelolaan dana bank, yaitu keuntungan dan kerugian dari pengelolaan dana, perlu Inter-Bank Pasar Uang. Berdasarkan prinsip-prinsip syari'ah  untuk mengelola keuntungan dan kerugian dari dana secara efisien, maka dibutuhkan Pasar Uang Antar Bank yang menggunakan investasi mudharabah untuk antar bank, yang ketiga adalah instrumen sertifikat wadi'ah dari Bank Indonesia yang dapat digunakan sebagai sarana penyimpanan dana jangka pendek, terutama bagi mereka yang memiliki kelebihan likuiditas,dan keempat adalah pasar modal syari'ah yang memiliki hubungan dengan korban dan perdagangan bursa saham, perusahaan publik yang berkaitan dengan penerbitan bursa, dan lembaga dan profesi dari bursa saham sesuai dengan syari'at ' ah prinsip.
Kata Kunci :likiuditas, manajemen likuiditas,instrument likuiditas



PENDAHULUAN
Secara umum tugas utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kemudian dana yang telah terkumpul tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit), serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Untuk bisa menghimpun dana dari masyarakat, maka bank memiliki keharusan untuk meyakinkan nasabah bahwa uang yang mereka titipkan dijamin keamanannya. Dengan demikian, agar bisa memberikan keamanan kepada para nasabah, maka bank tersebut haruslah likuid.
Manajemen likuiditas merupakan bagian dari kerangka manajemen risiko industri keuangan yang lebih besar, yang berhubungan dengan seluruh lembaga keuangan baik konvensional maupun syariah. Kegagalan dalam manajemen risiko memiliki konsekuensi yang mengerikan, termasuk kolapsnya bank dan pada gilirannya menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan. Pada kenyataannya, sebagian besar kegagalan bank disebabkan kesulitan mengelolamasalah-masalah likuiditasnya.
Ini juga yang menjadi alasan mengapa regulator sangat menaruh perhatian dengan posisi likuiditas suatu lembaga keuangan dan pemikiran regulato rsaat ini berpusat pada seputar penguatan kerangka kerja likuiditas. Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagibank untuk dikelola karena akan berdampak kepada profitabililitas serta keberlanjutan dan kelangsungan usaha suatu bank. Begitu pentingnya likuiditas ini, sehingga ditetapkan sebagai salah satu risiko yang harus dikelola dengan baik oleh bank.
Kajian mengenai likuiditas di dunia perbankan, merupakan satu keharusan yang harus dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan, praktisi keuangan, ataupun pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya di bank. Pentingnya penilaian atas likuiditas suatu bank, merupakan salah satu cara untuk bisa menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Salah satu penyebab kebangkrutan suatu bank adalah karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Oleh karena itu, likuiditas yang tersedia harus cukup sehingga tidak mengganggu kebutuhan operasional. 


PEMBAHASAN
Definisi dan Konsep Manajemen Likuiditas
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk menentukan kondisi suatu bank dikenal dengan nama analisis CAMEL. Analisis ini terdiri dari beberapa aspek:Pertama, Capital, yakni penilaian terhadap kewajiban penyediaan modal minimum yang dimiliki bank. Kedua, Kualitas Aset, yakni me- nilai jenis-jenis asset yang dimiliki suatu bank.
Ketiga, Kualitas Manajemen, yakni penilaian terhadap kualitas manusianyadalammengelola bank, bisa dilihat dari segi pendidikan, peng- alaman para karyawannya, dan lain-lain. Keempat, Earning, yakni penilaian terhadap kemampuan bank dalam meningkatkan keuntungan. Kelima, Likuiditas, yakni penilaian atas kemampuan bank untuk membayar semua utangnya, terutama utang jangka pendek yang kemudian akan di bahas lebih lanjut dalam jurnal ini.[1]
Likuiditas pada umumnya didefinisikan sebagai kepemilikian sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan kewajiban yang akan jatuh tempo. Atau dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih  baik yang dapat diduga ataupun yang tidak terduga.[2]
Sedangkan manajemen likuiditas sendiri memiliki banyak pengertian, beberapa diantaranya adalah menurut : [3]
Duane B Graddy : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan ”
Oliver G Wood : “ Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang ”.
Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar[4]
Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar.
Kajian mengenai likuiditas di dunia perbankan, merupakan satu keharusan yang harus dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan, praktisi keuangan, ataupun pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya di bank. Pentingnya penilaian atas likuiditas suatu bank merupakan salah satu cara untuk bisa menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat.[5]
Selain itu menurut teori intermediasi keuangan, dua alasan yang paling penting terhadap keberadaan lembaga keuangan, khususnya bank, adalah penyediaan likuiditas dan jasa keuangan. Mengenai penyediaan likuiditas, bank menerima dana dari deposan dan menyalurkannya ke sektor riil, dan pada saat yang sama menyediakan likuiditas untuk setiap penarikan dana simpanan. Namun peran bank dalam mentransformasikan simpanan jangka pendek menjadi pinjaman jangka panjangmembuat mereka rentan secara inheren terhadap risiko likuiditas. Likuiditas adalah kemampuan menjual asset dalam waktusingkat dengan kerugian yang paling minimal. Asset-asset likuidadalah asset yang dipegang dalam bentuk tunai atau yangdiinvestasikan dalam suatu instrumen yang dapat diubah menjadi bentuk tunai seperti simpanan berupa giro, dan deposito.
Pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Darisudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi kas/tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. Risiko likuiditas muncul sebagai salah satu risiko yangpaling penting dimana bank perlu menanganinya untuk menghindari kerugian jika tidak dikelola dengan dengan baik. Risiko likuiditas didefinisikan secara luas sebagai potensi kehilangan bagi bank yang muncul dari ketidak mampuan mereka untuk memenuhi kewajiban atau untuk mendanai kenaikan asset saat jatuh tempo tanpa menimbulkan biaya atau kerugian yang tidak dapat diterima .Risiko ini terjadi ketika deposan secara kolektif memutuskan untuk menarik dana mereka dalam jumlah yang lebih besar dari pada dana yang dimiliki bank, atau ketika peminjam gagal untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada bank. Dengan kata lain, risiko likuiditas terjadi dalam dua kasus. Pertama, muncul secara simetris kepada debitur dalam hubungannya dengan bank, misalnya ketika bank memutuskan untuk menghentikan kredit namun debitur tidak mampu membelinya. Kedua, muncul dalam konteks hubungan bank dengan deposan, misalnya ketika deposan memutuskan untuk menarik simpanan mereka tetapi pihak bank tidak mampu memenuhinya.
Tujuan Manajemen Likuiditas
Tujuan manajemen likuiditas adalah sebagai berikut:
1.   Mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalu tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral.
2. Memperkecil dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas bank.
3.  Mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflowdalam kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman.
4. memperkecil terjadinya idle fund (dana yang menganggur)[6]
Pengelolaan Likuiditas pada Bank Syariah di Indonesia
Pengelolaan likuiditas pada sebuah bank merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan. Agar dapat berjalan secara optial dan menguntungkan memerlukan instrumen dalam pasar keuangan, yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Di Indonesia, untuk penempatan dan pemenuhan jangka pendek bagi perbankan Syariah telah tersedia instrumen sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) berdasarkan fatwa DSN MUI No. 38/DSN-MUI/X/2002 dan merupakan satu-satunya piranti yang digunakan dalam dalam operasional Pasar Keuangan Antarbank dengan Prinsip Syariah (PUAS) dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI). IMA didefinisikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh bank syariah atau Unit Usaha Syariah(UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah.[7]Sebelum aturan tersebut dikeluarkan, untuk mengatasi ketidakseimbangan likuiditas pada pendirian awal bank Syariah, maka pemegang otoritas moneter pada tahun 1995 membantu mencari altrnatif yang tidak bertentangan denga prinsip Syariah, yaitu dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Mudharabah.
Untuk mengatasi kesukaran dana bila saat terjadi di bank Syariah, disebabkan arus dana yang masuk lebih kecil berbanding arus dana yang keluar pada masa kliring (pengiraan), maka Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS).
Untuk pengelolaan likuiditas jangka panjang, dapat dilakukan dalam aktivitas pasar modal Syariah yang baru dikembangkan pada Maret 2003. Dengan demikian, bank Syariah telah dapat mengeluarkan obligasi Syariah dan dapat menjual sahamnya atau menginvestasikan modalnya pada reksadana syariah[8]
1. Permasalahan Likuiditas Bank
a. Pengertian Likuiditas Bank
Likuiditas dalam pengertian umum adalah berkenaan dengan posisi uang cadangan (tunai) suatu perusahaan dan kemampuannya untuk membayarkan semua hutang yang telah jatuh tempo tepat pada masanya. Jika dihubungkan dengan lembaga perbankan, likuiditas dimaksudkan sebagai kemampuan bank pada saat untuk membayar hutang jangka pendek dan sekitarnya diminta oleh penabung atau pihak-pihak yang terkait dengannya. Oleh sebab itu, yang dimaksudkan dengan likuiditas disini ialah kemudahan bank dalam mengubah aset menjadi uang tunai.
Dalam pengelolaan dana, bank akan mengalami salah satu dari tiga hal, yaitu :
1) Posisi seimbang (square), dimana persediaan dana sama dengan keperluan dana yang tersedia.
2) Posisi lebih (long), dimana persediaan dana lebih dari keperluan dana yang tersedia.
3) Posisi kurang (short), dimana persediaan dana kurang dari keperluan.
Apabila bank mengalami kelebihan likuiditas, maka hal itu dianggap sebagai keuntungan bank. Sebaliknya jika terjadi kekurangan, maka bank memerlukan bantuan untuk menutupi kekurangan tersebut.
b. Mekanisme Pengelolaan Likuiditas
Transaksi pembayaran dalam aktivitas perbankan  dilakukan mengikuti mekanisme kliring (pengiraan) dengan membebankan giro bank yang terkait dengan Bank Indonesia (BI). Apabila ketersediaan dana bank kurang dari Giro Wajib Minimum (GWM) dalam pelaksanaannya, maka bank atau kantor cabang harus membayarnya. Ketentuan mengenai kadar mata uang dan mekanisme GWM bagi Bank Umum Syariah, kini telah ada pengaturan yang terpisah yaitu PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum dalam rupiah dalam valuta asing bgi bank umum yang melaksanakan aktivitas usaha berdasarkan prinsip Syariah.
Bank Syariah yang mengalami kekurangan dana boleh menerbitkan sertifikat Investasi Mudharabah Abtarbank bank Syariah maupun bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PBI No. 2/8/PBI/2000, sertifikat IMA ialah satu-satunya piranti yang boleh digunakan dalam operasional Pasar Uang Abtarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Sedangkan untuk menjaga kestabilan moneter bagi bank-bank Syariah melalui penerbitan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) yang berdasrkan pada prinsip wadi’ah (titipan) atau saat ini diidtilahkan dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI Syariah).
2. Pasaran Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)
Ketentuaan mengenai PUAS diatur dalam PBI No. 2//8/PBI/2000 tentang Pasaran Uang Anarbank bedasarkan prinsipSyariah pada tanggal 23 Pebruari 2000 jo PBI No. 7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang perubahan atas PBI No. 2/8/2000. Disamping itu juga ada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 37/DSN-MUI/X/2002 tanggal 23 Oktober 2002.
a. Pengertian dan Tujuan PUAS
Pengertian PUAS dalam fatwa DSN No. 37 ialah aktivitas transaksi keuangan jangka pendek antar peserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Menurut PBI No. 2/8/PBI/2000, pengertian PUAS terlihat lebih khusus yaitu aktivitas investasi jangka pendek dalam bentuk rupiah antara peserta pasar berdasarkan prinsip mudharabah. Terdapat sedikit perbedaan pengertia PUAS dalam PBI No. 9/5/PBI/2007, sebagai pengganti PBI No. 2/8/PBI/2000 mengenai PUAS yaitu aktivitas transaksi keuangan jangka pendek Antarbank berdasarkan prinsip Syariah baik dalam bentuk rupiah maupun mata uang asing.
Dengan adanya apola PUAS ini brarti persoalan likuiditas bank Syariah dapat diatasi dalam bentuk investasi antara bank Syariah selagi dapat dihindari investasi dana pada bank konvensional. Walaupun berdasrkan fatwa DSN, PUAS tidak dibenarkan melaksanakan transaksi berdasarkan bunga, namun tidak masalah bagi pihak bank konvensional untuk melakukan invetasi pada bank Syariah walaupun hanya terbatas sebagai pemodal saja.[9]
Sesuatu hal yang perlu dipersoalkan lebih jauh tentan kebolehan bank knvensional dalam melakukan investasi pada bank Syariah, sebagaimana fatwa DSN, yaitu persoalan sumber dana yang secara jelas (sharih) berasal dari pengolahan dana yang bercampur dengan sistem bunga sedangkan bunga itu sudah jelas haram. Hal ini menyebabkan terjadinya percampuran antara dana haram dengan halal yang dikelola oleh bank Syariah.
b. Perbandingan antara PUAS dan PUAK
Pasaran Uang Antar bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) yang berlaku di Indonesia dapat dibandingkn dengan Pasaran Uang Antarbank secara Konvensional (PUAK), baik dari aspek persamaan maupun perbedaan antara keduanya.
1)  Diantara prinsip persamaan yang ada pada kedua-dua pasaran uang Antarbank tersebut, ialah :
Keduanya merupakan instrumen likuiditas yang berfungsi untuk memudahkan perbankan yang mengalami kasus likuiditas, baik berupa kekurangan maupun kelebihan likuiditas.
Keduanya sama-sama memiliki jangka masa paling lama 90 hari atau merupakan jenis investasi jangka pendek.
Dapat dipakaikan untuk pembayaran nota kredit, melalui kliring, bilyet giro BI atau pemindahan dana secara elektronik.
2) Prinsip perbedaan pada PUAS dan PUAK itu ialah :
Transaksi PUAS tidak berdasarkan kepada suku bunga,melainkan bagi hasil, sedangkan pada PUAK sepenuhnya berdasarkan kepada suku bunga.
Peserta PUAS meliputi bank Syariah dan bank konvensional sedangkan peserta PUAK hanya pada bank konvensional.
Piranti yang digunakan PUAS ialah sertifikat IMA, sedangkan PUAK menggunakan promes atau promissory notes (janji tertulis untuk menjelaskan semua hutang).
Sertifikat IMA hanya dapat dialihkan sekali saja karena hanya berfungsisebagai tanda bukti penyertaan saja. Sedangkan promes pada PUAK dapat dipindah tangan berulang kali selagi belum jatuh tempo karena ia merupakan suatu negotable instrument.
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Ketentuan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) ini adalah berdasarkan kepada Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 yang telah diperbaharui dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 mengenai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan Fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X?2002 yang dikeluarkan pada 23 Oktober 2002.
Pengertian tentang SWBI sebagai mana yang terdapat dalam PBI No. 2/9/PBI/2000 adalah sertifikat yang di terbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadi’ah (pasal 1 ayat 4). Sedangkan yang di maksud dengan wadiah ialah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercayai untuk menjaga dana tersebut (pasal 1 ayat 3). Setelah di ubah menjadi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariah, memakai akad Ju’alah.[10]
Tujuan diterbitkan sertifikat ini adalah sebagai instrument kebijakan moneter dalam mengatasi masalah kelebihan likuiditas pada bank yang beroperasi dengan prinsip syariah. Beberapa karaktek sertifikat tersebut adalah seperti berikut :
a. Diterbitkan oleh Bank Indonesia.
b. Merupakan instrument kebijakan moneter dan sarana penitipan dana sementara.
c. Sebagai tanda bukti penitipan dana jangka pendek.
d. Ada bonus atas transaksi penitipan dana.
Persyaratan SWBI yang di gariskan adalah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesi No. 36/DSN-MUI/X/2002 yaitu :
a.   Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrument moneter berdasarkan prinsip Syariah yang dinamakan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang dapat dipergunakan oleh bank Syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas.
b.  Akad yang digunakan untuk instrument SWBI ialah akad wadi’ah sebagai mana yang di atur dalam fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Giro dan fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 mengenai tabungan.
c.   Dalam SWBI tidak dibenarkan imbalan yang di syaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat suka rela dari pihak Bank Indonesia.
d.  SWBI tidak boleh diperjual belikan[11]
Instrumen Likuiditas Bank Syariah
Adapun instrumen yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah :
1. Memiliki Primary Reserve ( Cadangan Primer )
yaitu dalam kas atau saldo yang ada pada Bank Indonesia atau Bank lain. Dalam dunia perbankan, primary reserve terdiri dari:
Giro pada Bank Sentral atau Giro Wajib Minimum (GWM)
Selama ini Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah yakni merupakan kewajiban setiap bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK) untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
1) Yang memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
2) Yang memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
3) Yang memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK dalam rupiah. Sedangkan bagi yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan GWM.[12]
b. Kas pada valuta.
Alat likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari.
c. Kliring
Di dalam dunia perbankan terdapat istilah kliring yang sering kali kita dengar. Ketika seseorang mentrasfer uang dari satu rekening bank ke rekening bank yang berbeda, misalnya dari bank BCA ke bank Mandiri dan sebaliknya maka terjadilah proses kliring.Kliring adalah suatu istilah dalam dunia perbankan dan ke- uangan yang menunjukkan suatu aktivitas yang berjalansejak saat terjadinya kesepakatan untuk suatu transaksi hingga selesainya pelak- sanaan kesepakatan tersebut.[13]
Kliring dibutuhkan untuk mempercepat penyelesaian transaksi perdagangan yang membutuhkan perlengkapan aset transaksi. Hal yang paling mudah dipahami dalam kliring adalah kesepakatan antar lembaga keuangan mengenaihutangpiutangdalamsuatutransaksi keuangan. Kliring melibatkan manajemen  dari paska perdagangan, pra penyelesaian eksposur kredit, untuk memastikan bahwa transaksi  dagang  terselesaikan  sesuai dengan aturan pasar, walaupun pembeli maupun penjual menjadi tidak mampu melaksanakan penyelesaian kesepakatannya. Yang termasuk dalam proses kliring antara lain pelaporan/ pemantauan, marjin risiko, netting transaksi dagang menjadi posisi tunggal, penanganan perpajakan dan penanganan kegagalan.[14]
Secara umum kliring melibatkan lembaga keuangan yang memiliki permodalan yang kuat yang dikenal dengan sebutan Mitra Pengimbang Sentral (MPS) atau dalam istilah asingnya dikenal dengan central counterparty. MPS ini menjadi pihak dalam setiap transaksi yang terjadi baik sebagai penjual maupun se- bagai pembeli. Dalam hal terjadinya kegagalan penyelesaian atas suatu transaksi maka pelaku pasar menanggung suatu risiko kredit yang distandarisasi dari MPS
d. Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
Tujuan dari alat likuid yang termasuk ke dalam kategori primary reserve (cadangan primer) adalah:
a. Memenuhi reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia.
b. Memenuhi keperluan operasional bank sehari-hari.
c. Penyelesaian kliring antar bank.
d. Memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.
Dapat di katakana likuid apabila bank syariah dapat memelihara GWB di Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat memelihara giro di Bank Koresponden dengan besarnya berdasarkan saldo minimum, dapat memelihara sejumlak kas secukupnya untuk memenuhi pengambilan uang tunai[15]
2. Memiliki Secondary Reserve
Yaitu cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek.
Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Peraturan Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah. Selama ini kebijakan moneter yang dila- kukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pe- ngendalian uang beredar ditempuh dengan pelaksanaan operasi pasar terbuka yaitu me- nambah atau mengurangi jumlah uang beredar dimasyarakat melalui bank-bank konvensional. Dengan makin berkembangnya bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah maka pengendalian uang dapat diper- luas melalui bank-bank tersebut.
Agar pelaksanaan operasi pasar terbuka berdasarkan prinsip syari’ah dapat berjalan dengan baik, maka diciptakanlah suatu piranti pengendalian uang beredar yang sesuai dengan prinsip syari’ah dalam bentuk Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI). Piranti tersebut dapat dijadikan sarana penitipan dana jangka pendek khususnya bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas[16]
Jumlah Dana dan Jangka Waktu
Jumlah dana yang dapat dititipkan seku- rang-kurangnya Rp 500.000.000,- dan selebih- nya dengan kelipatan Rp 50.000.000,-. Jangka waktu SWBI adalah satu minggu, dua minggu dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
Tata Cara penitipan Dana dan Penyelesaian Penitipan Dana Kegiatan penerimaan titipan dana oleh Bank Indonesia dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB. Tata cara penitipan dilakukan sebagai berikut:
Bank atau UUS mengajukan permohonan titipan dana sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS), faksimili, telepon atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei 2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing.
3. Mempunyai akses ke pasar uang.
Pasar uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal syariah.
Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
Pasar Modal Syariah
Instrument di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah membutuhkan dana jangka pendek[17]
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)
FPJPS merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek. 
Tujuan dari diberlakukan FPBJS ini, adalah untuk membantu Bank Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan (illiquid but solvent).
LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
LPS adalah badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan tanggal 22 September 2004. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.[18]



PENUTUP
Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Manajemen likuidits bank Syariah diartikan sebagai suatu program pengendalian alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus di bayar. Adapun tujuan manajemen likuiditas adalah sebagai mencapai cadangan yang dibutuhkan yang telah ditetapkan oleh bank sentral karena kalu tidak dipenuihi akan kena pinalti dari Bank sentral,memperkecil dana yang menganggur karena kalau banyak dana yang nganggur akan mengurangi profitabilitas bank,mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan pinjaman.
Didalam menajemen likuiditas juga terdapat resiko-resiko, adapun untuk mengatasi resiko tersebut ialah melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai,melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah,membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini,selanjutnya Bank menetapkan secondaryreserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank,menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset &Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam usahanya,danMeningkatkan atau menurunkan sumber dana tertentu.
















DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008
Bambang Rustam, Rianto Manajemen Risiko Perbankan Indonesia ,Jakarta: Salemba Empat, 2013

Ghufron, Sofiniya Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah , Jakarta: Renaisan, 2005

Huda, Nurul & Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah ,Jakarta: Kencana, 2007
Karim, Adiwarman Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan ,Jakarta: IIIT, 2003
Kasmir,  Bank  dan  Lembaga  Keuangan    Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005
Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank & Non Bank ,Bogor: Ghalia Indonesia, 2004

 Sinungan, Muchdarsyah Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta: Rineka Cipta, 1993
Sofiniyah, Konsep dan Implementasi bank Syari’ah, Jakarta: Renaisans, 2005
Sunariyah, Pengantar Pasar Modal ,Yogyakarta: UPP AMPYKPN, 2000
Sutojo, Siswanto  Manajemen Terapan Bank, Jakarta; Binaman Pressindo, 1997

Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institute Bankir Indonesia,  Bank  Syari’ah:  Konsep,  Produk  Dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2003
Umam, Khaerul Manajemen Perbankan Syariah ,Cet.1; Bandung: CV Pustaka Setia,2013
Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta:Kencana,2005




[1] Sofiniyah Ghufron, Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah (Jakarta: Renaisan, 2005),  hlm. 67

[2] Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,(Jakarta:Kencana,2005) hal. 140.
[3]Riyanto Bambang.Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. (Yogyakarta: BPFE,2001).  hal.25
[4] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah.(Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005). hal.399
[5] Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank Syariah, Edisi II (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm.114

[6] Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah (Cet.1; Bandung: CV Pustaka Setia,2013), h. 184
[7] Ibid, h.195
[8] Ibid, h.199
[9] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan (Jakarta: IIIT, 2003), hlm. 53

[10] Sunariyah, Pengantar Pasar Modal (Yogyakarta: UPP AMPYKPN, 2000), hlm. 8

[11] Kasmir,  Bank  dan  Lembaga  Keuangan    Lainnya(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.194



[13] Sofiniyah, Konsep dan Implementasi bank Syari’ah (Jakarta: Renaisans, 2005), hlm. 89                                      
[14] Abdul Aziz, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hlm. 144

[15] Siswanto Sutojo, Manajemen Terapan Bank (Jakarta; Binaman Pressindo, 1997),  hlm. 143

[16]Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institute Bankir Indonesia,  Bank  Syari’ah:  Konsep,  Produk  Dan ImplementasiOperasional (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 227

[17]Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank & Non Bank (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm.178
[18] Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar